Elena tidak pernah mengira kehidupannya akan menjadi seperti ini.
Dulu, ia menerima pernikahan dengan Rafael tanpa cinta, hanya demi kepentingan bisnis keluarga. Ayahnya—seorang pengusaha sukses, Direktur Eksekutif Ashley Group—menganggap Rafael yang juga berasal dari keluarga pengusaha, putra Tuan Shaquille, CEO SH Group, sebagai menantu ideal untuk mempertahankan kekuasaan mereka di dunia bisnis. Elena tidak keberatan saat itu. Toh, ia juga tidak sedang mencintai pria lain. Pernikahan tanpa cinta mungkin tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Namun, semua berubah ketika Samantha datang. Samantha adalah teman lama Rafael, setidaknya begitulah ucap Rafael ketika menjelaskan siapa itu Samantha. Perempuan itu tiba-tiba muncul kembali bersama Rafael setelah perjalanan bisnisnya, dalam keadaan mengenaskan—tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal, dan penuh air mata. Ia mengaku diusir dari rumah kontrakannya dan tidak memiliki siapa-siapa lagi di kota ini. Rafael, yang masih merasa perlu membantunya, membawanya ke rumah mereka. "Dia hanya butuh tempat tinggal sementara," ucap Rafael saat Elena mempertanyakan keputusannya. Elena tidak bodoh. Ia tahu bagaimana cara Rafael memandang Samantha—tatapan yang tidak pernah diberikan pria itu padanya. Dan benar saja, kehadiran Samantha mengubah segalanya. Rafael semakin menjauh, sementara Samantha semakin berani. Ia bertingkah seolah rumah ini adalah miliknya. Bahkan, Samantha sering bersikap manja di depan Rafael, seakan-akan Elena hanyalah tamu di rumahnya sendiri. Samantha adalah seorang aktris. Tidak di panggung teater, tapi dalam kehidupan nyata. --- Malam itu, Elena baru saja melangkah masuk ke dalam rumah ketika suara lembut Samantha terdengar dari ruang tamu. "Aku benar-benar nggak tahu harus berbuat apa, Raf… Aku sudah berusaha, sungguh. Tapi… aku tetap nggak diterima di sini." Elena menghela napas panjang. Oh, jadi ini drama hari ini? "Kau terlalu baik, Samantha," suara Rafael terdengar lembut. "Jangan terlalu dipikirkan. Aku di sini, bukan?" Elena melangkah masuk ke ruang tamu. Samantha langsung menoleh ke arahnya dengan mata membesar, seolah Elena adalah hantu yang baru muncul di hadapannya. "Elena…" Samantha menggigit bibirnya, ekspresinya seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah. "Aku… aku nggak bermaksud bicara di belakangmu. Aku hanya… sedih karena aku merasa nggak diterima di sini." Elena melipat tangan di dada. "Oh ya? Siapa yang melarangmu tinggal di sini? Aku?" Samantha menggeleng cepat. "Bukan begitu… Aku hanya merasa canggung. Aku tahu ini rumahmu, dan aku seperti pengganggu…" Elena berjalan mendekat, menatap Samantha tanpa ekspresi. "Kalau kau sadar kau pengganggu, kenapa kau masih di sini?" Samantha menundukkan kepala, bibirnya bergetar seperti akan menangis. "Aku… aku tak punya tempat lain…" "Kau bisa sewa apartemen." "Tapi aku merasa aman di sini…" Rafael akhirnya ikut angkat bicara. "Elena, cukup." Elena mendengus pelan, menatap Rafael dengan penuh ejekan. "Kau benar-benar menikmati ini, ya?" Rafael menyandarkan punggungnya ke sofa. "Maksudmu?" "Mempermainkan dua wanita dalam satu atap." Samantha buru-buru menggeleng. "Aku nggak pernah berpikir seperti itu, Elena! Aku justru berharap kita bisa berteman!" Elena tertawa pendek. "Teman?" Dia melirik Rafael. "Dengar itu? Selingkuhanmu ingin berteman denganku." "Elena, jangan memperumit keadaan." "Oh, maaf. Aku lupa kalau aku yang berlebihan di sini." Elena bertepuk tangan kecil. "Silakan lanjutkan drama kalian. Aku lelah." Samantha memandangnya dengan mata berkaca-kaca, seolah Elena baru saja menjatuhinya hukuman mati. Tapi Elena tak peduli. "Elena, aku tau kau mungkin marah padaku, tapi jangan marah pada Rafael, ini semua salahku" Elena berhenti, ia berbalik badan dengan alis terangkat, " Elena katamu? Panggil aku Nyonya Elena, kurasa kita bukan teman dekat sampai kau bisa memanggilku dengan begitu santai" "Elena, Cukup!" titah Rafael. "Setidaknya ajari perempuan ini sebelum bersikap sok akrab dengan orang lain" ujar Elena sambil berlalu pergi. Dia sudah cukup muak. --- Elena melangkah masuk ke lobi hotelnya. Segera setelah melihatnya, beberapa staf hotel menyambut dengan sopan. "Selamat malam, Bu Elena." Elena hanya mengangguk kecil, berjalan menuju lift. Beberapa tamu yang mengenalinya juga memberikan senyum hormat. Wajar saja, ia bukan hanya pemilik hotel ini—ia adalah otak di balik semua operasionalnya. Emerald Green Hotel, hotel ini awalnya dibangun oleh ayahnya, Tuan Ashley. Tapi setelah pernikahan, ayahnya memberikan kepemilikan penuh kepada Elena, berharap ia bisa mengembangkan bisnis keluarga. Dan nyatanya, Elena sukses membuat hotel ini berkembang pesat. Ia naik ke lantai eksekutif, menuju apartemen pribadinya. Namun, sebelum itu, ia memutuskan untuk singgah di bar hotel. Sedikit melepaskan kekesalan atas apa yang sudah terjadi di rumah. Dan di sanalah ia bertemu pria itu lagi. Ia sedang duduk di ujung bar, seperti biasa. Tatapan matanya tajam, tapi sikapnya tetap tenang. Pria itu sudah memperhatikan Elena dari kejauhan. Merasa diperhatikan, Elena malah mendekat, lalu duduk di sampingnya setelah memesan segelas sampanye. "Kau terlihat seperti seseorang yang ingin melarikan diri," ucapnya Pria itu begitu Elena duduk. Elena tersenyum kecil. "Melarikan diri?" Ia menyesap minumannya. "Mungkin. Tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai… strategi." Pria itu menarik kursi di sebelahnya. "Strategi untuk apa?" "Balas dendam." Pria itu mengangkat alisnya. "Menarik." Elena menoleh, menatap pria itu lebih lama. "Kenapa? Kau juga tipe orang yang suka balas dendam?" Pria itu tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Elena memiringkan kepalanya. "Aku masih belum tahu siapa namamu." "Dan aku masih belum tahu siapa namamu." Elena mendengus kecil. "Jadi kita mulai dengan anonim?" "Tidak masalah bagiku." Hening sejenak. Lalu Elena bersuara lagi. "Kau sudah menikah?" "Tidak." "Kau ingin menikah?" Pria itu akhirnya menatapnya lebih serius. "Kenapa? Kau ingin melamarku?" Elena tersenyum tipis. "Bagaimana kalau iya?" Pria itu tertawa pelan. "Kau bercanda." Elena mengangkat bahu. "Siapa tahu?" Pria itu memiringkan kepalanya, menatap Elena lebih dalam. "Kau serius?" Elena menatap langsung ke matanya. "Aku tidak butuh hartamu. Aku hanya butuh seorang suami." Pria itu terdiam, matanya berkilat penuh ketertarikan. "Kenapa?" tanyanya. Elena menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyesap minumannya sebelum menjawab dengan suara pelan. "Karena aku ingin membuat seseorang menderita." "Kau belum mengenalku, lalu tiba-tiba kau mengajakku menikah, apa kau siap dengan semua konsekuensinya?" "Kenapa tidak?" Sahut Elena, ia tersenyum penuh arti.Bab 3 Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya. Namun, semua itu akan segera berakhir. Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan. Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy. "An
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang. Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya. Hari ini tidak berbeda. Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa. Elena berhenti menggulir. “Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.” “Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.” “Dia teman lama, kan?” “Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?” "@Elena, kau baik-baik saja?" Elena mengepalkan tangannya di atas pan
Ruangan persidangan mendadak terasa lebih panas setelah pernyataan Elena. Rafael menegang, matanya menyipit tajam ke arah mantan istrinya. “Kau bilang apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Elena tetap tersenyum, tanpa sedikit pun gentar. “Aku ingin surat pendaftaran pernikahan baru, Tuan Mario.” Ia menoleh ke hakim dengan nada sopan namun tegas, seolah tak peduli pada reaksi Rafael. Rafael menggeleng tak percaya. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Jangan bercanda, Elena.” “Aku tidak bercanda,” sahut Elena ringan. Rafael mengepalkan tangannya. Ini tidak masuk akal. Elena jelas-jelas tidak pernah tampak dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada pria lain di sekitarnya selama ini. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memiliki calon suami baru? Konyol. “Elena,” Rafael bersandar ke meja, tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Kau bahkan tidak punya siapa-siapa. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan lelucon semacam ini.” Elena menatap mantan suaminya de
Pintu kantor catatan sipil terbuka, dan Elena melangkah keluar dengan anggun. Senyum tipisnya masih terukir, tidak lebar, tetapi cukup untuk memperlihatkan kepuasan dalam dirinya.Di sisinya, pria tampan yang baru saja resmi menjadi suaminya berjalan dengan tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, memperlihatkan sikap santai yang tetap penuh wibawa.Namun, langkah mereka terhenti begitu saja.Di depan pintu, Rafael sudah berdiri menunggu. Tatapannya tajam, wajahnya tegang. Samantha ada di sampingnya, masih menempel seperti bayangan, seolah takut Rafael akan berpaling begitu saja.Elena mendesah pelan. Sudah kuduga."Apa maksudmu dengan semua ini, Elena?" Rafael akhirnya membuka suara.Elena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu santai. "Apa maksudmu? Bukankah semua sudah jelas?""Apa kau bercanda?!" Rafael hampir membentaknya. "Kau benar-benar menikah hari ini? Dengan pria yang bahkan tidak pernah kukenal?!"Elena terkekeh pelan. "Bukankah itu bukan urusanmu lagi,
Elena mengernyit saat mobil melaju semakin jauh dari jalan menuju Hotel Emerald. Gedung pencakar langit yang seharusnya menjadi tujuan mereka kini hanya tampak di kejauhan.Dengan alis bertaut, ia akhirnya bersuara."Bukankah seharusnya kita ke Hotel Emerald?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga di dalamnya.Sopir yang mengenakan setelan rapi menoleh sekilas melalui kaca spion. “Mohon maaf, Nyonya. Tuan Arvino meminta saya mengantar ke tempat lain.”Elena langsung menoleh ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Kita mau ke mana?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam.Arvino, yang sejak tadi hanya bersandar santai dengan satu tangan di dagunya, akhirnya menoleh dengan ekspresi tenang. Bibirnya sedikit melengkung. “Ke rumah baru kita.”Elena terdiam.Rumah baru?Sejak kapan mereka memiliki rumah bersama? Bukankah dia baru mengenal pria ini beberapa jam lalu?Matanya menyipit, berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Arvino. Namun, pria itu
"Untuk mengkonfirmasi, saya perlu Anda mengatakannya sekali lagi. Nyonya Elena Ashley, apakah Anda menyetujui perceraian ini?" Mario Peterson, seorang hakim pengadilan dan rekan terpercayanya selama bertahun-tahun, mengangkat pandangannya dari surat-surat perceraian dan menggenggam pena, siap untuk menyerahkannya. Dia mengambil waktu sejenak untuk melihat wanita yang duduk di sebelahnya—sebenarnya, dia tidak terlihat seperti datang untuk bercerai. Wanita disampingnya lebih terlihat seperti datang untuk membalas dendam. Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus, rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut dan tidak memakai perhiasan atau aksesori kecuali sepasang anting mutiara. Tampilan yang sederhana namun entah bagaimana sangat tidak cocok dan sangat kontras dengan warna gelap polos yang dikenakan oleh orang lain yang hadir di ruangan itu. Dia tampak mulia dan bermartabat, seperti bia
Elena mengernyit saat mobil melaju semakin jauh dari jalan menuju Hotel Emerald. Gedung pencakar langit yang seharusnya menjadi tujuan mereka kini hanya tampak di kejauhan.Dengan alis bertaut, ia akhirnya bersuara."Bukankah seharusnya kita ke Hotel Emerald?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga di dalamnya.Sopir yang mengenakan setelan rapi menoleh sekilas melalui kaca spion. “Mohon maaf, Nyonya. Tuan Arvino meminta saya mengantar ke tempat lain.”Elena langsung menoleh ke arah pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Kita mau ke mana?" tanyanya, kali ini suaranya lebih tajam.Arvino, yang sejak tadi hanya bersandar santai dengan satu tangan di dagunya, akhirnya menoleh dengan ekspresi tenang. Bibirnya sedikit melengkung. “Ke rumah baru kita.”Elena terdiam.Rumah baru?Sejak kapan mereka memiliki rumah bersama? Bukankah dia baru mengenal pria ini beberapa jam lalu?Matanya menyipit, berusaha menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Arvino. Namun, pria itu
Pintu kantor catatan sipil terbuka, dan Elena melangkah keluar dengan anggun. Senyum tipisnya masih terukir, tidak lebar, tetapi cukup untuk memperlihatkan kepuasan dalam dirinya.Di sisinya, pria tampan yang baru saja resmi menjadi suaminya berjalan dengan tenang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, memperlihatkan sikap santai yang tetap penuh wibawa.Namun, langkah mereka terhenti begitu saja.Di depan pintu, Rafael sudah berdiri menunggu. Tatapannya tajam, wajahnya tegang. Samantha ada di sampingnya, masih menempel seperti bayangan, seolah takut Rafael akan berpaling begitu saja.Elena mendesah pelan. Sudah kuduga."Apa maksudmu dengan semua ini, Elena?" Rafael akhirnya membuka suara.Elena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu santai. "Apa maksudmu? Bukankah semua sudah jelas?""Apa kau bercanda?!" Rafael hampir membentaknya. "Kau benar-benar menikah hari ini? Dengan pria yang bahkan tidak pernah kukenal?!"Elena terkekeh pelan. "Bukankah itu bukan urusanmu lagi,
Ruangan persidangan mendadak terasa lebih panas setelah pernyataan Elena. Rafael menegang, matanya menyipit tajam ke arah mantan istrinya. “Kau bilang apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman. Elena tetap tersenyum, tanpa sedikit pun gentar. “Aku ingin surat pendaftaran pernikahan baru, Tuan Mario.” Ia menoleh ke hakim dengan nada sopan namun tegas, seolah tak peduli pada reaksi Rafael. Rafael menggeleng tak percaya. Ia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suara itu. “Jangan bercanda, Elena.” “Aku tidak bercanda,” sahut Elena ringan. Rafael mengepalkan tangannya. Ini tidak masuk akal. Elena jelas-jelas tidak pernah tampak dekat dengan siapa pun. Tidak pernah ada pria lain di sekitarnya selama ini. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa memiliki calon suami baru? Konyol. “Elena,” Rafael bersandar ke meja, tatapannya tajam dan penuh tekanan. “Kau bahkan tidak punya siapa-siapa. Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan lelucon semacam ini.” Elena menatap mantan suaminya de
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Elena membuka linimasa grup gosip yang telah dibuat bertahun-tahun lalu oleh para wanita kaya di lingkaran sosialnya. Grup ini ibarat "pesta teh digital", hanya saja dengan lebih banyak tamu—bahkan beberapa tamu tak diundang. Menggulir linimasa yang menumpuk semalaman adalah bagian dari rutinitas paginya. Bukan karena ia menikmati drama yang terjadi, melainkan karena ia perlu selalu tahu perkembangan terbaru untuk unggul dalam posisinya. Hari ini tidak berbeda. Jarinya terus menggeser layar ponsel, melewati obrolan tentang siapa yang menghadiri acara amal mana, siapa yang mengenakan gaun merek apa, hingga akhirnya—nama Rafael Shaquille muncul di linimasa. Elena berhenti menggulir. “Ternyata benar, Rafael Shaquille membawa seorang wanita ke rumahnya.” “Kudengar wanita itu tinggal di sana sekarang.” “Dia teman lama, kan?” “Kalau teman, kenapa sampai tinggal satu atap?” "@Elena, kau baik-baik saja?" Elena mengepalkan tangannya di atas pan
Bab 3 Hari-hari Elena selalu sibuk. Selain mengelola hotelnya, ia juga menjabat sebagai salah satu direktur di SH Group, perusahaan yang diwariskan oleh ayah Rafael. Kantornya berada di gedung yang sama dengan Rafael, hanya berbeda lantai. Meski memiliki jabatan tinggi, ia tidak memiliki kebebasan penuh. Warisan mendiang ayah mertuanya dan perjanjian pernikahan mereka telah membuatnya terikat dalam sistem yang tidak menguntungkannya. Namun, semua itu akan segera berakhir. Di lantai 28, kantor Elena dipenuhi dengan suara klik-klak sepatu hak tinggi, dering telepon yang tak henti-henti, serta suara para pegawai yang sibuk menyelesaikan laporan. Di antara mereka, Anna, sekretaris pribadinya, dengan cekatan membolak-balik dokumen di tangan. Elena duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai rapi hanya sedikit berantakan akibat kesibukan sejak pagi. Meski demikian, penampilannya tetap elegan dalam setelan jas mahal berwarna navy. "An
Elena tidak pernah mengira kehidupannya akan menjadi seperti ini. Dulu, ia menerima pernikahan dengan Rafael tanpa cinta, hanya demi kepentingan bisnis keluarga. Ayahnya—seorang pengusaha sukses, Direktur Eksekutif Ashley Group—menganggap Rafael yang juga berasal dari keluarga pengusaha, putra Tuan Shaquille, CEO SH Group, sebagai menantu ideal untuk mempertahankan kekuasaan mereka di dunia bisnis. Elena tidak keberatan saat itu. Toh, ia juga tidak sedang mencintai pria lain. Pernikahan tanpa cinta mungkin tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Namun, semua berubah ketika Samantha datang. Samantha adalah teman lama Rafael, setidaknya begitulah ucap Rafael ketika menjelaskan siapa itu Samantha. Perempuan itu tiba-tiba muncul kembali bersama Rafael setelah perjalanan bisnisnya, dalam keadaan mengenaskan—tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal, dan penuh air mata. Ia mengaku diusir dari rumah kontrakannya dan tidak memiliki siapa-siapa lagi di kota ini. Rafael, yang masih merasa
"Untuk mengkonfirmasi, saya perlu Anda mengatakannya sekali lagi. Nyonya Elena Ashley, apakah Anda menyetujui perceraian ini?" Mario Peterson, seorang hakim pengadilan dan rekan terpercayanya selama bertahun-tahun, mengangkat pandangannya dari surat-surat perceraian dan menggenggam pena, siap untuk menyerahkannya. Dia mengambil waktu sejenak untuk melihat wanita yang duduk di sebelahnya—sebenarnya, dia tidak terlihat seperti datang untuk bercerai. Wanita disampingnya lebih terlihat seperti datang untuk membalas dendam. Wajahnya segar dengan sentuhan riasan yang halus, rambut panjangnya yang tergerai jatuh dalam gelombang berkilau di punggungnya. Dia mengenakan gaun sutra merah maroon selutut dan tidak memakai perhiasan atau aksesori kecuali sepasang anting mutiara. Tampilan yang sederhana namun entah bagaimana sangat tidak cocok dan sangat kontras dengan warna gelap polos yang dikenakan oleh orang lain yang hadir di ruangan itu. Dia tampak mulia dan bermartabat, seperti bia