Mari Kita Berpisah

Bab 3

Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya.

Namun, semua itu akan segera berakhir.

Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan.

Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy.

"Anna," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

"Ya, Nyonya?" Asistennya, Anna, yang baru saja masuk sambil membawa beberapa dokumen, langsung menghampiri.

"Bagaimana dengan proposal kerja sama dengan perusahaan Jepang? Sudah ada revisi dari divisi hukum?"

Anna membuka iPad-nya dan menggulir dokumen. "Baru saja dikirim. Saya bisa mencetaknya untuk Anda sekarang juga."

Elena mengangguk. "Ya, lakukan saja."

"Oh iya, nyonya Ashley, ini beberapa laporan keuangan bulan lalu yang perlu ditandatangani. Juga, ada revisi kontrak kerja sama dengan klien luar negeri," ujar Anna sambil menyodorkan map tebal.

Elena menandatangani beberapa dokumen tanpa banyak bicara. Ia sudah terbiasa dengan tekanan seperti ini.

Tak lama kemudian, Louis, sekretaris Rafael, muncul di pintu. Wajahnya sedikit lelah, seolah sudah berkali-kali naik turun lantai hanya untuk menyampaikan pesan dari satu bos ke bos lainnya.

"Permisi, Nyonya Ashley," katanya dengan formal. "Tuan Rafael ingin agar revisi anggaran ini diperiksa ulang sebelum disetujui."

Elena melirik sekilas dokumen yang diberikan Louis, lalu menyerahkannya ke Anna. "Kirim kembali setelah diperiksa," ucapnya dingin.

"Baik, Nyonya."

Louis menghela napas samar sebelum berbalik. "Saya akan kembali ke lantai atas."

Anna menyeringai kecil begitu Louis pergi. "Aku kasihan padanya. Harus bolak-balik karena kalian berdua nggak mau ketemu langsung."

Elena tersenyum kecil. "Dia dibayar mahal untuk itu."

—--------

Hari sudah berjalan setengahnya, tetapi kesibukan belum mereda.

Elena sibuk menelusuri laporan di laptopnya ketika ketukan terdengar di pintu. Kali ini bukan Anna atau pegawai lainnya.

Rafael.

Tanpa menunggu izin, ia membuka pintu dan melangkah masuk dengan tenang. Para pegawai yang berada di sekitar langsung membisu. Semua mata tertuju pada pria itu, sebelum mereka buru-buru menunduk dan berpura-pura sibuk.

Anna tampak sedikit kaget melihat kedatangan Rafael secara langsung. Biasanya, ia selalu mengutus Louis atau orang lain untuk menyampaikan pesannya kepada Elena.

"Semua keluar," perintah Rafael dengan nada rendah.

Anna dan pegawai lain saling bertatapan sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Hanya tersisa Elena dan Rafael, berdiri di ruangan yang tiba-tiba terasa lebih sunyi dan tegang.

Elena menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi datar. "Apa yang membawamu ke sini?"

Tanpa menjawab, Rafael meletakkan sebuah map cokelat di atas mejanya.

Elena tidak langsung menyentuhnya. Namun, ia sudah bisa menebak isinya.

"Dokumen cerai," kata Rafael singkat.

Elena menatap map itu beberapa detik sebelum akhirnya mengambilnya. Ia membuka halaman pertama dan membaca sekilas, tetapi sama sekali tidak terkejut.

"Akhirnya," gumamnya sambil tersenyum miring.

Ekspresi Rafael mengeras. Ia jelas mengharapkan reaksi yang berbeda—mungkin keterkejutan, kemarahan, atau bahkan penolakan.

"Apa kau sudah membacanya dengan seksama?" tanyanya dengan nada dingin.

Elena mengangkat pandangan dan menatap langsung ke mata suaminya. "Aku sudah menduganya sejak lama."

Rafael mengepalkan rahangnya. "Kau tidak akan mendapatkan keuntungan besar dari ini. Seperti yang sudah kau tahu, saham yang kau pegang akan berkurang drastis."

"Aku tahu," jawab Elena tenang.

"Dan kau tidak akan mendapat bagian dari aset yang lain."

"Aku tahu," ulangnya lagi, kali ini dengan nada lebih ringan.

Rafael mengerutkan kening, semakin frustrasi dengan sikap Elena yang terlalu tenang. "Jadi, kau menerima ini begitu saja?"

Elena menutup map itu dengan santai dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.

"Apa kau pikir aku akan menangis dan memohon?" tanyanya dengan nada mengejek.

Rafael diam, tapi rahangnya mengeras.

Saat itu, Rafael menghela napas panjang dan menatap Elena dengan ekspresi yang lebih serius.

"Samantha akan menikah."

Elena mengangkat alis, setengah tertarik. "Bagus. Itu artinya dia akan keluar dari rumah kita."

Rafael tidak membalas sindiran itu. Ia malah menggeleng pelan. "Dia dipaksa menikah dengan pria tua berusia hampir enam puluh tahun."

Elena terdiam sejenak, tidak bereaksi secara langsung.

"Samantha datang padaku, menangis, memohon agar aku menyelamatkannya. Kau tahu bagaimana keluarganya, Elena. Mereka hanya peduli pada bisnis dan warisan."

Elena tetap diam, tetapi sorot matanya menajam.

"Aku ingin membebaskannya," lanjut Rafael. "Satu-satunya cara adalah menikahinya."

Elena menatap suaminya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya terkekeh pelan.

"Jadi, kau ingin menceraikanku demi menikahi perempuan itu?"

Rafael tidak mengelak. "Sejak awal pernikahan kita hanyalah urusan bisnis, Elena. Tidak ada cinta di antara kita."

Elena tersenyum kecil. "Dan kau pikir ada cinta antara kau dan Samantha?"

Rafael tidak menjawab, tetapi ekspresinya mengatakan banyak hal.

Elena akhirnya bersandar kembali ke kursinya, menatap pria di hadapannya dengan sorot mata penuh arti.

Elena akhirnya menyilangkan tangan di depan dada. "Lucu sekali. Kau datang ke sini, memberiku dokumen cerai, dengan harapan aku akan mengalah begitu saja?"

"Aku ingin ini berakhir dengan baik," kata Rafael.

Elena mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Rafael lebih dalam. "Kalau aku menolak?"

Rafael mengerutkan kening. "Apa?"

"Aku tidak mau menandatanganinya sekarang," jawab Elena santai.

Mata Rafael menyipit. "Elena—"

Sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya, Elena bangkit dari kursinya, berjalan ke sisi meja, lalu berdiri tepat di hadapan Rafael.

Elena menyunggingkan senyum tipis. "Aku juga sudah punya rencana sendiri, Rafael."

Mata pria itu menyipit, mencoba membaca maksud Elena.

Senyuman wanita itu semakin lebar, penuh arti.

"Apa kau benar-benar berpikir aku akan membiarkan diriku kalah begitu saja?"