"Ada apa, Wi?"
Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan Dewi barusan serasa menghantam belakang kepala Alex. Lelaki itu terbelalak. Bola matanya membulat, menatap Dewi tak percaya dengan perkataan yang baru saja di dengarnya. Namun sedetik kemudian, ia tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... Hebat kamu, Wi. Bisa mengerjai saya dengan lelucon seperti itu. Oke. April mop, Right?" Dewi tersenyum getir begitu menyadari kalau saat ini tanggal 1 April. Wajar saja kalau Alex beranggapan ia sedang melempar lelucon seperti yang banyak dilakukan orang-orang untuk memperingati perayaaan April Fools Day. Sepertinya ia telah berharap terlalu tinggi. "Saya tidak sedang mengerjai pak Alex. Saya serius, Pak." Tawa Alex perlahan hilang. Wajahnya yang semula mengejek kini berubah datar. Bola matanya menyorot tajam ke arah Dewi. "Coba ulangi sekali lagi. Apa yang barusan kau katakan?" "Anu... Saya...." Ditatap seperti itu, Dewi jadi tergagap. Lidahnya mendadak kelu. Belum lagi bibirnya yang mengering, seakan membuatnya kehilangan kata-kata yang hendak diucapkan. Ia mengerakkan mulutnya dengan terbata-bata. "Saya sedang mengandung darah daging bapak," ulang Dewi seraya menunduk. "Kamu tidak asal bicara bukan?" Dewi hanya bisa tertunduk sembari mengangguk pelan. Tak sanggup melihat wajah Alex yang terasa sangat mengintimidasi. "Argh... Sial." Alex seketika terhuyung, menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut setelah mendengar pengakuan Dewi yang sangat mengejutkan baginya. "Tidak mungkin. Ini tak masuk akal." Lelaki itu berulang kali mengeleng. Ia tak bisa percaya begitu saja. "Jangan mengada-ada, Dewi. Saya bahkan tak pernah menyentuh satu ujung kukumu. Bagaimana bisa anak itu darah daging saya?" "Tak pernah bagaimana, Pak?" Dewi menyela dengan cepat. Hatinya seperti tertancap belati. Bagaimana bisa lelaki itu mengelak setelah berusaha memperdayanya. "Apa pak Alex sama sekali tak mengingat kejadian waktu itu?" Dewi mendesah pelan ketika Alex hanya terdiam menatapnya. "Tiga bulan yang lalu, Pak Alex meminta saya mengantikan rapat client dengan alasan sedang sakit. Saya bahkan menyanggupi datang saat bapak meminta agar saya secepatnya melaporkan hasil rapat itu. Tapi apa yang saya dapatkan ketika menemui pak Alex. Bapak malah..." Dewi tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Matanya seketika berkaca-kaca ketika menyadari tatapan Alex nampak kosong seperti tak mengingat sama sekali kebersamaan intim mereka. "Baiklah. Kalau pak Alex tak mengingatnya. Saya kesini hanya sekedar ingin memberitahu kabar kehamilan ini. Permisi." Dewi membungkuk hormat. Wanita itu berpikir mungkin Alex perlu waktu lebih lama untuk mencerna semuanya. Dengan berat hati ia berbalik badan, berjalan meninggalkan ruang kerja Alex. ☆☆☆ Dewi yang hendak menyeberang jalan, tiba-tiba di kagetkan dengan suara mobil yang berbunyi. Ia ingin mengumpat, namun teringat kalau tengah hamil dan tidak boleh bersikap sembarangan. Alhasil Dewi hanya bisa mengelus dadanya. Padahal ia sudah menyebrang pada tempatnya, tapi masih juga di salahkan. Matanya kini tertuju pada mobil kuda jingkrak yang berhenti tepat di depannya. Ketika kaca depan terbuka, Dewi berusaha mengintip ke dalam mobil. Ia sangat penasaran dengan pengemudi yang tadi membunyikan klakson. Alangkah terkejutnya Dewi begitu melihat Alex yang berada di kursi depan mobil itu. "Masuk ke mobil saya sekarang," teriak Alex dengan lantang. Walau awalnya sempat ragu pada akhirnya Dewi tetap menurut, membuka pintu samping dan duduk di sebelah Alex. "Rumahmu ada dimana?" tanya Alex sembari melihat layar GPS. "Hah?" Dewi mengernyit dahi setelah mendengar pertanyaan Alex. Ia tidak pernah menyangka lelaki itu menanyai alamat tempat tinggalnya. Matanya mengerjap berulang kali, memastikan kalau dirinya tak sedang bermimpi. "Kau tak dengar? Saya tanya dimana rumahmu?" ulang Alex mulai terdengar tidak sabar. Dewi tersentak dari lamunannya. Dengan sedikit terbata-bata, ia memberitahukan alamat tempat tinggalnya, sementara Alex sibuk mengetik pada layar GPS yang terpasang di mobilnya. "Oke. Sudah." Mata Alex tidak sengaja melirik ke arah dada Dewi, lalu beralih ke arah jalan raya. "Apa kau tidak tahu kalau naik mobil harus pakai selt belt dengan benar?" Pertanyaan Alex membuat Dewi tersadar belum memakai selt belt. Dengan cepat tangannya bergerak mencari seltbelt yang terselip di pinggiran kursi. Karena tidak pernah mengunakannya, ia bingung dan terlihat kesulitan. Alex yang sedari tadi mengawasi gerak-gerik Dewi melalui lirikan mata, lantas mendesah pelan. Perlahan ia bergerak membantu Dewi memasangkan selt belt. Posisi kepala Alex yang tiba-tiba berada dekat dengan Dewi, membuat wajah wanita itu memerah. Dari jarak sedekat ini, Dewi dapat melihat dengan jelas wajah Alex yang sangat menawan. Selain itu Dewi dapat mencium wangi parfum yang di kenakan oleh Alex. Aroma menthol terhirup kuat melalui indera penciumannya. Aroma yang sangat Dewi sukai. "Lihat apa kau?" Alex memundurkan kepalanya setelah selt belt itu terpasang, beralih menyalakan mesin mobil. Tatapan dingin lelaki itu seketika menyadarkan Dewi. Dewi hanya mengeleng pelan. Dalam hati ia merutuki tindakan bodohnya yang tertangkap basah tengah mengagumi ketampanan wajah Alex. Tak lama kemudian mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Hening... Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya. Hanya terdengar samar-samar suara mesin di dalam mobil. Mereka saling membisu, seakan larut dalam pikiran masing-masing. Sesekali Dewi menoleh sekilas ke Alex yang sedang menyetir. Begitu juga dengan Alex yang diam-diam melirik melalui cermin diatas kepalanya. Dan ketika mata mereka tak sengaja bertemu pandang, Dewi segera mengalihkan pendangan ke arah lain. Dewi berusaha memecah keheningan dengan menyetel musik. Lirikan matamu menarik hati Oh, senyumanmu manis sekali Sehingga membuat aku tergoda Keningnya seketika mengkerut saat mendengar lantunan lagu yang keluar dari speker mobil. "Maaf, Pak. Saya matikan saja ya musiknya." Alex hanya melirik ketika Dewi mematikan musik. Setelah Dewi mematikan musik, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Akibat dari suara musik tadi, makin menambah kecangungan diantara mereka. Hingga Alex berdeham pelan. "Ada yang ingin saya katakan ke kamu," ucap Alex tanpa menoleh. BERSAMBUNG..."Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin."Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?" Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir."Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya."Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."P
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Alex sedang memasang dasi di depan cermin besar di kamarnya. Pencahayaan redup dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan samar di dinding, memperkuat suasana pagi yang masih sepi. Dasi hitamnya belum sepenuhnya rapi, tetapi perhatian Alex teralih ketika ia menyadari Dewi menatapnya dari pintu kamar. Tatapan wanita itu penuh dengan emosi yang sulit diuraikan, campuran antara keharuan dan kebingungan. "Apa? Kau mau protes?" tanya Alex tiba-tiba, nadanya setengah ketus, mencoba menyembunyikan keraguannya di balik sikap dingin. Ia berbalik menatap Dewi dengan alis terangkat. "Baiklah, kembalikan. Saya tak jadi memberikan kartu itu ke kamu." Sikap Alex mengejutkan Dewi. Ia buru-buru menyembunyikan kartu kredit itu di kantong bajunya, wajahnya sedikit memerah. "Maaf, Mas. Barang yang sudah dikasih tak bisa diminta lagi," jawab Dewi sambil mundur perlahan, lalu melangkah menuju pintu. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik badan. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, t
Dewi kini berada di dapur, berdiri di depan lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi yang hangat menyelinap melalui tirai tipis di jendela besar, menciptakan pola bayangan di atas meja dapur dari marmer hitam yang mengilap. Rak gantung kayu di atas meja tertata rapi dengan gelas, bumbu dapur, dan toples kecil berisi rempah. Lantai keramik abu-abu muda yang bersih memantulkan kilauan samar, memberi kesan dapur yang modern sekaligus nyaman. Suara burung berkicau dari halaman belakang bercampur dengan aroma sabun pencuci piring yang menyegarkan, menciptakan suasana rumah yang tenang. Matanya menelusuri isi lemari pendingin, yang rapi dengan bahan makanan tertata sesuai kategori. Sesaat ia menghela napas, tangannya mengambil beberapa butir telur dan seikat daun bawang. Ia mulai membayangkan masakan yang akan dibuat sambil menggumamkan lagu pelan untuk mengusir rasa sepi. Namun, suara lain tiba-tiba terdengar dari arah belakang, membuatnya menghentikan gumama
Lucas menghela napas lega begitu melihat raut wajah Dewi yang berubah sedikit lebih cerah. Di ruang makan yang sederhana namun hangat itu, lampu gantung menerangi meja kayu dengan beberapa piring dan gelas yang belum dibereskan. Aroma teh yang masih tersisa di cangkir Lucas bercampur dengan wangi bunga melati dari vas kecil di tengah meja. "Iya. Maaf ya, Lucas." "Kalau Mbak namanya siapa?" tanya Lucas dengan mata berbinar, seolah ingin mengalihkan suasana yang sempat tegang. "Dewi." "Nama lengkapnya?" "Dewi Sekar Ayu." Lucas mengangguk sembari membulatkan mulutnya. "Mbak Dewi, maafin Lucas ya." Permintaan maaf remaja itu membuat kening Dewi berkerut heran. Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah jendela, membuat ia menarik selendang yang melingkar di bahunya lebih erat. "Maaf karena ketidaksopanan Lucas pas nikahan Mbak kemarin. Itu... ehm... waktu itu aku nggak sempat nemuin Mbak karena Kakak. Mbak Dewi pasti kesal ya dan baru bisa melampiaskannya sekarang."
Dewi tidak dapat memejamkan mata. Mungkin juga karena di sisi sebelah ranjangnya kosong. Ia menghela napas setelah melirik jam dinding yang tergantung. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Entah apa yang sedang di kerjakan lelaki itu hingga larut malam masih juga berada di ruang kerjanya. "Aduh, sayang. Mama mau tidur tapi, papamu masih sibuk kerja. Sekarang kita tidur duluan saja ya," ucap Dewi sembari mengusap pelan perutnya yang sedikit menonjol. Dewi menghembuskan napasnya kasar. Ia sangat ingin Alex ada di kamar itu, menemaninya tidur semalaman. Tapi saat melihat wajah kesal lelaki itu saat dirinya menyuguhkan secangkir kopi, Dewi malah tidak berani mengatakan keinginannya. Alhasil ia jadi tak bisa tidur sekarang. "Minum susu coklat enak kali ya," gumam Dewi sembari membayangkan kelezatan dari segelas susu cokelat. Dewi yang ingin minum susu, perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Namun langkahnya seketika berhenti saat matanya tak sengaja menangkap bay
"Minuman saya mana? Kamu siapin saya makan tapi nggak siapin minum. Gimana sih?" Dewi menuangkan air putih di gelas Alex yang masih kosong dengan cepat. Ia tidak ingin lelaki itu lebih banyak mengerutu jika tidak segera di turuti keinginannya. Ya, begitulah kepribadian Alex yang diketahuinya selama ini. Dan suaminya itu membawa juga sifat buruknya di kantor yang suka memerintah ke rumah."Ada lagi yang mau diambilin?" tanya Dewi setelah selesai menuangkan air putih."Enggak usah. Kau sudah boleh pergi."Dewi rupanya salah mengartikan sikap Alex. Ia awalnya berpikir Alex akan mengurungkan niatnya dan memperbolehkannya makan. Tapi ternyata lelaki itu tetap menyuruhnya pergi memberi makan ikan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja makan hendak ke halaman depan rumah. Namun baru beberapa langkah Dewi menjauh, Alex kembali memanggil namanya dari arah meja makan."Wi... Dewi..."Dewi mengeleng heran mendengar seruan Alex yang memanggilnya berulang-ulang. Ia menarik napas panjang, be
Tanpa banyak bertanya Dewi diam saja saat Alex menyalakan mesin mobil. Sepanjang perjalanan keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara bising kendaraan. Baik Alex maupun Dewi, keduanya nampak enggan memulai percakapan. Namun sesekali tatapan mata keduanya diam-diam saling melirik satu sama lain."Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Ada yang lucu?" tanya Alex ketika memergoki Dewi yang tengah tertawa pelan."Enggak, Mas. Anu... Itu bukan apa-apa." Dewi mengeleng pelan. Wajahnya yang tertunduk nampak salah tingkah. Menyadari kerutan di kening Alex semakin dalam dengan salah satu alis yang terangkat sebelah saat memandang wajahnya, Dewi pun berdehem pelan."Oh maaf. Biasanya wanita yang sudah menikah di keluarga saya akan memanggil suaminya dengan panggilan mas. Jadi apa boleh kalau aku panggil kamu dengan sapaan mas?" Dewi membungkuk hormat sembari meminta izin untuk memanggil Alex dengan panggilan khusus. Ia merasa perlu mengutarakan keinginannya itu terlebih jarak
"Karena saya sudah memenuhi keinginanmu, maka sekarang giliran kau yang harus menepati janji."Suara dingin Alex menginterupsi Dewi yang sedang menyisir rambutnya dengan wajah tertunduk. Wanita itu sontak mendongak, menatap ke arah cermin di depannya yang memantulkan bayangan Alex. Matanya seketika bertemu pandang dengan lelaki yang juga tengah menatapnya tajam melalui kaca cermin."Kau tidak lupa akan perjanjian awal kita menikah 'kan?" Dewi menghela napas berat. Pertanyaan lelaki itu membuatnya tersenyum getir."Iya. Aku tak mungkin melupakan perjanjian itu," sahut Dewi seraya menaruh sisir di atas meja rias.Suasana dalam kamar itu terasa sangat menegangkan. Terlebih Alex menatap dingin wajah Dewi, nyaris tanpa ekspresi dan membuat wanita itu jadi sangat takut dibuatnya."Ingat ya, Wi. Saya mau menikahimu semata-mata hanya karena anak itu. Dan sesuai dengan perjanjian yang telah kita sepakati sebelumnya, saya akan langsung mengurus surat perceraian setelah kau melahirkan nanti."P
"Ada apa, Wi?" Dewi mengigit pelan bibirnya sembari memainkan jemarinya. Kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang gelisah. Perlahan ia mendongak. Pandangan matanya langsung bertemu dengan mata Alex yang juga tengah menatapnya. "Saya hamil, Pak." Hening... Alex terganga keheranan. Bibirnya yang semula terkatup rapat, kini terbuka sedikit. Kedua alisnya saling bertaut dengan mata yang memandang lurus pada wanita dihadapannya. Cukup lama lelaki itu memandangi Dewi, hingga ia mengedikkan kedua bahunya. "Well, Congrats ya." Dewi seketika melongo. Wajahnya nampak tertegun melihat respon Alex yang nampak datar dan sangat biasa. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat, lelaki itu bahkan telah kembali menatap layar komputer di samping tempat duduknya. Tidak ada wajah syok seperti dirinya ketika baru pertama kali mendengar kabar ini. Sungguh jauh di luar bayangan wanita itu. "Janin yang di perut saya ini anak bapak." "Apa?" Bagai tersambar petir di siang bolong, Perkataan De