"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."
Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin.
"Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?"
Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir.
"Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.
Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya.
"Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."
Perkataan Alex seketika membuat mata Dewi memanas.
"Dan saya tegaskan padamu sekali lagi. Kalau saya tak bisa memberikanmu cinta dan perhatian karena menikah denganmu tidak pernah masuk ke dalam daftar salah satu tujuan hidup saya. Tetapi karena katanya kau telah hamil anak saya. Maka saya hanya bisa memberikan tanggung jawab sebagai suami dan ayah dari anak yang kau kandung. Tidak lebih dari itu. Jadi jangan pernah berharap akan ada cinta dalam pernikahan ini."
Dewi seketika mematung, tak memberikan reaksi apa pun atas perkataan Alex. Merasa tak di tanggapi, lelaki itu lantas berjalan pergi hendak meninggalkan Dewi yang masih tampak syok.
Belum beberapa langkah Alex berjalan menjauh, lelaki itu kembali berbalik badan.
"Dan satu lagi."
Alex kembali mendekat dengan jari telunjuk teracung ke wajah Dewi.
"Jaga mulutmu itu! Saya tidak ingin ada orang lain yang tahu soal pernikahan kita. Apalagi orang-orang yang bekerja di kantor. Jangan sampai mereka tahu. Mengerti?"
"Mengerti, Pak."
Dewi mengangguk patuh. Walau status mereka sekarang sudah sedikit berubah menjadi suami istri, tapi Alex tetaplah bos bagi Dewi saat berada di kantor. Seperti sebuah kebiasaan, mungkin lelaki itu juga tetap akan memperlakukannya sebagai bawahan walau sudah berada di luar kantor.
"Malam ini kau bebas melakukan apapun sesuka hatimu, tapi ingat jangan coba-coba meninggalkan kamar ini sebelum saya kembali."
Setelah mengatakan sepatah kata penutup, Alex berjalan ke arah pintu dan...
Brak...
Alex keluar kamar, membanting pintu dengan sangat keras.
Air mata yang sengaja ditahan wanita itu kini sudah tak bisa di bendung lagi. Dewi menangis, meratapi semua kenyataan yang telah menimpa hidupnya.
Beberapa waktu yang lalu, Dewi yang dilema karena hamil tanpa seorang suami dihadapkan pada pilihan sulit saat harus memberitahukan kondisinya pada Alex yang tak lain ialah bosnya. Lelaki yang tak banyak berbicara dan memiliki sikap angkuh itu tak langsung percaya begitu saja saat dirinya mengatakan kalau tengah hamil anaknya.
Namun beberapa hari kemudian lelaki yang sempat menuduh Dewi berbohong itu, tiba-tiba saja memberinya dua pilihan sulit. Yang pertama Dewi harus berhenti bekerja di perusahaan Alex. Sebagai gantinya dia bersedia menikahi Dewi dengan syarat wanita itu harus merahasiakan pernikahan mereka di depan umum. Atau Dewi tetap dibolehkan bekerja dengan syarat harus rela mengugurkan janin yang di kandungnya. Dan sebagai gantinya Alex bersedia memberikan uang sejumlah satu juta dollar untuk biaya pemulihan pasca aborsi.
Jelas saja, Dewi memilih pilihan yang kedua. Walaupun kehadirannya tidak diinginkan, ia tak akan sanggup membunuh makhluk tidak berdosa yang kini sedang bertumbuh dalam rahimnya.
Selain itu Dewi memang tak berani berharap lebih apalagi menuntut yang macam-macam. Ia hanya menginginkan status untuk anak yang di kandungnya. Dan memang hal itu saja yang terpenting baginya saat ini.
Walau dirinya sangat sadar akan posisinya di mata lelaki itu. Namun entah mengapa kata-kata yang tadi diucapkan Alex pada malam pertama mereka, membuat Dewi kembali bersedih.
Malam pertama biasanya dinikmati berdua oleh sepasang pengantin yang baru menikah. Tapi tidak dengan Dewi. Sang pengantin pria malah pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kamar hotel. Entah kemana perginya lelaki itu, Dewi tak tahu. Untuk sekedar bertanya mau kemana saja, wanita itu tak sanggup. Apalagi sampai melarang pergi lelaki yang baru beberapa jam resmi menjadi suaminya.
☆☆☆
Brak...
Dewi yang sedang tertidur pulas seketika terbangun kaget begitu mendengar suara gebrakan pintu yang dibuka cukup keras. Saking kagetnya ia langsung terduduk dengan mata setengah terbuka.
"Sudah pagi ya?" tanya Dewi seraya menguap lebar-lebar.
Dewi berbicara dengan tingkat kesadaran yang belum penuh.
Merasa tak mendapatkan jawaban, Dewi pun menoleh. Wajahnya sedikit terkejut melihat penampilan Alex yang hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi tubuh polosnya.
"Lihat apa kau?"
Dewi mengeleng dengan cepat. Tatapan tajam Alex yang mengintimidasi membuat nyalinya kian ciut dan akhirnya mengalihkan pandangan.
"Kenapa hanya duduk diam disitu? Apa kau tahu sekarang sudah jam berapa?"
"Jam tujuh," balas Dewi sembari melirik jam di ponselnya.
Menyadari Alex yang meradang seperti menahan kesal, Dewi lantas kembali bertanya.
"Memangnya saya harus apa sekarang?"
"Kau nggak perlu membersihkan diri sehabis bangun atau memang seperti ini kebiasanmu tiap pagi."
Dewi mengejapkan mata berulang kali sembari mencerna perkataan Alex. Disaat ia tengah berusaha memahami maksud kata-katanya, lelaki yang sedari tadi sudah memasang tampang garang seketika menunjuk pintu kamar mandi dengan mata melotot.
"Cepat sana mandi! Atau kau mau saya tinggal di hotel ini sendirian."
Mendengar titah tegas bernada ancaman yang dilontarkan Alex, Dewi segera bergegas turun dari ranjang dan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi.
"Saya tunggu lima belas menit. Lewat dari lima belas menit jangan salahkan saya kalau kau nanti saya tinggal," sambung Alex sebelum Dewi menutup pintu kamar mandi.
Tidak sampai lebih dari lima belas menit, Dewi sudah keluar dari kamar mandi. Begitu keluar, ia dibuat terkesima dengan penampilan Alex yang lain dari biasa dilihatnya.
Biasanya lelaki itu selalu berpakaian formal saat di kantor. Jas dan kemeja yang tak pernah lepas di badan, seperti sebuah seragam wajibnya saja. Dan untuk pertama kalinya, Dewi melihat Alex berpakaian sangat santai. Kesan lelaki dingin nan angkuh seketika lenyap dalam balutan kaos putih yang di lapisi sweater dan celana jeans yang di kenakannya saat ini.
"Astaga, kenapa dia terlihat semakin tampan memakai pakaian begitu?"
Dewi seketika tertunduk saat Alex memergokinya yang diam-diam memandang kagum sang suami. Entah lelaki itu mendengar atau tidak, yang jelas Alex hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum melengang pergi dari kamar.
"Saya tunggu dibawah. Jangan lama-lama ganti bajunya," ujar Alex sebelum menghilang dari balik pintu.
Selepas cek in hotel, Alex meminta Dewi untuk mengikutinya dari belakang. Walau tak membantah sedikitpun, namun Dewi bertanya-tanya dalam hati hendak di bawa kemana kah dirinya?
BERSAMBUNG...
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Suara mobil berhenti di halaman membuyarkan lamunan Dewi. Ia buru-buru melepaskan apron yang dipakainya saat memasak dan berjalan menuju pintu. Langit di luar tampak semakin gelap, angin bertiup kencang, membawa aroma tanah yang basah.Dewi berdiri di pintu, tersenyum hangat menyambut Alex. Namun senyumnya seketika pudar melihat penampilan suaminya. Alex keluar dari mobil dengan langkah gontai. Bajunya kusut, wajahnya lebam, dan ada luka kecil di sudut bibirnya. Aroma alkohol tercium jelas ketika ia mendekat."Mukamu kenapa, Mas?" tanya Dewi, suaranya penuh kekhawatiran.Alex tidak menjawab. Ia hanya melewatinya, masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Sampai di kamar, pintu dibanting keras hingga menggemakan suara di seluruh rumah.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dalam kegelapan. Cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela menjadi satu-satunya penerangan di kamar."Ken
Malam itu, kamar Alex dan Dewi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu redup di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning samar, menciptakan bayangan remang yang melukis dinding-dinding kosong. Kamar itu besar, namun minim perabotan, hanya ada ranjang, lemari, dan meja kecil. Tirai jendela sedikit terbuka, memperlihatkan langit kelabu yang menggantung berat di luar, seakan menunggu hujan turun kapan saja.Dewi duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alex yang tampak lelah. Wajahnya penuh lebam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya pelan, tetapi nadanya, dingin. "Aku mau mengobati lukamu, Mas," jawab Dewi lembut, suaranya penuh perhatian. Ia bergerak lebih dekat, mengulurkan kapas ke arah bibir Alex yang lebam. Alex menepis uluran tangan Dewi. "Tidak pe
Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak, tertegun melihat kejadian itu. Namun, kebanyakan hanya bergegas pergi, menundukkan kepala seolah tak ingin terlibat. Hanya suara langkah terburu-buru dan bisikan pelan yang tersisa, meninggalkan Alex dalam kesendirian melawan rasa sakitnya.Wajah Dave mendekat, terlihat jelas di bawah sorotan lampu jalan yang suram. Matanya menyala dengan amarah yang membara, sementara rahangnya yang tegas tampak mengeras, mencerminkan kebencian yang mendalam. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun senyum itu lebih menyerupai ejekan penuh penghinaan daripada ekspresi bahagia. Terdapat kerutan tajam di antara alisnya, menciptakan bayangan gelap yang menutupi sebagian wajahnya. Kilatan di matanya menunjukkan rasa puas setiap kali melihat Alex terpuruk. Dave tidak hanya memancarkan kemarahan, tapi juga kekuasaan—seolah dirinya selalu berada di atas Alex, baik secara fisik maupun emosional."Alex!" seru Dave sambil melayangkan pukulan
Langit malam mulai memerah saat Alex meninggalkan kafe itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak membawa kenangan yang ingin ia lupakan. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan.Tanpa sadar, ia berakhir di bar yang biasa ia kunjungi ketika semuanya terasa tak terkendali. Suasana bar yang gelap dan berisik seperti tempat sempurna untuk kehilangan diri. Ia memesan vodka dan meminumnya tanpa berpikir panjang.Saat gelas ketiga, pikirannya kembali pada Rachel. Namun kali ini, bayangan Dewi melintas. Wajah istrinya yang tenang, senyum lembutnya saat menyajikan teh di pagi hari.Alex menutup matanya. Rasa bersalah menyelinap masuk. Dewi adalah korban dari kekacauannya sendiri. "Aku terpaksa menikahinya," gumam Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi apakah benar hanya itu alasan dia bersama Dewi? Kenapa setiap kali mengingat senyumnya, ia merasakan sesuatu yang hangat?&nbs
Alex memasuki kamar perawatan Dewi di rumah sakit dengan langkah pelan. Suasana ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Dewi terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, dengan wajah yang pucat.Alex berdiri di sana, memandangi Dewi cukup lama. Tubuhnya terasa lelah, dan hatinya terasa kosong. Keadaan di sekelilingnya seakan tidak bisa mengurangi ketegangan yang masih menjerat dirinya. "Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya, matanya tertunduk. Ia mendesah panjang, lalu berjalan mendekat. Tatapannya melembut saat melihat perut Dewi yang membuncit. Meski ada kehidupan baru yang mereka nantikan, Alex masih merasa asing dengan semua ini. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang menyergapnya."Apa aku terlalu keras?" pikirnya.Rachel pernah berkata, "Kalau kau tidak bisa menunjukkan rasa sayangmu, paling tidak jangan membuatnya merasa tidak dihargai." Kata-kata itu terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang sudah ra
Pagi itu, suasana ruang rawat Dewi masih sunyi. Pancaran sinar matahari yang menerobos jendela menyentuh lembut permukaan lantai berubin putih, menciptakan kilauan yang menghangatkan. Di sisi ranjang, aroma khas antiseptik bercampur dengan samar bau bunga dari vas kecil di meja samping. Seorang dokter dengan nametag bernama Vincent mengambil tetoskop dari kantung seragamnya."Coba saya periksa dulu. Maaf, bagian sebelah mana yang terasa kram?"Dengan sigap dokter Vincent memeriksa Dewi. Lucas bergeser, berjalan mengampiri Alex yang tengah duduk di sofa."Saya sudah diperbolehkan pulang hari ini 'kan, Dok?""Iya, boleh. Tapi setelah sampai rumah nanti jangan langsung beraktifitas berat dulu ya. Perbanyak istirahat dan hindari stres agar bayinya sehat terus sampai nanti waktunya melahirkan."Dewi mengangguk patuh. Wajahnya sedikit tertunduk, menyadari kesalahannya. Sebelum masuk rumah sakit, ia memang kurang istirahat karena stres memikirkan ca
Suasana ruang inap terasa sunyi, hanya ditemani suara mesin infus yang berdetak pelan dan sesekali langkah kaki perawat di luar. Aroma antiseptik menyeruak, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Cahaya matahari pagi menembus tirai putih tipis, menciptakan bayangan lembut di dinding. Alex duduk di sofa dekat jendela, tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di lutut, dan pandangannya kosong, menatap lantai tanpa benar-benar melihat.Dewi memandang pria itu sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak perlu ditemani siapapun. Mas juga tidak perlu risau. Nanti kalau dokter sudah mengizinkan pulang, aku bisa pulang sendiri ke rumah Mas. Tenang saja. Aku tidak akan kabur ke mana-mana." Suaranya terdengar pelan, namun cukup tegas, seperti seseorang yang sudah lelah berdebat.Alex menegakkan tubuhnya perlahan, tatapannya tajam, tapi ia masih berusaha menahan diri. "Sudah mulai berani sekarang kamu mengatur-atur saya ya?" Nada bicaranya dingin, tapi m
Ketika Dewi membuka mata, ia melihat Alex duduk di sisinya. Cahaya redup dari lampu memantulkan bayangan wajah pria itu di dinding putih kamar rumah sakit. Pandangan Alex lembut tapi sendu, seolah ada beban yang enggan ia bagi. Mata Dewi mengejap beberapa kali, memastikan ini bukan halusinasi."Mas Alex?" suaranya serak, hampir seperti bisikan.Alex tersenyum kecil sekilas, mengalihkan pandangan sambil mengusap kepala Dewi.Dewi terdiam. Berbagai emosi memenuhi benaknya— kebingungan, marah, lega, dan sesuatu yang lain yang tak bisa ia pahami. Namun saat merasakan usapan telapak tangan Alex yang hangat, perlahan ia yakin kalau tidak sedang bermimpi. Udara kamar terasa dingin, mengingatkan Dewi bahwa pendingin ruangan tetap menyala sepanjang malam. Bau antiseptik khas rumah sakit menyeruak di hidungnya."Sejak kapan kamu di sini, Mas? Udah dari tadi?" tanya Dewi pelan."Baru saja sampai," ucap Alex dengan nad
"Sepertinya untuk hari ini ibu dirawat dulu agar kondisi janinnya bisa lebih terpantau. Kalau besok sudah tidak keluar lagi darah, baru boleh pulang."Dewi melirik ke arah Lucas, seakan memberi isyarat agar remaja itu menghubungi suaminya. Namun sayangnya Lucas tak memahami arti isyarat kakak iparnya."Saya tinggal ya, Bu, Pak. Silahkan kalau ibu mau berembuk dulu sama suaminya," pamit Dokter Vincent seraya berjalan keluar ruangan.Begitu dokter itu keluar ruangan, Lucas mendekati Dewi sambil mengoceh sendiri."Pak. Pek Pak. Umur masih delapan belas tahun begini masa dibilang bapak. Yang benar aja. Memangnya wajahku kelihatan tua apa? Sembarangan tuh dokter," keluh Lucas sambil menendang-nendang udara ringan, seperti seorang anak kecil yang sedang ngambek.Dewi yang duduk di ranjang rumah sakit berusaha menahan tawa. Ia menggigit bibirnya, menghindari suara cekikikan keluar. Ketika dokter tadi datang, Lucas sama sekali tak berani
Mentari pagi menyusup di sela-sela tirai jendela yang sedikit terbuka, menciptakan bayangan tipis di lantai kamar yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi itu terasa dingin, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, bercampur dengan wangi teh yang sudah terhidang di meja. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat, pecah oleh langkah tergesa Dewi yang memegangi perutnya. Setiap langkahnya berat, seolah bebannya tak hanya fisik, tetapi juga emosi yang semakin menyesakkan.Lucas menatapnya panik. “Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” Tangan Lucas gemetar saat meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Matanya bolak-balik memandang Dewi dan pintu, ragu sejenak namun tetap mengutamakan tindakan cepat.“Aku nggak apa-apa, Lucas. Jangan panik,” ujar Dewi, suaranya terdengar lemah namun tegas. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan nyeri yang terasa menyayat dari dalam. Dewi berpegangan pada lengan Lucas
Semalaman, Dewi menangis dalam diam, melampiaskan semua perasaannya dengan air mata. Ia sudah tidak peduli lagi jika sprei tempatnya tidur basah oleh air mata dan ingusnya. Sesekali, ia menggigit ujung selimut, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Alex. Entah mengapa, di tengah kesedihannya, ia masih merasa takut mengganggu tidur suaminya yang dingin. Langit malam di luar kamar terlihat gelap, dengan bintang yang tersembunyi di balik awan tebal, memberikan kesan kesendirian yang semakin dalam di dalam hatinya.Saat cahaya matahari pertama menerobos celah gorden, Dewi bangkit dari ranjang. Sinar pagi yang lembut membuat suasana kamar terasa suram, seolah memperburuk perasaan yang bergelora di dalam dirinya. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang tidur di sampingnya, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menghapus sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin. Tangannya gemetar saat me