Beranda / Romansa / Hamil Anak Bos / BAB 4 : Suami Menyebalkan

Share

BAB 4 : Suami Menyebalkan

Penulis: Jesslyn Kei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-20 18:12:00

"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" 

Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah.

"Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih.

"Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."

Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. 

Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan.

"Wi... Dewi..."

Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, berbalik arah dan kembali menghampiri suaminya.

"Ada apa lagi, Mas?" 

"Enggak apa-apa. Saya cuma mau kasih tahu peletnya ada di depan rak sepatu paling bawah."

☆☆☆

Dewi menatap kawanan ikan-ikan yang sekarang sedang sibuk memakan pelet yang barusan di sebarnya. Pikirannya kembali melantur, mengingat perlakuan Alex yang tak ada bedanya sama sekali seperti saat di kantor. Status mereka kini memang sepasang suami-istri. Entah mengapa Ia merasa tidak diperlakukan sebagai seorang istri, tapi lebih seperti seorang pesuruh yang tinggal di rumah Alex. 

"Alex benar-benar menyebalkan."

Entah sudah berapa kali wanita itu mengumpati suaminya. Ia merasa sangat kesal, namun tak sanggup melawan. Alhasil dirinya jadi uring-uringan sendiri dan bahkan memaki ikan di kolam yang tak tahu apa-apa.

Setelah puas meluapkan emosi, Dewi melemaskan bahunya yang menegang. Terdengar desahan berat napasnya. 

"Apa yang harus ku lakukan sekarang? Bagaimana aku bisa menjalani pernikahan ini kedepannya? Baru satu hari tinggal bersamanya, rasanya aku sudah tak sanggup?"

Suara Dewi perlahan bergetar. Matanya berkaca-kaca memandang kawanan ikan di dalam kolam seperti sedang mengajak mereka berbicara. Ia sudah tidak tahu lagi kemana dirinya bisa membagi kisah hidup dan mencurahkan isi hati selain kepada ikan-ikan ini.

"Aku takut hidupku berakhir tragis seperti ibu yang membesarkanku, seorang diri tanpa sosok lelaki di sampingnya. Aku tak ingin pernikahan ini kandas di tengah jalan, sesuai dengan rencana yang sudah disusun Alex."

Matanya yang mengenang sudah tak sanggup lagi membendung, hingga setetes air mata jatuh membasahi pipi. Rasa sedih yang berkecambuk dalam benaknya, terbias bersamaan dengan keluar tangisnya.

"Alex jahat. Hiks... Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapi setidaknya... Hiks... Apa susah memperlakukanku dengan baik?"

Dewi memandangi ikan-ikan di kolam dengan tatapan iri.

"Kalian jauh lebih beruntung. Ini tidak adil. Padahal kita sama-sama belum makan. Tapi Alex ternyata lebih memperdulikan kalian yang belum makan daripada aku istrinya sendiri."

Dewi sudah merasa lebih baik setelah mengeluarkan semua kegelisahannya. Kini ia bertekad akan memikat hati Alex bagaimana pun caranya.

"Hei, ikan-ikan. Kalian semua sudah lama tinggal disini bersama Alex. Apa kalian tahu apa yang disukai laki-laki itu?"

Dewi mengerucutkan bibirnya, menyadari tingkah konyolnya yang tengah mengajak makhluk air itu berbicara.

"Bodoh. Kenapa aku jadi ngobrol sama ikan?"

Dewi menghela napas panjang sambil kembali memandangi ikan-ikan di kolam. Karena sudah selesai memberikan pakan, sekarang waktunya ia mengisi perutnya yang kosong. Diusap wajahnya yang ada sisa-sisa bekas air mata dengan cepat.

"Baiklah. Mulai saat ini aku akan lebih menunjukkan pesonaku pada Alex. Lihat saja. Aku pasti bisa buat dia tertarik dan menyukaiku," tekad Dewi seraya berjalan kembali ke dalam rumah.

Malam harinya setelah makan malam. Alex memilih menyibukkan diri di ruang kerjanya. Wajahnya nampak serius memandang kertas-kertas yang ada di meja dengan mulut yang terkatup rapat.

Tok...Tok...Tok...

Suara ketukan pintu yang terdengar, tidak membuat Alex bergeming. Tidak berselang lama, pintu itu terbuka sedikit. Dewi menyundulkan kepalanya dari balik pintu.

"Mas..."

Alex hanya melirik sepintas ke arah Dewi, lalu kembali menatap kertas-kertas di hadapannya. Lelaki itu baru menoleh saat Dewi menaruh secangkir kopi di atas meja kerjanya. 

"Kopi, Mas."

Dewi berinsiatif menyuguhkan kopi hitam yang biasa Alex minum saat di kantor. 

"Diminum dulu kopinya, Mas. Mumpung masih hangat," ujar Dewi sambil tersenyum.

"Hmm..."

"Mas, mau aku sediain camilan buat teman minum kopi?"

"Tidak."

"Atau mau aku ambilkan makanan kering? Kebetulan tadi aku lihat di dapur ada kue kering belum dibuka. Mas mau?" 

Dewi yang ingin mengajak ngobrol suaminya, sengaja menanyainya dengan berbagai macam pertanyaan. Hingga Alex tiba-tiba menyentakkan bolpoint yang di genggamnya ke atas meja, sembari menatap mata Dewi dengan tajam.

"Kamu lihat tidak saya lagi ngapain?" 

"Lihat. Mas... Lagi... Lembur kerja," jawab Dewi dengan terbata-bata.

"Kalau tahu, kenapa masih berdiri disini? Mau gangguin saya?" 

"Enggak, Mas. Cuma..."

"Cuma apa? Cuma nawarin cemilan?" sela Alex memotong ucapan Dewi.

Dewi mengangguk. Wajahnya kini menunduk, menatap ke arah lantai marmer yang di injaknya.

"Kamu tahu nggak sekarang jam berapa?"

Dewi melirik sekilas ke arah pantulan jam dinding yang ada di belakang punggung Alex. Jarum jam itu menunjukkan pukul sembilan malam.

"Asal kamu tahu ya. Saya tidak suka makan cemilan apapun setelah selesai makan malam. Apalagi di jam-jam seperti ini."

Dewi terdiam. Ia tidak menyangka Alex akan marah karena hal sepele semacam ini. 

"Maaf. Saya tidak tahu."

Mendengar nada suara Dewi yang berubah formal, membuat Alex menghela napas kasar.

Alex tidak bermaksud memarahi Dewi. Ia hanya merasa jengkel saat mendengar suara wanita itu. Suara ocehannya terasa sangat menganggu di telinga. 

Mata bulatnya kini tertuju pada tonjolan di perut Dewi. Seketika ia tersadar kalau apapun yang dirasakan wanita itu mungkin juga dapat dirasakan oleh janin yang di kandungnya.

"Sudahlah. Lain kali jangan banyak bicara kalau berada di ruangan ini. Saya butuh konsentrasi penuh saat bekerja. Mengerti?"

Dewi mengangguk patuh, walau wajahnya masih terhalang rambut yang terurai di depannya.

"Tidurlah, Ini sudah malam."

"Belum terlalu malam. Masih jam sembilan, Mas."

"Wanita hamil tidak boleh tidur larut malam. Sana pergi!"

"Tapi mas..."

"Tidak ada tapi-tapian. Jangan tunggu saya disini. Cepat sana tidur!" usir Alex.

Dewi mengalah. Ia lalu berjalan pergi meninggalkan Alex di ruang kerjanya.  

☆☆☆

Dewi bergerak kesana kemari di atas ranjang. Awalnya terlentang, beberapa saat kemudian menyamping ke kanan, lalu menyamping ke kiri. Ia merasa tidak nyaman berbaring di kamar yang terasa asing untuknya. 

Malam sudah semakin larut, tapi Alex belum juga datang. 

BERSAMBUNG...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hamil Anak Bos   BAB 5 : Salah Sangka

    Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Hamil Anak Bos   BAB 6 : Bukan Pemalas

    Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Hamil Anak Bos   BAB 7 : Kecurigaan Lucas

    Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Hamil Anak Bos   BAB 8 : Obrolan Kakak Adik

    Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Hamil Anak Bos   BAB 9 : Rasa Cemas Dewi

    Suara mobil berhenti di halaman membuyarkan lamunan Dewi. Ia buru-buru melepaskan apron yang dipakainya saat memasak dan berjalan menuju pintu. Langit di luar tampak semakin gelap, angin bertiup kencang, membawa aroma tanah yang basah.Dewi berdiri di pintu, tersenyum hangat menyambut Alex. Namun senyumnya seketika pudar melihat penampilan suaminya. Alex keluar dari mobil dengan langkah gontai. Bajunya kusut, wajahnya lebam, dan ada luka kecil di sudut bibirnya. Aroma alkohol tercium jelas ketika ia mendekat."Mukamu kenapa, Mas?" tanya Dewi, suaranya penuh kekhawatiran.Alex tidak menjawab. Ia hanya melewatinya, masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Sampai di kamar, pintu dibanting keras hingga menggemakan suara di seluruh rumah.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dalam kegelapan. Cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela menjadi satu-satunya penerangan di kamar."Ken

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Hamil Anak Bos   BAB 10 : Halusinasi Alex

    Malam itu, kamar Alex dan Dewi terasa lebih dingin dari biasanya. Lampu redup di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning samar, menciptakan bayangan remang yang melukis dinding-dinding kosong. Kamar itu besar, namun minim perabotan, hanya ada ranjang, lemari, dan meja kecil. Tirai jendela sedikit terbuka, memperlihatkan langit kelabu yang menggantung berat di luar, seakan menunggu hujan turun kapan saja.Dewi duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alex yang tampak lelah. Wajahnya penuh lebam, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba menahan dunia agar tidak runtuh di sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya pelan, tetapi nadanya, dingin. "Aku mau mengobati lukamu, Mas," jawab Dewi lembut, suaranya penuh perhatian. Ia bergerak lebih dekat, mengulurkan kapas ke arah bibir Alex yang lebam. Alex menepis uluran tangan Dewi. "Tidak pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Hamil Anak Bos   BAB 11 : Efek Semalam

    Semalaman, Dewi menangis dalam diam, melampiaskan semua perasaannya dengan air mata. Ia sudah tidak peduli lagi jika sprei tempatnya tidur basah oleh air mata dan ingusnya. Sesekali, ia menggigit ujung selimut, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Alex. Entah mengapa, di tengah kesedihannya, ia masih merasa takut mengganggu tidur suaminya yang dingin. Langit malam di luar kamar terlihat gelap, dengan bintang yang tersembunyi di balik awan tebal, memberikan kesan kesendirian yang semakin dalam di dalam hatinya.Saat cahaya matahari pertama menerobos celah gorden, Dewi bangkit dari ranjang. Sinar pagi yang lembut membuat suasana kamar terasa suram, seolah memperburuk perasaan yang bergelora di dalam dirinya. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang tidur di sampingnya, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menghapus sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin. Tangannya gemetar saat me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-09
  • Hamil Anak Bos   BAB 12 : Salah Sebut

    Mentari pagi menyusup di sela-sela tirai jendela yang sedikit terbuka, menciptakan bayangan tipis di lantai kamar yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi itu terasa dingin, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, bercampur dengan wangi teh yang sudah terhidang di meja. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat, pecah oleh langkah tergesa Dewi yang memegangi perutnya. Setiap langkahnya berat, seolah bebannya tak hanya fisik, tetapi juga emosi yang semakin menyesakkan.Lucas menatapnya panik. “Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” Tangan Lucas gemetar saat meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Matanya bolak-balik memandang Dewi dan pintu, ragu sejenak namun tetap mengutamakan tindakan cepat.“Aku nggak apa-apa, Lucas. Jangan panik,” ujar Dewi, suaranya terdengar lemah namun tegas. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan nyeri yang terasa menyayat dari dalam. Dewi berpegangan pada lengan Lucas

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16

Bab terbaru

  • Hamil Anak Bos   BAB 19 : Susu Stoberi

    Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak, tertegun melihat kejadian itu. Namun, kebanyakan hanya bergegas pergi, menundukkan kepala seolah tak ingin terlibat. Hanya suara langkah terburu-buru dan bisikan pelan yang tersisa, meninggalkan Alex dalam kesendirian melawan rasa sakitnya.Wajah Dave mendekat, terlihat jelas di bawah sorotan lampu jalan yang suram. Matanya menyala dengan amarah yang membara, sementara rahangnya yang tegas tampak mengeras, mencerminkan kebencian yang mendalam. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun senyum itu lebih menyerupai ejekan penuh penghinaan daripada ekspresi bahagia. Terdapat kerutan tajam di antara alisnya, menciptakan bayangan gelap yang menutupi sebagian wajahnya. Kilatan di matanya menunjukkan rasa puas setiap kali melihat Alex terpuruk. Dave tidak hanya memancarkan kemarahan, tapi juga kekuasaan—seolah dirinya selalu berada di atas Alex, baik secara fisik maupun emosional."Alex!" seru Dave sambil melayangkan pukulan

  • Hamil Anak Bos   BAB 18 : Keributan di Bar

    Langit malam mulai memerah saat Alex meninggalkan kafe itu. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak membawa kenangan yang ingin ia lupakan. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan.Tanpa sadar, ia berakhir di bar yang biasa ia kunjungi ketika semuanya terasa tak terkendali. Suasana bar yang gelap dan berisik seperti tempat sempurna untuk kehilangan diri. Ia memesan vodka dan meminumnya tanpa berpikir panjang.Saat gelas ketiga, pikirannya kembali pada Rachel. Namun kali ini, bayangan Dewi melintas. Wajah istrinya yang tenang, senyum lembutnya saat menyajikan teh di pagi hari.Alex menutup matanya. Rasa bersalah menyelinap masuk. Dewi adalah korban dari kekacauannya sendiri. "Aku terpaksa menikahinya," gumam Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi apakah benar hanya itu alasan dia bersama Dewi? Kenapa setiap kali mengingat senyumnya, ia merasakan sesuatu yang hangat?&nbs

  • Hamil Anak Bos   BAB 17 : Pertemuan Pertama

    Alex memasuki kamar perawatan Dewi di rumah sakit dengan langkah pelan. Suasana ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Dewi terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, dengan wajah yang pucat.Alex berdiri di sana, memandangi Dewi cukup lama. Tubuhnya terasa lelah, dan hatinya terasa kosong. Keadaan di sekelilingnya seakan tidak bisa mengurangi ketegangan yang masih menjerat dirinya. "Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya, matanya tertunduk. Ia mendesah panjang, lalu berjalan mendekat. Tatapannya melembut saat melihat perut Dewi yang membuncit. Meski ada kehidupan baru yang mereka nantikan, Alex masih merasa asing dengan semua ini. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang menyergapnya."Apa aku terlalu keras?" pikirnya.Rachel pernah berkata, "Kalau kau tidak bisa menunjukkan rasa sayangmu, paling tidak jangan membuatnya merasa tidak dihargai." Kata-kata itu terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang sudah ra

  • Hamil Anak Bos    BAB 16 : Perubahan Sikap Alex

    Pagi itu, suasana ruang rawat Dewi masih sunyi. Pancaran sinar matahari yang menerobos jendela menyentuh lembut permukaan lantai berubin putih, menciptakan kilauan yang menghangatkan. Di sisi ranjang, aroma khas antiseptik bercampur dengan samar bau bunga dari vas kecil di meja samping. Seorang dokter dengan nametag bernama Vincent mengambil tetoskop dari kantung seragamnya."Coba saya periksa dulu. Maaf, bagian sebelah mana yang terasa kram?"Dengan sigap dokter Vincent memeriksa Dewi. Lucas bergeser, berjalan mengampiri Alex yang tengah duduk di sofa."Saya sudah diperbolehkan pulang hari ini 'kan, Dok?""Iya, boleh. Tapi setelah sampai rumah nanti jangan langsung beraktifitas berat dulu ya. Perbanyak istirahat dan hindari stres agar bayinya sehat terus sampai nanti waktunya melahirkan."Dewi mengangguk patuh. Wajahnya sedikit tertunduk, menyadari kesalahannya. Sebelum masuk rumah sakit, ia memang kurang istirahat karena stres memikirkan ca

  • Hamil Anak Bos   Bab 15 - Salah Paham

    Suasana ruang inap terasa sunyi, hanya ditemani suara mesin infus yang berdetak pelan dan sesekali langkah kaki perawat di luar. Aroma antiseptik menyeruak, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Cahaya matahari pagi menembus tirai putih tipis, menciptakan bayangan lembut di dinding. Alex duduk di sofa dekat jendela, tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di lutut, dan pandangannya kosong, menatap lantai tanpa benar-benar melihat.Dewi memandang pria itu sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak perlu ditemani siapapun. Mas juga tidak perlu risau. Nanti kalau dokter sudah mengizinkan pulang, aku bisa pulang sendiri ke rumah Mas. Tenang saja. Aku tidak akan kabur ke mana-mana." Suaranya terdengar pelan, namun cukup tegas, seperti seseorang yang sudah lelah berdebat.Alex menegakkan tubuhnya perlahan, tatapannya tajam, tapi ia masih berusaha menahan diri. "Sudah mulai berani sekarang kamu mengatur-atur saya ya?" Nada bicaranya dingin, tapi m

  • Hamil Anak Bos   BAB 14 : Awal Mula Bertemu

    Ketika Dewi membuka mata, ia melihat Alex duduk di sisinya. Cahaya redup dari lampu memantulkan bayangan wajah pria itu di dinding putih kamar rumah sakit. Pandangan Alex lembut tapi sendu, seolah ada beban yang enggan ia bagi. Mata Dewi mengejap beberapa kali, memastikan ini bukan halusinasi."Mas Alex?" suaranya serak, hampir seperti bisikan.Alex tersenyum kecil sekilas, mengalihkan pandangan sambil mengusap kepala Dewi.Dewi terdiam. Berbagai emosi memenuhi benaknya— kebingungan, marah, lega, dan sesuatu yang lain yang tak bisa ia pahami. Namun saat merasakan usapan telapak tangan Alex yang hangat, perlahan ia yakin kalau tidak sedang bermimpi. Udara kamar terasa dingin, mengingatkan Dewi bahwa pendingin ruangan tetap menyala sepanjang malam. Bau antiseptik khas rumah sakit menyeruak di hidungnya."Sejak kapan kamu di sini, Mas? Udah dari tadi?" tanya Dewi pelan."Baru saja sampai," ucap Alex dengan nad

  • Hamil Anak Bos   BAB 13 : Lucas Ngambek

    "Sepertinya untuk hari ini ibu dirawat dulu agar kondisi janinnya bisa lebih terpantau. Kalau besok sudah tidak keluar lagi darah, baru boleh pulang."Dewi melirik ke arah Lucas, seakan memberi isyarat agar remaja itu menghubungi suaminya. Namun sayangnya Lucas tak memahami arti isyarat kakak iparnya."Saya tinggal ya, Bu, Pak. Silahkan kalau ibu mau berembuk dulu sama suaminya," pamit Dokter Vincent seraya berjalan keluar ruangan.Begitu dokter itu keluar ruangan, Lucas mendekati Dewi sambil mengoceh sendiri."Pak. Pek Pak. Umur masih delapan belas tahun begini masa dibilang bapak. Yang benar aja. Memangnya wajahku kelihatan tua apa? Sembarangan tuh dokter," keluh Lucas sambil menendang-nendang udara ringan, seperti seorang anak kecil yang sedang ngambek.Dewi yang duduk di ranjang rumah sakit berusaha menahan tawa. Ia menggigit bibirnya, menghindari suara cekikikan keluar. Ketika dokter tadi datang, Lucas sama sekali tak berani

  • Hamil Anak Bos   BAB 12 : Salah Sebut

    Mentari pagi menyusup di sela-sela tirai jendela yang sedikit terbuka, menciptakan bayangan tipis di lantai kamar yang masih basah oleh embun. Udara segar pagi itu terasa dingin, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, bercampur dengan wangi teh yang sudah terhidang di meja. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat, pecah oleh langkah tergesa Dewi yang memegangi perutnya. Setiap langkahnya berat, seolah bebannya tak hanya fisik, tetapi juga emosi yang semakin menyesakkan.Lucas menatapnya panik. “Mbak, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” Tangan Lucas gemetar saat meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Matanya bolak-balik memandang Dewi dan pintu, ragu sejenak namun tetap mengutamakan tindakan cepat.“Aku nggak apa-apa, Lucas. Jangan panik,” ujar Dewi, suaranya terdengar lemah namun tegas. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan nyeri yang terasa menyayat dari dalam. Dewi berpegangan pada lengan Lucas

  • Hamil Anak Bos   BAB 11 : Efek Semalam

    Semalaman, Dewi menangis dalam diam, melampiaskan semua perasaannya dengan air mata. Ia sudah tidak peduli lagi jika sprei tempatnya tidur basah oleh air mata dan ingusnya. Sesekali, ia menggigit ujung selimut, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Alex. Entah mengapa, di tengah kesedihannya, ia masih merasa takut mengganggu tidur suaminya yang dingin. Langit malam di luar kamar terlihat gelap, dengan bintang yang tersembunyi di balik awan tebal, memberikan kesan kesendirian yang semakin dalam di dalam hatinya.Saat cahaya matahari pertama menerobos celah gorden, Dewi bangkit dari ranjang. Sinar pagi yang lembut membuat suasana kamar terasa suram, seolah memperburuk perasaan yang bergelora di dalam dirinya. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang tidur di sampingnya, ia berjalan menuju kamar mandi sambil menghapus sisa air mata yang tertinggal di wajahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin. Tangannya gemetar saat me

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status