"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."
Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin.
"Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?"
Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir.
"Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.
Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya.
"Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."
Perkataan Alex seketika membuat mata Dewi memanas.
"Dan saya tegaskan padamu sekali lagi. Kalau saya tak bisa memberikanmu cinta dan perhatian karena menikah denganmu tidak pernah masuk ke dalam daftar salah satu tujuan hidup saya. Tetapi karena katanya kau telah hamil anak saya. Maka saya hanya bisa memberikan tanggung jawab sebagai suami dan ayah dari anak yang kau kandung. Tidak lebih dari itu. Jadi jangan pernah berharap akan ada cinta dalam pernikahan ini."
Dewi seketika mematung, tak memberikan reaksi apa pun atas perkataan Alex. Merasa tak di tanggapi, lelaki itu lantas berjalan pergi hendak meninggalkan Dewi yang masih tampak syok.
Belum beberapa langkah Alex berjalan menjauh, lelaki itu kembali berbalik badan.
"Dan satu lagi."
Alex kembali mendekat dengan jari telunjuk teracung ke wajah Dewi.
"Jaga mulutmu itu! Saya tidak ingin ada orang lain yang tahu soal pernikahan kita. Apalagi orang-orang yang bekerja di kantor. Jangan sampai mereka tahu. Mengerti?"
"Mengerti, Pak."
Dewi mengangguk patuh. Walau status mereka sekarang sudah sedikit berubah menjadi suami istri, tapi Alex tetaplah bos bagi Dewi saat berada di kantor. Seperti sebuah kebiasaan, mungkin lelaki itu juga tetap akan memperlakukannya sebagai bawahan walau sudah berada di luar kantor.
"Malam ini kau bebas melakukan apapun sesuka hatimu, tapi ingat jangan coba-coba meninggalkan kamar ini sebelum saya kembali."
Setelah mengatakan sepatah kata penutup, Alex berjalan ke arah pintu dan...
Brak...
Alex keluar kamar, membanting pintu dengan sangat keras.
Air mata yang sengaja ditahan wanita itu kini sudah tak bisa di bendung lagi. Dewi menangis, meratapi semua kenyataan yang telah menimpa hidupnya.
Beberapa waktu yang lalu, Dewi yang dilema karena hamil tanpa seorang suami dihadapkan pada pilihan sulit saat harus memberitahukan kondisinya pada Alex yang tak lain ialah bosnya. Lelaki yang tak banyak berbicara dan memiliki sikap angkuh itu tak langsung percaya begitu saja saat dirinya mengatakan kalau tengah hamil anaknya.
Namun beberapa hari kemudian lelaki yang sempat menuduh Dewi berbohong itu, tiba-tiba saja memberinya dua pilihan sulit. Yang pertama Dewi harus berhenti bekerja di perusahaan Alex. Sebagai gantinya dia bersedia menikahi Dewi dengan syarat wanita itu harus merahasiakan pernikahan mereka di depan umum. Atau Dewi tetap dibolehkan bekerja dengan syarat harus rela mengugurkan janin yang di kandungnya. Dan sebagai gantinya Alex bersedia memberikan uang sejumlah satu juta dollar untuk biaya pemulihan pasca aborsi.
Jelas saja, Dewi memilih pilihan yang kedua. Walaupun kehadirannya tidak diinginkan, ia tak akan sanggup membunuh makhluk tidak berdosa yang kini sedang bertumbuh dalam rahimnya.
Selain itu Dewi memang tak berani berharap lebih apalagi menuntut yang macam-macam. Ia hanya menginginkan status untuk anak yang di kandungnya. Dan memang hal itu saja yang terpenting baginya saat ini.
Walau dirinya sangat sadar akan posisinya di mata lelaki itu. Namun entah mengapa kata-kata yang tadi diucapkan Alex pada malam pertama mereka, membuat Dewi kembali bersedih.
Malam pertama biasanya dinikmati berdua oleh sepasang pengantin yang baru menikah. Tapi tidak dengan Dewi. Sang pengantin pria malah pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kamar hotel. Entah kemana perginya lelaki itu, Dewi tak tahu. Untuk sekedar bertanya mau kemana saja, wanita itu tak sanggup. Apalagi sampai melarang pergi lelaki yang baru beberapa jam resmi menjadi suaminya.
☆☆☆
Brak...
Dewi yang sedang tertidur pulas seketika terbangun kaget begitu mendengar suara gebrakan pintu yang dibuka cukup keras. Saking kagetnya ia langsung terduduk dengan mata setengah terbuka.
"Sudah pagi ya?" tanya Dewi seraya menguap lebar-lebar.
Dewi berbicara dengan tingkat kesadaran yang belum penuh.
Merasa tak mendapatkan jawaban, Dewi pun menoleh. Wajahnya sedikit terkejut melihat penampilan Alex yang hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi tubuh polosnya.
"Lihat apa kau?"
Dewi mengeleng dengan cepat. Tatapan tajam Alex yang mengintimidasi membuat nyalinya kian ciut dan akhirnya mengalihkan pandangan.
"Kenapa hanya duduk diam disitu? Apa kau tahu sekarang sudah jam berapa?"
"Jam tujuh," balas Dewi sembari melirik jam di ponselnya.
Menyadari Alex yang meradang seperti menahan kesal, Dewi lantas kembali bertanya.
"Memangnya saya harus apa sekarang?"
"Kau nggak perlu membersihkan diri sehabis bangun atau memang seperti ini kebiasanmu tiap pagi."
Dewi mengejapkan mata berulang kali sembari mencerna perkataan Alex. Disaat ia tengah berusaha memahami maksud kata-katanya, lelaki yang sedari tadi sudah memasang tampang garang seketika menunjuk pintu kamar mandi dengan mata melotot.
"Cepat sana mandi! Atau kau mau saya tinggal di hotel ini sendirian."
Mendengar titah tegas bernada ancaman yang dilontarkan Alex, Dewi segera bergegas turun dari ranjang dan tergopoh-gopoh menuju kamar mandi.
"Saya tunggu lima belas menit. Lewat dari lima belas menit jangan salahkan saya kalau kau nanti saya tinggal," sambung Alex sebelum Dewi menutup pintu kamar mandi.
Tidak sampai lebih dari lima belas menit, Dewi sudah keluar dari kamar mandi. Begitu keluar, ia dibuat terkesima dengan penampilan Alex yang lain dari biasa dilihatnya.
Biasanya lelaki itu selalu berpakaian formal saat di kantor. Jas dan kemeja yang tak pernah lepas di badan, seperti sebuah seragam wajibnya saja. Dan untuk pertama kalinya, Dewi melihat Alex berpakaian sangat santai. Kesan lelaki dingin nan angkuh seketika lenyap dalam balutan kaos putih yang di lapisi sweater dan celana jeans yang di kenakannya saat ini.
"Astaga, kenapa dia terlihat semakin tampan memakai pakaian begitu?"
Dewi seketika tertunduk saat Alex memergokinya yang diam-diam memandang kagum sang suami. Entah lelaki itu mendengar atau tidak, yang jelas Alex hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum melengang pergi dari kamar.
"Saya tunggu dibawah. Jangan lama-lama ganti bajunya," ujar Alex sebelum menghilang dari balik pintu.
Selepas cek in hotel, Alex meminta Dewi untuk mengikutinya dari belakang. Walau tak membantah sedikitpun, namun Dewi bertanya-tanya dalam hati hendak di bawa kemana kah dirinya?
BERSAMBUNG...
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Suara mobil berhenti di halaman membuyarkan lamunan Dewi. Ia buru-buru melepaskan apron yang dipakainya saat memasak dan berjalan menuju pintu. Langit di luar tampak semakin gelap, angin bertiup kencang, membawa aroma tanah yang basah.Dewi berdiri di pintu, tersenyum hangat menyambut Alex. Namun senyumnya seketika pudar melihat penampilan suaminya. Alex keluar dari mobil dengan langkah gontai. Bajunya kusut, wajahnya lebam, dan ada luka kecil di sudut bibirnya. Aroma alkohol tercium jelas ketika ia mendekat."Mukamu kenapa, Mas?" tanya Dewi, suaranya penuh kekhawatiran.Alex tidak menjawab. Ia hanya melewatinya, masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Sampai di kamar, pintu dibanting keras hingga menggemakan suara di seluruh rumah.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dalam kegelapan. Cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela menjadi satu-satunya penerangan di kamar."Ken
Malam itu, kamar Alex dan Dewi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu redup di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning samar, menciptakan bayangan remang yang melukis dinding-dinding kosong. Kamar itu besar, namun minim perabotan, hanya ada ranjang, lemari, dan meja kecil. Tirai jendela sedikit terbuka, memperlihatkan langit kelabu yang menggantung berat di luar, seakan menunggu hujan turun kapan saja.Dewi duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alex yang tampak lelah. Wajahnya penuh lebam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya pelan, tetapi nadanya, dingin. "Aku mau mengobati lukamu, Mas," jawab Dewi lembut, suaranya penuh perhatian. Ia bergerak lebih dekat, mengulurkan kapas ke arah bibir Alex yang lebam. Alex menepis uluran tangan Dewi. "Tidak pe
“Bukankah tadi Kakak sendiri yang membolehkan kami pergi?”Suara Lucas terdengar kecil di ruang tamu yang sempit. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan udara dingin mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela kayu. Lampu gantung kecil di langit-langit ruangan memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di dinding.Dewi mendengar suara geram yang keluar dari mulut Alex saat Lucas menyela. Ia mulai menyesali keputusannya menerima ajakan Lucas melihat matahari terbenam. Kalau tahu suaminya akan semarah ini, mungkin dia lebih baik menolak sejak awal.“Lucas tadi kan udah telepon Kakak buat minta izin,” lanjut Lucas dengan nada lirih, seolah tahu ia sudah melanggar batas.“Tapi kamu tadi bilang mau ke mana? Ke pantai?” Alex mengangkat suaranya, menatap adiknya tajam. “Enggak kan?”Lucas menundukkan kepala, menatap lantai seme
Lucas berjalan menghampiri Dewi dengan napas yang agak tersengal-sengal. Keringat mengucur deras di sekitar wajahnya yang terlihat cerah meski letih. Langit di atas mereka mulai memerah, seperti menyimpan kisah-kisah senja yang tak terungkapkan. Angin pantai yang semilir menyapu kulitnya, membawa aroma laut asin yang menyegarkan. Walaupun begitu, ia masih bisa tersenyum cerah ketika matanya bertemu pandang dengan Dewi, yang duduk di atas batu besar, menikmati pemandangan senja.“Minum dulu nih,” tawar Dewi sambil memberikan sebotol air dingin yang baru saja ia ambil dari tas.“Makasih, Mbak," jawab Lucas, menerima botol air itu dengan cepat dan langsung meminumnya hingga setengah.“Capek?” ledek Dewi dengan senyum tipis, matanya mengamati adik iparnya yang masih terlihat bersemangat meski keringat membasahi wajahnya.“Enggak, cuma keringatan aja.”“Wajar dong, main bola pasti bikin keringa
“Aduh. Duh…”Dewi meringis pelan, menundukkan kepala dan mengelus perutnya dengan lembut, mencoba menenangkan ketegangan yang muncul. Matahari sore mulai merendah, memancarkan cahaya keemasan yang menciptakan bayangan panjang di pasir pantai. Udara terasa sejuk setelah siang yang terik, angin laut membawa aroma asin yang menyegarkan, dan ombak yang pelan menyapu bibir pantai seolah turut meredakan ketegangan dalam dirinya.“Kenapa, Mbak?”Lucas menoleh, mendengar suara Dewi yang meringis pelan. Dengan cepat ia mendekat, menyadari perubahan raut wajah kakak iparnya yang terlihat tidak nyaman.“Enggak apa-apa, Cas,” jawab Dewi sambil tersenyum tipis, mencoba menenangkan Lucas yang jelas terlihat cemas. Suara deburan ombak di belakang mereka memberi sentuhan ketenangan, namun Dewi merasakan getaran aneh di perutnya.Lucas memiringkan kepala, dahinya berkerut. “E
Dewi nampak duduk di sebuah kursi panjang. yang terbuat dari kayu jati, dikelilingi oleh semak-semak hijau yang tak terawat. Sore hari yang tenang dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah pohon tinggi di sekitarnya. Suara burung-burung kecil yang berkicau merdu mengisi udara, sementara angin semilir yang lembut berhembus, memberikan kesejukan yang menenangkan. Dewi sesekali mengelus perut buncitnya yang makin besar, menunggu kedatangan Lucas yang sudah lama hilang dari pandangan."Ke mana dulu sih anak itu? Lama sekali," gerutunya pelan, matanya berkeliling, mencari tanda-tanda kehadirannya."Mbak Dewi..."Dewi menoleh tak kala seseorang memanggil namanya. Matanya seketika memandang lurus, menatap seorang remaja laki-laki yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan ke arahnya dengan penuh semangat.Dewi memasang ekspresi cemberut seiring langkah kaki remaja semakin mendekat kearahnya. "Buang air keci
Suara bel yang berbunyi nyaring memutus pembicaraan Lucas dengan pemilik rumah. Cuaca sore itu terasa cukup panas, matahari yang mulai condong ke barat memancarkan sinar keemasan yang menyinari halaman rumah yang teduh dengan pohon-pohon besar. Angin sore yang lembut berdesir, namun tidak cukup untuk menyejukkan udara yang terasa gerah."Diam kau di situ! Jangan kemana-mana. Awas saja kalau sampai kabur," ancam pemilik rumah sebelum pergi membukakan pagar. Suaranya keras dan tegas, menggema di sepanjang halaman rumah yang tampak sepi. Suasana yang awalnya tenang kini berubah tegang.Begitu pagar dibuka, Dewi yang berdiri di balik pagar langsung menyapa pemilik rumah itu sembari tersenyum ramah. Pemandangan di sekitar rumah cukup indah, dengan kebun bunga yang tertata rapi di dekat pintu masuk, menambah kesan asri pada rumah itu. "Maaf, Bu. Anu... Itu... Adik saya, Lucas, tadi manjat pohon..."Dewi tampak bingung menjel
"Jadi sekarang kita mau pergi kemana, Mbak?""Duh, Lucas, Mbak lagi ngidam mangga. Tapi harus yang baru dipetik dari pohonnya, ya. Ada nggak sih pohon mangga di sekitar sini?" tanya Dewi tiba-tiba penuh harap.“Pohon mangga? Kenapa nggak beli aja di pasar, Mbak? Kan lebih gampang,” jawabnya santai, meskipun nada suara lucu yang keluar dari mulutnya seolah menanggapi permintaan itu dengan ketidakpercayaan.Namun, Dewi menggeleng cepat. "Enggak sama, Cas. Rasanya beda kalau nggak dipetik langsung. Ada sensasi segarnya," jawabnya, sambil tersenyum lebar, seolah mengingat kembali kenikmatan mangga yang dipetik dari pohonnya sendiri.Lucas mengusap wajah dengan frustrasi. Sesaat ia menyesali keputusan menawarkan bantuan kepada kakak iparnya tadi. “Ehm… kalau nggak salah, di rumah yang dekat pertigaan jalan raya ada pohon mangganya.”Mata Dewi langsung berbinar. "Benaran, Cas? Jauh nggak? Kamu bisa anterin Mbak
"Oh, pantas saja kelakuan adik saya mulai kurang ajar begitu. Semua itu akibat ulah kamu rupanya. Jangan-jangan kamu memang sengaja menghasut anak itu agar berani melawan saya. Benar, bukan?"Alex menatap Dewi dengan sorot mata penuh tuduhan, semakin membuat suasana terasa berat.Pencahayaan yang redup akibat tirai yang tertutup rapat seakan menambah kegelapan yang menyelubungi perasaan Dewi. Sinar bulan yang semula terang kini tampak samar-samar di balik awan mendung, seolah ikut merasakan ketegangan yang terjadi di antara mereka."Jangan pura-pura bingung! Saya tahu kamu selalu mendukung Lucas di belakang saya!" lanjut Alex dengan nada tinggi.Dewi menggeleng tak percaya. Ucapan Alex barusan seperti cambuk yang menghantam telinganya. Ia mengerutkan alis, mencoba memahami logika tuduhan suaminya, tapi gagal."Kenapa jadi bawa-bawa aku sih? Coba Mas pikir, untuk apa aku berbuat begitu? Ada-ada saja ja
Alex yang baru keluar dari kamar mendadak menghentikan langkahnya di depan meja makan. Pandangannya terpaku pada Lucas yang berlutut di depan Dewi. Tangannya terlihat memegang kaki istrinya, sementara mereka berdua saling melempar senyum.Dia memicingkan mata, dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu. Jari-jarinya mengepal tanpa sadar, emosi mulai mendidih. Kenapa Lucas begitu perhatian pada Dewi? Bukankah itu tugasnya sebagai suami? Apakah Dewi lebih nyaman dengan adiknya daripada dirinya? Pikiran itu terus berputar di kepalanya, semakin memperkeruh suasana hatinya.Ketika Lucas bangkit, Alex segera berdehem keras."Ehem..."Suara deheman Alex membuat Dewi dan Lucas langsung menoleh. Tatapan dingin Alex, yang berdiri di sekat ruang makan, membuat suasana berubah kaku. Dewi buru-buru menarik kakinya dan berdiri."Udah selesai? Makanan saya mana?" tanya Alex dingin, suaranya sedikit menekan.&
Malam telah larut. Angin dingin dari jendela yang sedikit terbuka membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Lampu kamar menyala temaram, menciptakan bayangan samar di dinding. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan sesekali suara kendaraan melintas di luar. Dewi keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, mengusap tangan basahnya ke handuk kecil yang ia bawa. Uap tipis masih mengepul dari balik pintu kamar mandi, menandakan air hangat yang baru saja digunakan. "Air hangatnya sudah siap, Mas," katanya lirih. "Hmm..." Alex hanya menanggapi dengan gumaman singkat tanpa menoleh. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya sedikit membungkuk saat tangannya sibuk mengaduk-aduk isi laci nakas. Suara laci yang digeser terdengar cukup nyaring di tengah keheningan kamar, membuat Dewi sedikit mengernyit. Ia memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas. "Mas lagi cari apa?" tanya Dewi sambil men