Meski hanya pernikahan kontrak, Elena adalah istri sempurna dalam segala hal. Pintar, patuh, dan dihormati. Ia baik pada semua orang dan setia pada suaminya. Ia puas menjalani hidup seperti itu, meski terus-menerus ditagih soal kehamilan. Sampai suatu hari, suaminya pulang membawa selingkuhan dan menuntut perceraian. "Baiklah," kata Elena tenang, "Aku akan menceraikanmu." Mata Rafael berbinar mendengar kata-kata istrinya. Namun, ia terkejut karena Elena belum selesai. "Tapi jangan kaget kalau kau menerima undangan pernikahanku berikutnya." Semua orang terkejut, Elena benar-benar menikah lagi, dengan pria yang lebih muda dan, ternyata, lebih kaya! Dan ia memastikan mantan suaminya menyesal telah kehilangan dukungan wanita seperti dirinya.
Lihat lebih banyak"Ikut aku," kata Arvino, suaranya datar, tapi ada ketegasan di dalamnya.Elena mengernyit, tapi ia membiarkan pria itu menariknya, melangkah mengikuti Arvino melewati koridor panjang dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal. Setiap sudut rumah ini memang penuh kemewahan, tapi Elena sudah terlalu sering melihat itu.Yang membuatnya penasaran adalah ke mana Arvino akan membawanya.Mereka berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna hitam dengan ukiran emas. Arvino membuka pintu itu dengan sidik jarinya, lalu menoleh ke Elena."Masuklah," ujarnya.Elena melangkah masuk dengan sedikit ragu.Dan di dalamnya—Matanya membelalak.Ruangan itu luas, dengan rak-rak kayu tinggi yang dipenuhi buku, tetapi bukan itu yang membuat Elena terkejut. Di tengah ruangan, ada sebuah meja panjang dengan layar monitor besar yang menampilkan berbagai angka, grafik, dan beberapa rekaman CCTV yang terlihat seperti dari beberapa tempat berbeda.Di sudut lain, ada lemari kaca yang berisi tumpukan be
Keesokan PaginyaElena terbangun dengan sinar matahari yang menyusup melalui tirai kamar yang sedikit terbuka. Ia menggeliat perlahan, lalu duduk sambil mengusap wajahnya. Malam tadi, ia benar-benar butuh waktu lama untuk bisa tidur.Ia melirik ke sisi ranjangnya. Arvino sudah tidak ada. Sepertinya pria itu bangun lebih awal.Elena menghela napas, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan gaun santai yang tersedia di lemari, lalu turun ke lantai bawah.Begitu ia tiba di ruang tamu yang luas dan mewah, ia mendapati beberapa pelayan sibuk menata meja sarapan. Namun yang membuatnya terkejut adalah pemandangan di sofa.Arvino sedang duduk santai, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, dengan setumpuk dokumen di tangannya. Di hadapannya, ada seorang pria berjas hitam yang sepertinya sedang memberikan laporan.Begitu menyadari kehadiran Elena, Arvino mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis."Selamat pagi," sapanya santai
Elena menatap Arvino dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. Ada keheranan, ada kelegaan, tapi juga ada perasaan yang lain— perasaan belum pernah ia rasakan sebelumnya bahkan kepada Rafael. Pria itu masih menatapnya dengan dalam, seolah ingin membaca apa yang tersembunyi dalam pikirannya. Bibir Elena masih terasa panas karena sentuhan barusan. "Kau…" Elena berdeham, mencoba mencari suara normalnya. "Kenapa berhenti?" Arvino tersenyum kecil. Senyum yang menggoda sekaligus penuh misteri. "Aku bilang aku tidak suka memaksa, kan?" ucapnya santai. Matanya menelusuri wajah Elena, seakan mengukir setiap detailnya dalam ingatan. "Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap," lanjutnya. "Karena aku ingin kau sendiri yang menginginkannya, Elena." Elena membatu. Ia tidak pernah menyangka pria ini akan mengatakan sesuatu seperti itu. "Apa kau pikir aku akan mengemis?" suara Elena terdengar menantang, meskipun di dalam hatinya, ia sedang bergulat dengan emosi yang baru. Arvino
Arvino berdiri di tengah ruangan luas dengan aura dominannya yang khas. Tanpa banyak bicara, ia menoleh pada salah satu pelayan."Antarkan Nyonya ke kamarnya."Pelayan wanita yang ditunjuk langsung membungkuk hormat. "Baik, Tuan."Elena mengerjapkan matanya, masih sedikit tercengang. Sejak awal, ia memang sudah terbiasa dengan kemewahan, tapi rumah ini… lebih dari sekadar mewah.Lebih seperti istana daripada mansion biasa.Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran detail, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang bersinar lembut. Karpet Persia tebal membentang di sepanjang lorong yang mereka lewati. Setiap sudut ruangan tampak seperti diatur dengan sempurna.Sampai akhirnya mereka tiba di kamar yang disebut sebagai kamar Elena.Begitu pintu terbuka, Elena kembali dibuat terpana.Ruangan itu sangat luas.Di tengahnya berdiri sebuah kasur king-size dengan kanopi tipis berwarna keemasan. Aromaterapi melati lembut tercium di udara, memberikan kesan yang begitu menenangkan.Di sisi k
Elena mengernyit saat mobil melaju semakin jauh dari jalan menuju Hotel Emerald. Gedung pencakar langit yang seharusnya menjadi tujuan mereka kini hanya tampak di kejauhan.Dengan alis bertaut, ia akhirnya bersuara."Bukankah seharusnya kita ke Hotel Emerald?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga di dalamnya.Sopir yang mengenakan setelan rapi menoleh sekilas melalui kaca spion. “Mohon maaf, Nyonya. Tuan Arvino meminta saya mengantar ke tempat lain.”Elena langsung menoleh ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Kita mau ke mana?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam.Arvino, yang sejak tadi hanya bersandar santai dengan satu tangan di dagunya, akhirnya menoleh dengan ekspresi tenang. Bibirnya sedikit melengkung. “Ke rumah baru kita.”Elena terdiam.Rumah baru?Sejak kapan mereka memiliki rumah bersama? Bukankah dia baru mengenal pria ini beberapa jam lalu?Matanya menyipit, berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Arvino. Namun, pria itu
Pintu kantor catatan sipil terbuka, dan Elena melangkah keluar dengan anggun. Senyum tipisnya masih terukir, tidak lebar, tetapi cukup untuk memperlihatkan kepuasan dalam dirinya.Di sisinya, pria tampan yang baru saja resmi menjadi suaminya berjalan dengan tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, memperlihatkan sikap santai yang tetap penuh wibawa.Namun, langkah mereka terhenti begitu saja.Di depan pintu, Rafael sudah berdiri menunggu. Tatapannya tajam, wajahnya tegang. Samantha ada di sampingnya, masih menempel seperti bayangan, seolah takut Rafael akan berpaling begitu saja.Elena mendesah pelan. Sudah kuduga."Apa maksudmu dengan semua ini, Elena?" Rafael akhirnya membuka suara.Elena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu santai. "Apa maksudmu? Bukankah semua sudah jelas?""Apa kau bercanda?!" Rafael hampir membentaknya. "Kau benar-benar menikah hari ini? Dengan pria yang bahkan tidak pernah kukenal?!"Elena terkekeh pelan. "Bukankah itu bukan urusanmu lagi,
Ruangan persidangan mendadak terasa lebih panas setelah pernyataan Elena. Rafael menegang, matanya menyipit tajam ke arah mantan istrinya. “Kau bilang apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Elena tetap tersenyum, tanpa sedikit pun gentar. “Aku ingin surat pendaftaran pernikahan baru, Tuan Mario.” Ia menoleh ke hakim dengan nada sopan namun tegas, seolah tak peduli pada reaksi Rafael. Rafael menggeleng tak percaya. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Jangan bercanda, Elena.” “Aku tidak bercanda,” sahut Elena ringan. Rafael mengepalkan tangannya. Ini tidak masuk akal. Elena jelas-jelas tidak pernah tampak dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada pria lain di sekitarnya selama ini. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memiliki calon suami baru? Konyol. “Elena,” Rafael bersandar ke meja, tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Kau bahkan tidak punya siapa-siapa. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan lelucon semacam ini.” Elena menatap mantan suaminya de
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang. Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya. Hari ini tidak berbeda. Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa. Elena berhenti menggulir. “Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.” “Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.” “Dia teman lama, kan?” “Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?” "@Elena, kau baik-baik saja?" Elena mengepalkan tangannya di atas pan
Bab 3 Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya. Namun, semua itu akan segera berakhir. Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan. Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy. "An
"Untuk mengkonfirmasi, saya perlu Anda mengatakannya sekali lagi. Nyonya Elena Ashley, apakah Anda menyetujui perceraian ini?" Mario Peterson, seorang hakim pengadilan dan rekan terpercayanya selama bertahun-tahun, mengangkat pandangannya dari surat-surat perceraian dan menggenggam pena, siap untuk menyerahkannya. Dia mengambil waktu sejenak untuk melihat wanita yang duduk di sebelahnya—sebenarnya, dia tidak terlihat seperti datang untuk bercerai. Wanita disampingnya lebih terlihat seperti datang untuk membalas dendam. Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus, rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut dan tidak memakai perhiasan atau aksesori kecuali sepasang anting mutiara. Tampilan yang sederhana namun entah bagaimana sangat tidak cocok dan sangat kontras dengan warna gelap polos yang dikenakan oleh orang lain yang hadir di ruangan itu. Dia tampak mulia dan bermartabat, seperti bia...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen