Pernah mencintai kakak dari sahabat sendiri? Pernah. Pernah menyatakan cinta? Pernah juga. Apakah diterima? Jelas tidak. Nasib Cia begitu menyedihkan saat cinta pertamanya menolak perasaannya. Kenyataan pahit itu membuatnya pergi untuk melupakan segalanya. Setelah bertahun-tahun lari, takdir seolah datang untuk mempermainkannya. Kondisi yang mendesak membuat Cia harus menerima kenyataan jika ia akan bekerja dengan Agam Mahawira, pria yang menjadi cinta pertama sekaligus pusat traumanya. Apakah pria itu masih sama? Tentu tidak. Seorang Agam Mahawira telah berubah, berubah menjadi lebih menyebalkan tentu saja. "Sudah punya pacar?" tanya Agam. "Privasi, Pak," jawab Cia "Ternyata belum. Kalau gitu saya ada tugas baru buat kamu." "Tugas apa lagi, sih, Pak?" tanyanya kesal. "Jadi pacar saya." *** Viallynn
View MoreCia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat
Deru napas yang berat tidak menghentikan seorang gadis yang tengah berlari. Jalanan ibu kota yang sepi juga tidak membuatnya bergidik ngeri. Justru laju larinya semakin meninggi untuk menghindari seseorang yang mengejarnya tanpa henti. Tidak ada yang gadis itu pikirkan saat ini selain melarikan diri.Cia, nama gadis itu. Nama lengkapnya adalah Alicia Cantika. Nama yang manis untuk gadis yang juga berwajah manis. Paras cantik dan lugunya mampu membius kaum adam dengan mudah, termasuk atasannya sendiri, pria yang saat ini masih mengejarnya sambil meringis kesakitan."Tolong!" teriak Cia saat rasa lelah mulai ia rasakan. Jalanan yang sepi membuatnya mengumpat dalam hati.Ke mana perginya semua orang?"Berhenti kamu!" teriak atasannya. Orang-orang memanggilanya Pak Bonang, seorang duda yang meresahkan. Bukan karena tampan, melainkan karena mata keranjang.Sialnya, malam ini Cia yang menjadi korban.Niat bekerja lembur untuk mengumpulkan bonus harus pupus karena ulah Pak Bonang yang ternya...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments