Sidang Cerai

Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang.

Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya.

Hari ini tidak berbeda.

Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa.

Elena berhenti menggulir.

“Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.”

“Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.”

“Dia teman lama, kan?”

“Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?”

"@Elena, kau baik-baik saja?"

Elena mengepalkan tangannya di atas pangkuan. Matanya masih terpaku pada layar ponsel, membaca setiap kalimat dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Seharusnya aku sudah menduga ini…

Bahkan jika teman-temannya tidak membocorkan berita ini, ada mata dan telinga di mana-mana. Yang membuatnya heran, justru bagaimana berita ini masih terbatas di grup ini dan belum sampai ke media besar.

Jemari Elena mengetik cepat, menyimpan tangkapan layar percakapan itu ke dalam folder pribadinya. Ia tidak akan gegabah menanggapi gosip. Jika ia ingin bergerak, maka ia harus melakukannya dengan hati-hati—dengan strategi yang matang.

Ia menyandarkan kepala ke sandaran mobil, tatapan matanya tajam dan penuh pemikiran.

Kedua bibirnya melengkung membentuk senyum samar, namun mengandung makna yang sulit dijelaskan.

"Baiklah, Rafael…" gumamnya pelan. "Kalau itu yang kau inginkan."

Mobil terus melaju di bawah langit mendung, seakan menandakan badai yang akan segera datang.

---------

Suasana di kantor catatan sipil terasa hening dan formal. Pencahayaan ruangan yang terang menyoroti kesederhanaan interiornya—dinding putih polos, deretan kursi berwarna abu-abu, dan meja panjang tempat hakim nantinya akan memimpin persidangan perceraian mereka.

Di antara beberapa pasangan lain yang juga menunggu giliran, Elena tampak berbeda.

Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus. Rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut, tanpa perhiasan atau aksesori mencolok, kecuali sepasang anting mutiara yang melengkapi tampilannya dengan elegan.

Kesederhanaannya justru terlihat mencolok dibandingkan orang lain di ruangan itu, yang mengenakan setelan gelap atau pakaian formal bernuansa monoton.

Elena berjalan santai menuju meja pendaftaran. Namun, saat baru melewati pintu masuk, langkahnya terhenti.

Di hadapannya, Rafael dan Samantha berdiri berdampingan.

Samantha tampak seperti biasa—anggun, manis, dan seolah tidak bersalah. Gaun pastel yang membalut tubuhnya tampak begitu kontras dengan wajahnya yang berpura-pura polos.

"Oh, Elena…" suara Samantha terdengar pelan, hampir berbisik, seolah ia benar-benar tidak sengaja bertemu di sini.

Elena menahan tawa sinisnya. Tentu saja ini disengaja.

Samantha melangkah mendekat, ekspresi wajahnya begitu lembut, namun hanya Elena yang bisa menangkap sesuatu di balik tatapan itu—tatapan puas dan mengejek.

"Aku benar-benar minta maaf," Samantha berkata dengan suara sedikit bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca, seolah menangis tapi tetap berusaha tegar. "Aku tidak pernah ingin ini terjadi… Aku sungguh tidak bermaksud menyebabkan pernikahan kalian berakhir seperti ini."

Elena menatap perempuan itu tanpa ekspresi. Ia mengamati setiap detail, setiap gerakan Samantha yang terkesan rapuh dan tersakiti, seolah ia adalah korban dalam situasi ini.

Rafael berdiri diam di sebelah Samantha, tidak ikut bicara, hanya menatap Elena dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Akhirnya, Elena tersenyum kecil—bukan senyum lembut atau hangat, tapi senyum penuh arti.

"Dengar, Samantha," katanya pelan.

Samantha menatapnya dengan mata berbinar, seolah menunggu kata-kata yang mengandung pengampunan.

"Aku sebenarnya bersyukur," Elena melanjutkan, suaranya tenang tapi mengandung ketajaman. "Aku tidak pernah tahu ada orang yang dengan senang hati membantu membersihkan sampah bekas yang sudah tidak berguna bagiku."

Warna wajah Samantha langsung berubah, tapi ia cepat menyembunyikannya dengan ekspresi shock, seolah benar-benar terluka oleh kata-kata Elena.

Rafael yang sedari tadi diam, akhirnya buka suara. "Elena, jangan bicara seperti itu."

Elena hanya meliriknya sekilas, kemudian melangkah melewati mereka berdua tanpa berkata apa pun lagi.

Samantha masih berdiri di tempatnya, mengedipkan mata berkali-kali seperti seseorang yang sedang menahan tangis.

Rafael hanya menghela napas, matanya mengikuti punggung Elena yang menjauh.

Elena tidak peduli.

Ia berjalan lurus, dengan dagu terangkat tinggi, menunggu namanya dipanggil untuk memasuki ruang persidangan.

-------

Mario Paterson, hakim yang bertugas kali ini memasuki ruangan dengan langkah mantap. Seorang petugas segera membacakan pembukaan persidangan, memastikan bahwa semua pihak hadir dan siap.

Elena duduk dengan anggun di kursinya, sementara Rafael tampak lebih kaku di sebelahnya. Meskipun ia terlihat tenang, ada ketegangan di matanya—sesuatu yang Elena sadari sejak awal.

“Tuan Rafael Shaquille dan Nyonya Elena Ashley, apakah kalian sudah benar-benar yakin untuk mengakhiri pernikahan ini?” suara hakim terdengar tegas dan formal.

Rafael menarik napas dalam. “Ya, Yang Mulia. Saya menyetujui perceraian ini.”

Hakim mengangguk, kemudian menoleh ke arah Elena. “Bagaimana dengan Anda, Saudari Elena Laurent?”

Ruangan mendadak hening.

Semua orang menunggu jawaban Elena. Namun, ia hanya duduk diam, ekspresinya sulit ditebak.

Rafael melirik ke arahnya, raut wajahnya berubah gelisah. Jarinya mengepal di atas meja, nyaris tak sabar menunggu jawaban yang seharusnya mudah diucapkan.

Namun, Elena tetap diam.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Tiga puluh detik.

Ruangan semakin terasa tegang.

Rafael mulai menggoyangkan kakinya di bawah meja, sementara hakim menatap Elena dengan penuh perhatian.

Satu menit berlalu.

Akhirnya, dengan senyum kecil yang samar, Elena mengangkat wajahnya dan menatap hakim. “Ya, Yang Mulia. Saya menyetujui perceraian ini.”

Rafael menghela napas, entah lega atau justru kecewa.

Hakim mengetuk palu ringan di meja. “Baiklah. Dengan keputusan kedua belah pihak, maka pernikahan antara Rafael Shaquille dan Elena Ashley resmi berakhir.”

Ia mulai merapikan dokumen, bersiap untuk menutup persidangan.

Namun, sebelum hakim sempat menyelesaikan prosesnya, Elena mengangkat tangan.

“Yang Mulia, tunggu sebentar,” ucapnya, suaranya tetap tenang.

Semua orang menoleh ke arahnya.

Bahkan Rafael pun tampak terkejut.

Tuan Mario Paterson mengangkat alis. “Ada sesuatu yang ingin Anda tambahkan, Nyonya Elena?”

Elena tersenyum—senyum yang penuh arti. “Ya. Yang Mulia. Sekalian saja, saya ingin meminta surat pendaftaran untuk pernikahan baru saya.”

Ruangan langsung terasa lebih dingin.

Rafael menegang di tempatnya, sementara hakim menatap Elena dengan ekspresi sulit ditebak.

"Kau bercanda?" Rafael melotot.