Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan.
"Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa."
Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan.
"Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?"
Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak usia mereka berdua terpaut lumayan jauh.
Dimana Alex berusia tiga puluh dua tahun, sedangkan Dewi masih berusia dua puluh tiga tahun.
"Terserah," ketus Alex.
"Terima kasih," jawab Dewi seraya tersenyum simpul.
Keduanya tidak lagi berbicara setelah percakapan singkat itu berakhir.
Berjam-jam menyusuri jalan raya, tanpa terasa mereka sampai di sebuah rumah bergaya minimalis modern dengan warna putih yang mendominasi keseluruhan interiornya.
Dewi berjalan perlahan menyusuri setiap sudut ruangan. Ia ingin mengenali setiap bagian dari jiwa Alex melalui ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Berharap dengan begitu dirinya dapat merasa nyaman dan betah tinggal satu atap dengan sang suami.
"Dewi."
Mendengar suara lantang Alex yang memanggil namanya, Dewi buru-buru kembali menghampiri suaminya.
"Iya, Mas?"
Saat Dewi mendekat, Alex sedang duduk di sofa. Matanya memandang ke arah televisi yang sedang menyiarkan berita terhangat pagi hari itu.
"Duduk! Ada yang ingin saya bicarakan denganmu," ucap Alex sembari melirik ke arah sofa kosong yang ada di seberangnya.
Dewi menurut. Perlahan ia mendudukkan dirinya pada celah kosong sofa panjang yang sebelahnya sudah diduduki Alex.
"Dengarkan baik-baik karena saya hanya mau membicarakan ini satu kali saja."
Kini pandangan mata dan posisi duduk Dewi sudah tertuju hanya pada Alex. Jemarinya bergerak merapikan rambut ke belakang telinga agar dapat memusatkan pendengaran. Kalau saja ia membawa kertas dan bolpoint, mungkin sekarang sudah dikeluarkannya untuk mencatat perkataan suaminya seperti saat di kantor.
"Dengar ya, Wi. Saya tidak suka ada orang asing masuk rumah ini. Jadi jangan coba kamu membawa siapapun masuk kesini tanpa seizin saya. Mengerti?"
"Mengerti, Mas."
Alex memutar bola matanya sekilas, seperti tengah berusaha mengingat sesuatu.
"Ngomong-ngomong apa kau bisa masak?"
"Kalau hanya sekedar masak makanan rumahan yang sederhana, saya bisa."
Alex mengangguk pelan. Senyum tipis nampak terukir di wajahnya.
"Baiklah. Urusan dapur sekarang jadi tanggung jawabmu. Nanti saya akan berikan uang untuk belanja bulanan. Pakailah dengan bijak."
"Baik, Mas."
"Selama kamu tinggal disini, saya minta satu hal sama kamu. Jangan mengubah perabotan atau apapun yang sudah saya tata di rumah ini. Saya tidak suka ada orang yang mengacak-acak rumah saya. Mengerti?"
"Mengerti, Mas."
"Satu lagi. Kamu boleh pergunakan seluruh fasilitas yang ada di rumah ini, tapi jangan pernah kamu sentuh barang-barang yang ada di ruang kerja saya. Paham itu?"
"Iya, Mas. Saya akan selalu mengingatnya."
"Bagus. Kalau begitu kamu boleh pergi sekarang. Jangan ganggu saya yang mau istirahat," usir Alex sembari menyandarkan punggungnya ke sofa.
Dewi memandangi wajah Alex yang kini sudah merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Mata lelaki itu sudah tidak lagi menatap mata Dewi, melainkan beralih ke arah televisi di depannya.
Tidak ingin menganggu istirahat suaminya, perlahan Dewi berdiri dan berjalan menjauh dari sofa.
Saat tengah berganti pakaian, ia mendengar suara Alex yang berteriak-teriak memanggil namanya. Dengan cepat Dewi memakai kembali bajunya dan keluar kamar.
"Ada apa, Mas?" tanya Dewi begitu mendekat ke sisi Alex.
"Habis dari mana kamu? Dipanggil dari tadi bukannya nyaut. Budek ya kamu?"
"Maaf, Mas. Aku tadi lagi pakai baju, habis selesai mandi."
Alex melirik jam dinding yang ada diruangan itu. Ujung jarum jamnya menunjukkan pukul dua belas siang.
"Mandi? Kau mandi tengah hari bolong begini?" tanya Alex seolah tak percaya.
"Iya, Mas. Habisnya gerah. Agak bau juga karena baru selesai masak."
Alex mengangguk singkat, tak lagi mempermasalahkan Dewi yang mandi saat siang hari.
"Ya sudah. Sekarang kau siapkan saya makan siang. Cepat sana siapkan!. Sepuluh menit lagi saya ke meja makan," usir Alex sambil mengibaskan telapak tangannya.
Dewi menurut dan lantas berjalan ke dapur, menyiapkan makan siang untuk suaminya. Tidak lama kemudian, Alex datang menghampirinya ke meja makan.
"Mana makanan untuk saya?"
Alex memilih duduk di salah satu kursi yang paling ujung.
"Sebentar, Mas. Aku ambilin nasinya."
Dengan cekatan Dewi melayani suaminya makan. Mulai dari menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring kosong yang ada di hadapan Alex.
"Ini, Mas. Makan yang banyak."
Alex tak menanggapi ucapan Dewi. Tatapannya yang sudah fokus ke arah makanan di piringnya, mendadak beralih saat Dewi duduk di sebelahnya.
"Mau ngapain kau duduk disitu?"
"Mau ikutan makan. Kita makan bareng ya, Mas."
Dewi yang baru saja mengambil piring kosong yang ada di hadapannya, terpaksa menaruh kembali piring itu ke tempatnya semula begitu melihat gelengan kepala Alex.
"Enggak. Enggak. Kau makannya nanti saja. Sekarang kau ke pergi ke halaman depan. Itu ikan-ikan saya yang ada di kolam sudah dua hari belum di kasih makan gara-gara kau."
Dewi tercenung, tak mengerti kenapa dirinya jadi disalahkan hanya karena ikan yang belum di beri pakan selama dua hari.
"Gimana maksudnya, Mas?"
"Iya. Semuanya karena ulah kau. Kalau saja kemarin saya tidak sibuk seharian di acara pernikahan, saya tak mungkin lupa kasih makan ikan-ikan itu. Jadi sekarang kau harus membayar kesalahanmu kemarin pada ikan-ikan saya. Sekalian berkenalan dengan mereka."
Dewi mengeleng pelan. Bagaimana mungkin ia memberi pakan ikan sekarang sementara perutnya sendiri perlu lebih dulu di beri makan? Ini terasa tak adil baginya.
"Kenapa diam saja? Sana cepat pergi ke kolam!" tegas Alex menyadari Dewi tak segera beranjak pergi.
Dewi kembali mengatupkan mulutnya, mengurungkan niat yang hendak melayangkan gugatan protes. Sejenak ia kembali teringat statusnya sebagai seorang istri yang harus berbakti dan mematuhi perintah suami.
Walau agak sedikit kesal, Dewi beranjak dari tempat duduknya. Namun Alex tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.
Genggaman tangan Alex membuat rasa kesal Dewi menguap begitu saja. Wajahnya yang semula merengut jadi sedikit merona. Berbanding terbalik dengan Alex yang menatapnya kesal.
BERSAMBUNG..
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De
"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin."Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?" Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir."Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya."Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."P
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin."Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?" Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir."Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya."Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."P
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De