Pernikahannya dengan Alex Catalano—bosnya yang dingin dan penuh rahasia—memang dikarenakan janin yang dikandung Dewi. Hanya saja, wanita itu justru tak menyangka jika berakhir jatuh cinta pada pria itu. Sayangnya, cinta Dewi bertepuk sebelah tangan. Lantas, bagaimana nasib Dewi? Terlebih, Lucas, adik Alex, justru menawarkan ketulusan padanya...?
View MoreLangit malam mulai memerah saat Alex meninggalkan kafe itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak membawa kenangan yang ingin ia lupakan. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan.Tanpa sadar, ia berakhir di bar yang biasa ia kunjungi ketika semuanya terasa tak terkendali. Suasana bar yang gelap dan berisik seperti tempat sempurna untuk kehilangan diri. Ia memesan vodka dan meminumnya tanpa berpikir panjang.Saat gelas ketiga, pikirannya kembali pada Rachel. Namun kali ini, bayangan Dewi melintas. Wajah istrinya yang tenang, senyum lembutnya saat menyajikan teh di pagi hari.Alex menutup matanya. Rasa bersalah menyelinap masuk. Dewi adalah korban dari kekacauannya sendiri. "Aku terpaksa menikahinya," gumam Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi apakah benar hanya itu alasan dia bersama Dewi? Kenapa setiap kali mengingat senyumnya, ia merasakan sesuatu yang hangat?&nbs
Alex memasuki kamar perawatan Dewi di rumah sakit dengan langkah pelan. Suasana ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Dewi terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, dengan wajah yang pucat.Alex berdiri di sana, memandangi Dewi cukup lama. Tubuhnya terasa lelah, dan hatinya terasa kosong. Keadaan di sekelilingnya seakan tidak bisa mengurangi ketegangan yang masih menjerat dirinya. "Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya, matanya tertunduk. Ia mendesah panjang, lalu berjalan mendekat. Tatapannya melembut saat melihat perut Dewi yang membuncit. Meski ada kehidupan baru yang mereka nantikan, Alex masih merasa asing dengan semua ini. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang menyergapnya."Apa aku terlalu keras?" pikirnya.Rachel pernah berkata, "Kalau kau tidak bisa menunjukkan rasa sayangmu, paling tidak jangan membuatnya merasa tidak dihargai." Kata-kata itu terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang sudah ra
Pagi itu, suasana ruang rawat Dewi masih sunyi. Pancaran sinar matahari yang menerobos jendela menyentuh lembut permukaan lantai berubin putih, menciptakan kilauan yang menghangatkan. Di sisi ranjang, aroma khas antiseptik bercampur dengan samar bau bunga dari vas kecil di meja samping. Seorang dokter dengan nametag bernama Vincent mengambil tetoskop dari kantung seragamnya."Coba saya periksa dulu. Maaf, bagian sebelah mana yang terasa kram?"Dengan sigap dokter Vincent memeriksa Dewi. Lucas bergeser, berjalan mengampiri Alex yang tengah duduk di sofa."Saya sudah diperbolehkan pulang hari ini 'kan, Dok?""Iya, boleh. Tapi setelah sampai rumah nanti jangan langsung beraktifitas berat dulu ya. Perbanyak istirahat dan hindari stres agar bayinya sehat terus sampai nanti waktunya melahirkan."Dewi mengangguk patuh. Wajahnya sedikit tertunduk, menyadari kesalahannya. Sebelum masuk rumah sakit, ia memang kurang istirahat karena stres memikirkan ca
Suasana ruang inap terasa sunyi, hanya ditemani suara mesin infus yang berdetak pelan dan sesekali langkah kaki perawat di luar. Aroma antiseptik menyeruak, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Cahaya matahari pagi menembus tirai putih tipis, menciptakan bayangan lembut di dinding. Alex duduk di sofa dekat jendela, tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di lutut, dan pandangannya kosong, menatap lantai tanpa benar-benar melihat.Dewi memandang pria itu sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak perlu ditemani siapapun. Mas juga tidak perlu risau. Nanti kalau dokter sudah mengizinkan pulang, aku bisa pulang sendiri ke rumah Mas. Tenang saja. Aku tidak akan kabur ke mana-mana." Suaranya terdengar pelan, namun cukup tegas, seperti seseorang yang sudah lelah berdebat.Alex menegakkan tubuhnya perlahan, tatapannya tajam, tapi ia masih berusaha menahan diri. "Sudah mulai berani sekarang kamu mengatur-atur saya ya?" Nada bicaranya dingin, tapi m
Ketika Dewi membuka mata, ia melihat Alex duduk di sisinya. Cahaya redup dari lampu memantulkan bayangan wajah pria itu di dinding putih kamar rumah sakit. Pandangan Alex lembut tapi sendu, seolah ada beban yang enggan ia bagi. Mata Dewi mengejap beberapa kali, memastikan ini bukan halusinasi."Mas Alex?" suaranya serak, hampir seperti bisikan.Alex tersenyum kecil sekilas, mengalihkan pandangan sambil mengusap kepala Dewi.Dewi terdiam. Berbagai emosi memenuhi benaknya— kebingungan, marah, lega, dan sesuatu yang lain yang tak bisa ia pahami. Namun saat merasakan usapan telapak tangan Alex yang hangat, perlahan ia yakin kalau tidak sedang bermimpi. Udara kamar terasa dingin, mengingatkan Dewi bahwa pendingin ruangan tetap menyala sepanjang malam. Bau antiseptik khas rumah sakit menyeruak di hidungnya."Sejak kapan kamu di sini, Mas? Udah dari tadi?" tanya Dewi pelan."Baru saja sampai," ucap Alex dengan nad
"Sepertinya untuk hari ini ibu dirawat dulu agar kondisi janinnya bisa lebih terpantau. Kalau besok sudah tidak keluar lagi darah, baru boleh pulang."Dewi melirik ke arah Lucas, seakan memberi isyarat agar remaja itu menghubungi suaminya. Namun sayangnya Lucas tak memahami arti isyarat kakak iparnya."Saya tinggal ya, Bu, Pak. Silahkan kalau ibu mau berembuk dulu sama suaminya," pamit Dokter Vincent seraya berjalan keluar ruangan.Begitu dokter itu keluar ruangan, Lucas mendekati Dewi sambil mengoceh sendiri."Pak. Pek Pak. Umur masih delapan belas tahun begini masa dibilang bapak. Yang benar aja. Memangnya wajahku kelihatan tua apa? Sembarangan tuh dokter," keluh Lucas sambil menendang-nendang udara ringan, seperti seorang anak kecil yang sedang ngambek.Dewi yang duduk di ranjang rumah sakit berusaha menahan tawa. Ia menggigit bibirnya, menghindari suara cekikikan keluar. Ketika dokter tadi datang, Lucas sama sekali tak berani
Mentari pagi menyusup di sela-sela tirai jendela yang sedikit terbuka, menciptakan bayangan tipis di lantai kamar yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi itu terasa dingin, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, bercampur dengan wangi teh yang sudah terhidang di meja. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat, pecah oleh langkah tergesa Dewi yang memegangi perutnya. Setiap langkahnya berat, seolah bebannya tak hanya fisik, tetapi juga emosi yang semakin menyesakkan.Lucas menatapnya panik. “Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” Tangan Lucas gemetar saat meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Matanya bolak-balik memandang Dewi dan pintu, ragu sejenak namun tetap mengutamakan tindakan cepat.“Aku nggak apa-apa, Lucas. Jangan panik,” ujar Dewi, suaranya terdengar lemah namun tegas. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan nyeri yang terasa menyayat dari dalam. Dewi berpegangan pada lengan Lucas
Semalaman, Dewi menangis dalam diam, melampiaskan semua perasaannya dengan air mata. Ia sudah tidak peduli lagi jika sprei tempatnya tidur basah oleh air mata dan ingusnya. Sesekali, ia menggigit ujung selimut, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Alex. Entah mengapa, di tengah kesedihannya, ia masih merasa takut mengganggu tidur suaminya yang dingin. Langit malam di luar kamar terlihat gelap, dengan bintang yang tersembunyi di balik awan tebal, memberikan kesan kesendirian yang semakin dalam di dalam hatinya.Saat cahaya matahari pertama menerobos celah gorden, Dewi bangkit dari ranjang. Sinar pagi yang lembut membuat suasana kamar terasa suram, seolah memperburuk perasaan yang bergelora di dalam dirinya. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang tidur di sampingnya, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menghapus sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin. Tangannya gemetar saat me
Malam itu, kamar Alex dan Dewi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu redup di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning samar, menciptakan bayangan remang yang melukis dinding-dinding kosong. Kamar itu besar, namun minim perabotan, hanya ada ranjang, lemari, dan meja kecil. Tirai jendela sedikit terbuka, memperlihatkan langit kelabu yang menggantung berat di luar, seakan menunggu hujan turun kapan saja.Dewi duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alex yang tampak lelah. Wajahnya penuh lebam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya pelan, tetapi nadanya, dingin. "Aku mau mengobati lukamu, Mas," jawab Dewi lembut, suaranya penuh perhatian. Ia bergerak lebih dekat, mengulurkan kapas ke arah bibir Alex yang lebam. Alex menepis uluran tangan Dewi. "Tidak pe
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments