Pernikahannya dengan Alex Catalano—bosnya yang dingin dan penuh rahasia—memang dikarenakan janin yang dikandung Dewi. Hanya saja, wanita itu justru tak menyangka jika berakhir jatuh cinta pada pria itu. Sayangnya, cinta Dewi bertepuk sebelah tangan. Lantas, bagaimana nasib Dewi? Terlebih, Lucas, adik Alex, justru menawarkan ketulusan padanya...?
더 보기Mentari pagi menyusup di sela-sela tirai jendela yang sedikit terbuka, menciptakan bayangan tipis di lantai kamar yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi itu terasa dingin, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, bercampur dengan wangi teh yang sudah terhidang di meja. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat, pecah oleh langkah tergesa Dewi yang memegangi perutnya. Setiap langkahnya berat, seolah bebannya tak hanya fisik, tetapi juga emosi yang semakin menyesakkan.Lucas menatapnya panik. “Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” Tangan Lucas gemetar saat meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Matanya bolak-balik memandang Dewi dan pintu, ragu sejenak namun tetap mengutamakan tindakan cepat.“Aku nggak apa-apa, Lucas. Jangan panik,” ujar Dewi, suaranya terdengar lemah namun tegas. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan nyeri yang terasa menyayat dari dalam. Dewi berpegangan pada lengan Lucas
Semalaman, Dewi menangis dalam diam, melampiaskan semua perasaannya dengan air mata. Ia sudah tidak peduli lagi jika sprei tempatnya tidur basah oleh air mata dan ingusnya. Sesekali, ia menggigit ujung selimut, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Alex. Entah mengapa, di tengah kesedihannya, ia masih merasa takut mengganggu tidur suaminya yang dingin. Langit malam di luar kamar terlihat gelap, dengan bintang yang tersembunyi di balik awan tebal, memberikan kesan kesendirian yang semakin dalam di dalam hatinya.Saat cahaya matahari pertama menerobos celah gorden, Dewi bangkit dari ranjang. Sinar pagi yang lembut membuat suasana kamar terasa suram, seolah memperburuk perasaan yang bergelora di dalam dirinya. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang tidur di sampingnya, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menghapus sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin. Tangannya gemetar saat me
Malam itu, kamar Alex dan Dewi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu redup di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning samar, menciptakan bayangan remang yang melukis dinding-dinding kosong. Kamar itu besar, namun minim perabotan, hanya ada ranjang, lemari, dan meja kecil. Tirai jendela sedikit terbuka, memperlihatkan langit kelabu yang menggantung berat di luar, seakan menunggu hujan turun kapan saja.Dewi duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alex yang tampak lelah. Wajahnya penuh lebam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya pelan, tetapi nadanya, dingin. "Aku mau mengobati lukamu, Mas," jawab Dewi lembut, suaranya penuh perhatian. Ia bergerak lebih dekat, mengulurkan kapas ke arah bibir Alex yang lebam. Alex menepis uluran tangan Dewi. "Tidak pe
Suara mobil berhenti di halaman membuyarkan lamunan Dewi. Ia buru-buru melepaskan apron yang dipakainya saat memasak dan berjalan menuju pintu. Langit di luar tampak semakin gelap, angin bertiup kencang, membawa aroma tanah yang basah.Dewi berdiri di pintu, tersenyum hangat menyambut Alex. Namun senyumnya seketika pudar melihat penampilan suaminya. Alex keluar dari mobil dengan langkah gontai. Bajunya kusut, wajahnya lebam, dan ada luka kecil di sudut bibirnya. Aroma alkohol tercium jelas ketika ia mendekat."Mukamu kenapa, Mas?" tanya Dewi, suaranya penuh kekhawatiran.Alex tidak menjawab. Ia hanya melewatinya, masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Sampai di kamar, pintu dibanting keras hingga menggemakan suara di seluruh rumah.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dalam kegelapan. Cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela menjadi satu-satunya penerangan di kamar."Ken
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글