Felix duduk di ruang kerja, namun pikirannya jauh dari tumpukan dokumen yang ada di depannya. Kata-kata Noah masih terngiang di telinganya seperti gema yang tak bisa dibungkam.Bukankah kau dan Marsha pernah bercinta, sebelum pernikahan itu dilaksanakan?” Kalimat itu membuatnya geram bukan hanya karena Noah benar, tapi juga karena itu menyentuh luka lama yang ingin ia kubur dalam-dalam.Ia membuang napas kasar dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya sesak oleh berbagai pikiran yang saling bertabrakan.Felix ingin bertanya langsung pada Emily… tapi ia ragu. Bagaimana jika Emily benar-benar tidak tahu? Kalau begitu, ia justru akan membuat istrinya curiga.“Brengsek,” desis Felix dengan suara rendah, sebelum akhirnya berteriak frustasi, “SIALAN KAU, MARK!”Felix bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir. Matanya memanas oleh rasa kesal yang menumpuk. Ia merasa langkahnya semakin sempit, seolah sedang dijebak oleh masa lalu yang ia anggap sudah selesai.Dengan langkah berat
“Kau mau ke mana?” tanya Emily dengan suara lemah saat melihat Felix berbalik badan dan mengambil jaket kulit hitamnya yang tergantung di dekat pintu.Felix menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan tatapan datar. Tak ada emosi di wajahnya. Hanya ketegasan yang dingin, membuat Emily merasa semakin jauh darinya.“Urusanku dengan Mark belum selesai,” jawab Felix singkat, nadanya tak bisa diganggu gugat. “Aku akan menemuinya sekarang juga.”Emily langsung bangkit dari tempat tidurnya, menyusul langkah Felix dengan cepat. “Felix… tidak bisakah besok saja? Sekarang sudah malam. Dan… kau tidak tahu apa yang akan dia siapkan.”Namun, pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali memalingkan wajahnya dan melangkah keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun.Pintu kamar tertutup dengan suara pelan, namun cukup menyakitkan bagi Emily. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, seolah berharap Felix akan kembali. Tapi bayangan suaminya sudah tak tampak.Emily menarik napas dalam d
Di sebuah vila tersembunyi di sebuah pulau pribadi yang hanya diketahui oleh segelintir orang, Marsha duduk di beranda lantai dua.Laut terbentang luas di depannya, ombak tenang berkejaran di bawah cahaya senja yang mulai meredup.Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya, tapi tak bisa menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.Langkah kaki berat terdengar dari dalam vila. Tak lama kemudian, Harland—ayah kandung Marsha—muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat tegas, namun guratan lelah dan kekhawatiran tidak bisa disembunyikan.“Marsha,” panggil Harland pelan.Marsha menoleh cepat, matanya tajam dan gelisah. “Ada apa? Kau terlihat berbeda.”Harland menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi rotan di sebelah putrinya.“Mark... dia sekarang ada di rumah sakit,” katanya akhirnya.Marsha membelalak. “Apa?! Apa yang terjadi?!”“Dia tertembak,” lanjut Harland tenang, meski matanya menyiratkan kemarahan yang ditekan. “Anak buah Felix menghancurkan m
Felix duduk di kursi taman belakang rumah keluarga, sore itu angin semilir bertiup lembut, namun pikirannya sama sekali tidak tenang.Ia menunggu seseorang, dan tak lama kemudian, Davina muncul membawa dua cangkir kopi.Perempuan itu adalah sepupunya—cerewet, tajam mulut, tapi satu-satunya yang bisa diajak berbicara jujur soal hati.“Davina,” kata Felix pelan saat Davina duduk. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Davina mengangkat alis, penasaran. “Tumben sekali wajahmu tampak serius kali ini. Ada apa, Felix?”Felix menatapnya sejenak, lalu menghembuskan napas. “Emily... dia, akhir-akhir ini bersikap dingin. Diam, menghindar. Apa karena dia sedang hamil?”Sontak, Davina menyemburkan kopi yang baru saja ia teguk. “APA?!” serunya, dengan mata membelalak.Felix mengerutkan kening, jelas tak mengerti kenapa sepupunya terlihat begitu terkejut. “Ya. Dia hamil. Tiga minggu. Kenapa reaksimu seperti itu?”Davina masih mencoba menenangkan batuk kecilnya, lalu berkata, “Aku hanya... terkejut.
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan. Emily, anak bungsu si tua bangka itu, akan menjadi pengganti Marsha.”Di tengah keramaian, Felix Anthony, pria tampan berusia tiga puluh tahun, seorang mafia yang terkenal kejam dan berkuasa di kota itu, dengan jas hitam elegan, berdiri tegak di depan altar.Wajahnya terlihat dingin dan penuh amarah setelah mendengar pengakuan Marsha bahwa ia mencintai pria lain dan menolak melanjutkan pernikahan.Felix mengarahkan pandangannya ke arah Emily, adik bungsu Marsha, yang berdiri tak jauh darinya. Emily, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengenakan gaun putih sederhana, awalnya hanya berniat hadir sebagai tamu. Namun, nasib berkata lain.Emily sontak menoleh dengan mata membelalak. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Aku tidak mau menikah denganmu, Felix!”Tatapan Felix semakin tajam. "Aku tidak memberi pilihan, Emily. Jika kau menolak, kau tahu apa yang akan terjadi pada keluargamu," desisnya pelan, tetapi cukup jelas untuk memb
“Yang salah kakakku, kenapa aku yang harus menerima penderitaan ini?” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh isaknya sendiri.Tangannya gemetar saat mengusap air matanya, mencoba memberi dirinya ketegaran yang terus menguap.Tatapan pria di depannya penuh kekejian, seperti iblis yang baru saja menikmati kekejaman yang dilakukannya.Felix menyeringai, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Emily yang rapuh. Tubuh wanita itu terbungkus selimut tebal, seolah berusaha melindungi dirinya dari dingin sekaligus kebengisan pria itu.“I don’t care, Emily.” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman yang terpendam. “Kau adalah bagian dari keluarga Harland. Dia sendiri—ayahmu—yang menjodohkanku dengan Marsha. Namun, nyatanya wanita itu malah berselingkuh sebelum kami menikah.”Kata-kata itu menghantam Emily seperti gelombang dingin. Dia menelan ludah dengan susah payah, mencoba mengendalikan gemetar tubuhnya.“Marsha meninggalkanmu karena tahu sifat gilamu ini, Felix!” ucapnya dengan getir, suaranya pecah
“K—kau … ingin membunuhku?” suara Emily nyaris tak terdengar, bibirnya bergetar seperti kelopak bunga yang diterpa angin dingin di penghujung musim gugur.Matanya membulat, ketakutan merayap di sela-sela tulang belakangnya, mengigit setiap urat nadinya dengan kebengisan yang tak terlihat.“Ya.” Suara Felix jatuh bagaikan belati yang mengiris keheningan. “Aku akan membunuhmu jika kau berani membangkang, tidak menurut, dan mencoba kabur dari rumah ini.”Tatapan Felix menancap tajam di wajah Emily, seperti elang yang mengunci mangsanya sebelum menyergap dengan cakarnya yang tajam.Cahaya lampu yang redup membuat bayangan lelaki itu semakin mengerikan, menciptakan siluet hitam yang seakan melahap setiap harapan yang masih berusaha bernafas di dalam diri Emily.Tak ada jalan keluar. Tak ada secercah cahaya di ujung lorong gelap bernama kehidupan ini. Dia hanya bisa diam, membiarkan kesedihan menyusup ke rongga dadanya, mengakar dalam dan menghisap habis mimpi-mimpinya.“Kecuali denganku,”
Denting halus dering ponsel memecah keheningan di pagi itu, merayap masuk ke dalam kesadaran Emily yang masih terperangkap dalam sisa-sisa mimpi yang samar.Kelopak matanya yang berat terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan temaram cahaya kamar.Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, begitu matanya menangkap nama yang tertera di layar, kantuknya seketika menguap.“Mama?”Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyaris terlupakan menyusup ke dalam dadanya.Rindu yang selama ini ia kubur dalam diam mendadak meletup, memenuhi rongga dadanya dengan desir harapan yang rapuh.“Mama?” suaranya bergetar pelan.Di seberang sana, suara lembut yang telah lama dirindukannya menyapa, “Apa kau baik-baik saja di sana, Nak?” tanya Mala dengan nada cemas.Emily menelan ludah. Ia ingin menangis, ingin memeluk ibunya, ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan. Namun, kenyataan menjebaknya dalam kebisuan. Ia menggigit bibirnya, menahan g
Felix duduk di kursi taman belakang rumah keluarga, sore itu angin semilir bertiup lembut, namun pikirannya sama sekali tidak tenang.Ia menunggu seseorang, dan tak lama kemudian, Davina muncul membawa dua cangkir kopi.Perempuan itu adalah sepupunya—cerewet, tajam mulut, tapi satu-satunya yang bisa diajak berbicara jujur soal hati.“Davina,” kata Felix pelan saat Davina duduk. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”Davina mengangkat alis, penasaran. “Tumben sekali wajahmu tampak serius kali ini. Ada apa, Felix?”Felix menatapnya sejenak, lalu menghembuskan napas. “Emily... dia, akhir-akhir ini bersikap dingin. Diam, menghindar. Apa karena dia sedang hamil?”Sontak, Davina menyemburkan kopi yang baru saja ia teguk. “APA?!” serunya, dengan mata membelalak.Felix mengerutkan kening, jelas tak mengerti kenapa sepupunya terlihat begitu terkejut. “Ya. Dia hamil. Tiga minggu. Kenapa reaksimu seperti itu?”Davina masih mencoba menenangkan batuk kecilnya, lalu berkata, “Aku hanya... terkejut.
Di sebuah vila tersembunyi di sebuah pulau pribadi yang hanya diketahui oleh segelintir orang, Marsha duduk di beranda lantai dua.Laut terbentang luas di depannya, ombak tenang berkejaran di bawah cahaya senja yang mulai meredup.Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya, tapi tak bisa menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya.Langkah kaki berat terdengar dari dalam vila. Tak lama kemudian, Harland—ayah kandung Marsha—muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat tegas, namun guratan lelah dan kekhawatiran tidak bisa disembunyikan.“Marsha,” panggil Harland pelan.Marsha menoleh cepat, matanya tajam dan gelisah. “Ada apa? Kau terlihat berbeda.”Harland menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi rotan di sebelah putrinya.“Mark... dia sekarang ada di rumah sakit,” katanya akhirnya.Marsha membelalak. “Apa?! Apa yang terjadi?!”“Dia tertembak,” lanjut Harland tenang, meski matanya menyiratkan kemarahan yang ditekan. “Anak buah Felix menghancurkan m
“Kau mau ke mana?” tanya Emily dengan suara lemah saat melihat Felix berbalik badan dan mengambil jaket kulit hitamnya yang tergantung di dekat pintu.Felix menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan tatapan datar. Tak ada emosi di wajahnya. Hanya ketegasan yang dingin, membuat Emily merasa semakin jauh darinya.“Urusanku dengan Mark belum selesai,” jawab Felix singkat, nadanya tak bisa diganggu gugat. “Aku akan menemuinya sekarang juga.”Emily langsung bangkit dari tempat tidurnya, menyusul langkah Felix dengan cepat. “Felix… tidak bisakah besok saja? Sekarang sudah malam. Dan… kau tidak tahu apa yang akan dia siapkan.”Namun, pria itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali memalingkan wajahnya dan melangkah keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun.Pintu kamar tertutup dengan suara pelan, namun cukup menyakitkan bagi Emily. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, seolah berharap Felix akan kembali. Tapi bayangan suaminya sudah tak tampak.Emily menarik napas dalam d
Felix duduk di ruang kerja, namun pikirannya jauh dari tumpukan dokumen yang ada di depannya. Kata-kata Noah masih terngiang di telinganya seperti gema yang tak bisa dibungkam.Bukankah kau dan Marsha pernah bercinta, sebelum pernikahan itu dilaksanakan?” Kalimat itu membuatnya geram bukan hanya karena Noah benar, tapi juga karena itu menyentuh luka lama yang ingin ia kubur dalam-dalam.Ia membuang napas kasar dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dadanya sesak oleh berbagai pikiran yang saling bertabrakan.Felix ingin bertanya langsung pada Emily… tapi ia ragu. Bagaimana jika Emily benar-benar tidak tahu? Kalau begitu, ia justru akan membuat istrinya curiga.“Brengsek,” desis Felix dengan suara rendah, sebelum akhirnya berteriak frustasi, “SIALAN KAU, MARK!”Felix bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir. Matanya memanas oleh rasa kesal yang menumpuk. Ia merasa langkahnya semakin sempit, seolah sedang dijebak oleh masa lalu yang ia anggap sudah selesai.Dengan langkah berat
Keesokan harinya, setelah kepastian kehamilan Emily diumumkan oleh dokter, suasana di rumah menjadi berbeda.Felix berubah menjadi sosok yang sangat protektif, namun tetap dengan cara yang khas dirinya—tegas, dingin, dan penuh aturan.Di dalam kamar mereka yang luas dan elegan, Emily sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan bantal-bantal empuk menopangnya.Felix berdiri di hadapannya, tangan disilangkan di dada, matanya menatap tajam seolah sedang menyusun strategi perang.“Kau harus makan makanan bergizi, minum vitamin secara rutin, dan jangan lupa susu ibu hamil setiap pagi dan malam,” ucapnya tegas.“Istirahat cukup. Tidak boleh tidur larut. Dan yang paling penting, kau dilarang melakukan pekerjaan berat. Selama kau hamil, kau hanya perlu menjalankan tugasmu sebagai ibu hamil.”Emily menghela napas berat. Suara Felix yang seperti perintah militer itu membuatnya lelah, meskipun niatnya jelas karena perhatian. Ia tahu, tak ada ruang untuk perdebatan jika pria itu sudah
Malam itu, suasana ruang makan dipenuhi aroma masakan hangat dan cahaya lampu gantung yang temaram. Felix dan Emily duduk berhadapan di meja makan, namun suasana di antara mereka terasa kaku.Di depan mereka, hidangan favorit Emily tersaji rapi, namun wanita itu hanya memandangi makanannya tanpa benar-benar berniat menyentuhnya.Felix melirik istrinya. Dia menyadari bahwa sejak mereka duduk, Emily belum banyak bicara.“Sudah. Makan saja,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.”Emily mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap dalam ke arah suaminya, lalu dengan suara lirih ia berkata, “Maaf…”Felix tak membalas. Ia hanya menunduk, kembali menyendok makanannya dengan wajah datar. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata penghiburan.Emily masih menatapnya. Hatinya terasa sesak.Padahal… saat dia baru sadar dari pingsannya siang tadi, Felix begitu perhatian. Tatapannya lembut, suaranya hangat, bahkan menggenggam tangannya tanpa ragu.Tapi
“Ibumu sudah pulang?” suara Felix pelan, tapi jelas, saat ia menghampiri Emily yang sedang berdiri diam di depan jendela kamar mereka.Cahaya senja menyorot separuh wajah perempuan itu, membuat bayangannya tampak rapuh.Emily menoleh pelan, dan mengangguk. “Ya. Sudah sejak dua jam yang lalu. Terima kasih, sudah memberi Mama tumpangan, Felix.” Senyumnya lembut, namun di baliknya tampak sisa-sisa kelelahan yang belum sepenuhnya reda.Felix memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitamnya. Langkahnya tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang ia simpan sejak siang tadi.Ia berdiri di sisi Emily, menyamakan tinggi pandangan mereka ke luar jendela, seakan mencoba membaca isi hati sang istri melalui pantulan kaca.“Apa saja yang dikatakan oleh Mark padamu?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh ketegangan.Emily terdiam. Hening menggantung cukup lama hingga bunyi detak jarum jam terdengar seperti dentuman. Ia akhirnya menghela napas, berat.“Dia… dia menginginkank
“Untuk yang pertama dan terakhir kalinya?” tanya Emily dengan suara pelan namun penuh dorongan rasa ingin tahu yang tak bisa ia bendung lagi.Hatinya bergolak, seolah jawaban itu akan menentukan bagaimana ia memandang seluruh masa lalunya bersama Felix.Mala mengangguk pelan. “Aku rasa begitu. Karena setelah itu, Marsha pergi. Tidak kembali dan menggunakan uang yang diberikan Felix untuk kabur. Dan Felix tidak tahu ke mana perginya Marsha.”Emily menatap ibunya lekat-lekat, mencoba membaca tiap gestur yang mungkin menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.Ia bisa melihat dari sorot mata ibunya—betapa getir dan rumitnya masa lalu yang kini perlahan terbongkar di hadapannya.Bayangan akan hari pernikahan yang batal, akan gadis yang seharusnya menggantikan dirinya berdiri di altar, kini terasa lebih menyakitkan.Di saat pernikahan sudah di depan mata, Marsha memilih pergi begitu saja… meninggalkan kekacauan yang pada akhirnya harus ia tanggung sendiri.“Aku ingin tahu… apakah Felix sempat
"Ya. Dia tahu dariku," ucap Mala dengan nada pelan, seolah kata-kata itu membawa kembali kenangan pahit yang selama ini ia simpan sendiri."Dia sempat menanyakan kenapa ayahmu meninggal. Lalu, aku memberitahunya semuanya."Emily terdiam. Bibirnya mengatup, sementara pikirannya melayang pada percakapan terdahulu bersama Felix.Perlahan, ia menghela napas panjang—sebuah napas yang terdengar berat, seperti membawa seluruh beban hatinya."Pantas saja dia bertanya padaku tentang hal yang membuatku bingung saat mendengarnya," ucap Emily, suaranya pelan, nyaris seperti gumaman.Mala menoleh cepat, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya yang penuh kekhawatiran. "Apa yang dia tanyakan padamu, Nak?"Emily menatap ibunya. Ada luka yang tampak samar di balik matanya—bukan luka fisik, melainkan luka yang tak terlihat, namun terasa begitu menyakitkan."Apakah aku akan berpaling dari Felix jika ada orang yang mencintaiku," jawabnya akhirnya.Pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Waktu it