Elena mengernyit saat mobil melaju semakin jauh dari jalan menuju Hotel Emerald. Gedung pencakar langit yang seharusnya menjadi tujuan mereka kini hanya tampak di kejauhan.
Dengan alis bertaut, ia akhirnya bersuara. "Bukankah seharusnya kita ke Hotel Emerald?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga di dalamnya. Sopir yang mengenakan setelan rapi menoleh sekilas melalui kaca spion. “Mohon maaf, Nyonya. Tuan Arvino meminta saya mengantar ke tempat lain.” Elena langsung menoleh ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Kita mau ke mana?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam. Arvino, yang sejak tadi hanya bersandar santai dengan satu tangan di dagunya, akhirnya menoleh dengan ekspresi tenang. Bibirnya sedikit melengkung. “Ke rumah baru kita.” Elena terdiam. Rumah baru? Sejak kapan mereka memiliki rumah bersama? Bukankah dia baru mengenal pria ini beberapa jam lalu? Matanya menyipit, berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Arvino. Namun, pria itu tampak sama sekali tidak terganggu dengan kebingungannya. Ia menatap lurus ke depan, ekspresinya tetap tenang dan penuh percaya diri—seolah membawa Elena ke rumah baru mereka adalah hal yang paling wajar di dunia. Semakin lama, Elena justru semakin tertarik mengamati suaminya ini. Arvino bukan pria biasa. Jas maroon yang membalut tubuhnya terlihat mahal dan pas di badan, menonjolkan tubuhnya yang tegap dan proporsional. Rahangnya tegas, hidungnya tinggi sempurna, dan matanya tajam namun misterius. Setiap gerakan tubuhnya terasa dominan, menunjukkan bahwa ia adalah seseorang dengan kendali penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Pria ini terlihat seperti seseorang yang terbiasa memegang kendali, seseorang yang tidak perlu menjelaskan dirinya—karena orang-orang akan otomatis tunduk tanpa perlu banyak bicara. Elena tidak bisa mengalihkan pandangan. Tanpa sadar, tatapannya terus tertuju pada Arvino, mengamati setiap detail wajahnya. Arvino yang menyadari hal itu akhirnya menoleh perlahan, menatap balik ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, keheningan menyelimuti mobil. Elena tidak segera mengalihkan pandangannya, sementara Arvino juga tetap menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan di antara mereka—sesuatu yang membuat udara di dalam mobil terasa lebih berat, lebih intens. Arvino sedikit menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat samar, seolah menilai sesuatu dalam diri Elena. Sementara itu, Elena sendiri tidak bisa membaca pikiran pria ini. Apakah dia sedang mengamati Elena dengan penuh ketertarikan? Ataukah dia sedang menertawakan dirinya dalam hati? Detik demi detik berlalu, sampai akhirnya— Ceklek. Sopir menghentikan mobil dengan mulus di depan sebuah bangunan megah. Ia menoleh ke belakang dan dengan sopan berkata, “Tuan, Nyonya, kita sudah sampai.” Elena akhirnya memalingkan wajahnya dan melihat keluar jendela. Matanya sedikit membesar saat melihat sebuah mansion megah berdiri anggun di hadapannya. Ini… bukan rumah biasa. Elena yang berasal dari keluarga terpandang tidak mudah terkesan oleh kemewahan. Namun, rumah ini jelas memiliki gaya arsitektur klasik Eropa dengan pilar-pilar besar, taman luas yang tertata sempurna, dan pagar tinggi yang memberi kesan eksklusif. Ini bukan rumah yang bisa dimiliki oleh orang biasa. Elena masih tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia menatap mansion megah di hadapannya dengan campuran kekaguman dan kebingungan. Bangunan ini tidak hanya besar, tapi juga memiliki desain yang elegan dan klasik, memancarkan aura kemewahan yang tidak dibuat-buat. Dari gerbang besi tinggi yang dijaga ketat oleh beberapa bodyguard berbadan tegap, hingga taman luas dengan air mancur berornamen mewah, semuanya tampak seperti kediaman seorang aristokrat. Dan ini… akan menjadi rumahnya? Elena menoleh pada Arvino yang masih duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, pria itu terkekeh kecil—tawa yang terdengar dalam dan menawan. "Ini juga akan menjadi rumahmu." Nada suaranya tenang, seolah mengundang Elena untuk menerima fakta ini begitu saja. Elena memandangnya dengan tatapan tidak percaya. "Arvino…" ucapnya pelan, mencoba merangkai pertanyaan, tapi pria itu sudah lebih dulu membuka pintu mobil dan keluar. Seorang pelayan berpakaian rapi langsung datang membungkuk hormat, lalu membuka pintu di sisi Elena. "Selamat datang di kediaman, Nyonya," ucap pelayan itu dengan suara ramah namun penuh hormat. Elena menghela napas, masih berusaha memproses semuanya. Dengan anggun, ia melangkah keluar dari mobil, namun sebelum sempat berdiri tegak, Arvino menggandeng tangannya. Seketika, kehangatan menyentuh kulitnya. Elena menoleh dengan kaget, tapi Arvino hanya menatap lurus ke depan, tetap menggenggam tangannya dengan kuat namun tidak menyakitkan. Pria itu tidak memberikan kesempatan bagi Elena untuk menolak atau mempertanyakan. Dengan langkah percaya diri, Arvino membimbing Elena menaiki tangga menuju pintu utama mansion. Di sisi kiri dan kanan, sejumlah bodyguard berdiri berbaris dengan rapi, mengenakan setelan hitam dengan postur tegap dan ekspresi serius. Di depan pintu masuk, sekelompok pelayan telah berjejer menyambut kedatangan mereka. Semuanya membungkuk hormat begitu Arvino dan Elena mendekat. "Selamat datang kembali, Tuan. Selamat datang, Nyonya," suara mereka terdengar kompak. Elena tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya lagi. Ia bukan orang asing dalam dunia kemewahan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan gaya hidup elite. Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan suasana di rumah ini. Bukan hanya karena ukurannya yang lebih besar atau jumlah pelayan yang lebih banyak. Tapi karena cara semua orang bersikap terhadap Arvino. Mereka tidak hanya melayani pria itu dengan hormat, tapi juga dengan kesungguhan yang tidak dibuat-buat. Seolah Arvino bukan hanya seorang majikan bagi mereka—melainkan seseorang yang harus dihormati sepenuhnya. Elena mulai menyadari… Arvino jelas bukan pria biasa. Ia menarik napas pelan, mencoba menyusun pertanyaan di kepalanya. Namun, Arvino sudah lebih dulu berbicara. "Ayo masuk." Dengan lembut, ia tetap menggenggam tangan Elena dan membawanya masuk ke dalam mansion. Begitu mereka melewati pintu utama, Elena nyaris kehilangan kata-kata. Interior mansion ini lebih indah dari yang ia bayangkan. Lantai marmer putih mengkilap memantulkan cahaya dari chandelier kristal besar yang tergantung megah di langit-langit tinggi. Dinding-dindingnya dihiasi dengan ukiran klasik dan lukisan-lukisan bernilai seni tinggi. Sebuah tangga besar melingkar di tengah ruangan, dengan pegangan berlapis emas. Dan yang lebih mengejutkan lagi— Ada grand piano hitam berdiri anggun di salah satu sudut ruangan, menambah kesan eksklusif dalam rumah ini. Elena melirik Arvino. Pria macam apa yang memiliki tempat seperti ini? Ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Arvino, tapi pria itu tetap menggenggamnya erat, seolah tidak berniat melepaskan. "Arvino," panggilnya pelan, "aku tidak menyangka rumahmu akan seperti ini." Arvino akhirnya menoleh, sorot matanya penuh arti. "Rumah kita," ralatnya dengan nada santai. Elena menghela napas. "Aku tidak pernah membayangkan menikah dengan seseorang yang bahkan tidak kukenal sepenuhnya, lalu tiba-tiba tinggal di rumah seperti ini." Arvino tersenyum samar, tapi tidak menjawab. Dia hanya menarik Elena lebih dalam ke dalam rumah itu. Saat itu juga, Elena sadar. Pernikahan ini bukan sekadar pernikahan biasa. Dan Arvino… bukan pria sembarangan."Untuk mengkonfirmasi, saya perlu Anda mengatakannya sekali lagi. Nyonya Elena Ashley, apakah Anda menyetujui perceraian ini?" Mario Peterson, seorang hakim pengadilan dan rekan terpercayanya selama bertahun-tahun, mengangkat pandangannya dari surat-surat perceraian dan menggenggam pena, siap untuk menyerahkannya. Dia mengambil waktu sejenak untuk melihat wanita yang duduk di sebelahnya—sebenarnya, dia tidak terlihat seperti datang untuk bercerai. Wanita disampingnya lebih terlihat seperti datang untuk membalas dendam. Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus, rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut dan tidak memakai perhiasan atau aksesori kecuali sepasang anting mutiara. Tampilan yang sederhana namun entah bagaimana sangat tidak cocok dan sangat kontras dengan warna gelap polos yang dikenakan oleh orang lain yang hadir di ruangan itu. Dia tampak mulia dan bermartabat, seperti bia
Elena tidak pernah mengira kehidupannya akan menjadi seperti ini. Dulu, ia menerima pernikahan dengan Rafael tanpa cinta, hanya demi kepentingan bisnis keluarga. Ayahnya—seorang pengusaha sukses, Direktur Eksekutif Ashley Group—menganggap Rafael yang juga berasal dari keluarga pengusaha, putra Tuan Shaquille, CEO SH Group, sebagai menantu ideal untuk mempertahankan kekuasaan mereka di dunia bisnis. Elena tidak keberatan saat itu. Toh, ia juga tidak sedang mencintai pria lain. Pernikahan tanpa cinta mungkin tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Namun, semua berubah ketika Samantha datang. Samantha adalah teman lama Rafael, setidaknya begitulah ucap Rafael ketika menjelaskan siapa itu Samantha. Perempuan itu tiba-tiba muncul kembali bersama Rafael setelah perjalanan bisnisnya, dalam keadaan mengenaskan—tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal, dan penuh air mata. Ia mengaku diusir dari rumah kontrakannya dan tidak memiliki siapa-siapa lagi di kota ini. Rafael, yang masih merasa
Bab 3 Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya. Namun, semua itu akan segera berakhir. Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan. Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy. "An
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang. Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya. Hari ini tidak berbeda. Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa. Elena berhenti menggulir. “Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.” “Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.” “Dia teman lama, kan?” “Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?” "@Elena, kau baik-baik saja?" Elena mengepalkan tangannya di atas pan
Ruangan persidangan mendadak terasa lebih panas setelah pernyataan Elena. Rafael menegang, matanya menyipit tajam ke arah mantan istrinya. “Kau bilang apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Elena tetap tersenyum, tanpa sedikit pun gentar. “Aku ingin surat pendaftaran pernikahan baru, Tuan Mario.” Ia menoleh ke hakim dengan nada sopan namun tegas, seolah tak peduli pada reaksi Rafael. Rafael menggeleng tak percaya. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Jangan bercanda, Elena.” “Aku tidak bercanda,” sahut Elena ringan. Rafael mengepalkan tangannya. Ini tidak masuk akal. Elena jelas-jelas tidak pernah tampak dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada pria lain di sekitarnya selama ini. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memiliki calon suami baru? Konyol. “Elena,” Rafael bersandar ke meja, tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Kau bahkan tidak punya siapa-siapa. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan lelucon semacam ini.” Elena menatap mantan suaminya de
Pintu kantor catatan sipil terbuka, dan Elena melangkah keluar dengan anggun. Senyum tipisnya masih terukir, tidak lebar, tetapi cukup untuk memperlihatkan kepuasan dalam dirinya.Di sisinya, pria tampan yang baru saja resmi menjadi suaminya berjalan dengan tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, memperlihatkan sikap santai yang tetap penuh wibawa.Namun, langkah mereka terhenti begitu saja.Di depan pintu, Rafael sudah berdiri menunggu. Tatapannya tajam, wajahnya tegang. Samantha ada di sampingnya, masih menempel seperti bayangan, seolah takut Rafael akan berpaling begitu saja.Elena mendesah pelan. Sudah kuduga."Apa maksudmu dengan semua ini, Elena?" Rafael akhirnya membuka suara.Elena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu santai. "Apa maksudmu? Bukankah semua sudah jelas?""Apa kau bercanda?!" Rafael hampir membentaknya. "Kau benar-benar menikah hari ini? Dengan pria yang bahkan tidak pernah kukenal?!"Elena terkekeh pelan. "Bukankah itu bukan urusanmu lagi,
Elena mengernyit saat mobil melaju semakin jauh dari jalan menuju Hotel Emerald. Gedung pencakar langit yang seharusnya menjadi tujuan mereka kini hanya tampak di kejauhan.Dengan alis bertaut, ia akhirnya bersuara."Bukankah seharusnya kita ke Hotel Emerald?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga di dalamnya.Sopir yang mengenakan setelan rapi menoleh sekilas melalui kaca spion. “Mohon maaf, Nyonya. Tuan Arvino meminta saya mengantar ke tempat lain.”Elena langsung menoleh ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Kita mau ke mana?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam.Arvino, yang sejak tadi hanya bersandar santai dengan satu tangan di dagunya, akhirnya menoleh dengan ekspresi tenang. Bibirnya sedikit melengkung. “Ke rumah baru kita.”Elena terdiam.Rumah baru?Sejak kapan mereka memiliki rumah bersama? Bukankah dia baru mengenal pria ini beberapa jam lalu?Matanya menyipit, berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Arvino. Namun, pria itu
Pintu kantor catatan sipil terbuka, dan Elena melangkah keluar dengan anggun. Senyum tipisnya masih terukir, tidak lebar, tetapi cukup untuk memperlihatkan kepuasan dalam dirinya.Di sisinya, pria tampan yang baru saja resmi menjadi suaminya berjalan dengan tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, memperlihatkan sikap santai yang tetap penuh wibawa.Namun, langkah mereka terhenti begitu saja.Di depan pintu, Rafael sudah berdiri menunggu. Tatapannya tajam, wajahnya tegang. Samantha ada di sampingnya, masih menempel seperti bayangan, seolah takut Rafael akan berpaling begitu saja.Elena mendesah pelan. Sudah kuduga."Apa maksudmu dengan semua ini, Elena?" Rafael akhirnya membuka suara.Elena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu santai. "Apa maksudmu? Bukankah semua sudah jelas?""Apa kau bercanda?!" Rafael hampir membentaknya. "Kau benar-benar menikah hari ini? Dengan pria yang bahkan tidak pernah kukenal?!"Elena terkekeh pelan. "Bukankah itu bukan urusanmu lagi,
Ruangan persidangan mendadak terasa lebih panas setelah pernyataan Elena. Rafael menegang, matanya menyipit tajam ke arah mantan istrinya. “Kau bilang apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Elena tetap tersenyum, tanpa sedikit pun gentar. “Aku ingin surat pendaftaran pernikahan baru, Tuan Mario.” Ia menoleh ke hakim dengan nada sopan namun tegas, seolah tak peduli pada reaksi Rafael. Rafael menggeleng tak percaya. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Jangan bercanda, Elena.” “Aku tidak bercanda,” sahut Elena ringan. Rafael mengepalkan tangannya. Ini tidak masuk akal. Elena jelas-jelas tidak pernah tampak dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada pria lain di sekitarnya selama ini. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memiliki calon suami baru? Konyol. “Elena,” Rafael bersandar ke meja, tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Kau bahkan tidak punya siapa-siapa. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan lelucon semacam ini.” Elena menatap mantan suaminya de
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang. Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya. Hari ini tidak berbeda. Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa. Elena berhenti menggulir. “Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.” “Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.” “Dia teman lama, kan?” “Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?” "@Elena, kau baik-baik saja?" Elena mengepalkan tangannya di atas pan
Bab 3 Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya. Namun, semua itu akan segera berakhir. Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan. Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy. "An
Elena tidak pernah mengira kehidupannya akan menjadi seperti ini. Dulu, ia menerima pernikahan dengan Rafael tanpa cinta, hanya demi kepentingan bisnis keluarga. Ayahnya—seorang pengusaha sukses, Direktur Eksekutif Ashley Group—menganggap Rafael yang juga berasal dari keluarga pengusaha, putra Tuan Shaquille, CEO SH Group, sebagai menantu ideal untuk mempertahankan kekuasaan mereka di dunia bisnis. Elena tidak keberatan saat itu. Toh, ia juga tidak sedang mencintai pria lain. Pernikahan tanpa cinta mungkin tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Namun, semua berubah ketika Samantha datang. Samantha adalah teman lama Rafael, setidaknya begitulah ucap Rafael ketika menjelaskan siapa itu Samantha. Perempuan itu tiba-tiba muncul kembali bersama Rafael setelah perjalanan bisnisnya, dalam keadaan mengenaskan—tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal, dan penuh air mata. Ia mengaku diusir dari rumah kontrakannya dan tidak memiliki siapa-siapa lagi di kota ini. Rafael, yang masih merasa
"Untuk mengkonfirmasi, saya perlu Anda mengatakannya sekali lagi. Nyonya Elena Ashley, apakah Anda menyetujui perceraian ini?" Mario Peterson, seorang hakim pengadilan dan rekan terpercayanya selama bertahun-tahun, mengangkat pandangannya dari surat-surat perceraian dan menggenggam pena, siap untuk menyerahkannya. Dia mengambil waktu sejenak untuk melihat wanita yang duduk di sebelahnya—sebenarnya, dia tidak terlihat seperti datang untuk bercerai. Wanita disampingnya lebih terlihat seperti datang untuk membalas dendam. Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus, rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut dan tidak memakai perhiasan atau aksesori kecuali sepasang anting mutiara. Tampilan yang sederhana namun entah bagaimana sangat tidak cocok dan sangat kontras dengan warna gelap polos yang dikenakan oleh orang lain yang hadir di ruangan itu. Dia tampak mulia dan bermartabat, seperti bia