Di meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.
Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya."Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya."Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu."Resep dari Mama gue.""Ah, pantes.""Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya."Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai waktu. Bisa dibilang jika Agam adalah pria yang sangat disiplin dan tak suka membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting.Lantai ruangan Agam benar-benar sepi. Di lantai ini memang hanya ada ruang CEO dan ruang rapat. Namun semenjak Dika dirawat di rumah sakit, lantai ini semakin terlihat tidak berpenghuni.Sambil meminum kopinya, Febi mengetuk pintu ruangan Agam. Suara sahutan pelan terdengar. Dengan segera Febi masuk hanya dengan memasukkan kepalanya."Kok belum siap-siap, Pak?"Agam meliriknya bingung. "Siap-siap untuk?""Lah, kan kita ada rapat di Hotel Mutiara sama Pak Dandung."Mendengar itu Agam memejamkan matanya erat. Dengan segera dia membuka kembali jadwal yang telah Dika buat satu minggu yang lalu. Benar saja, dia memang ada rapat pagi ini."Gue lupa," sahut Agam singkat dan mulai bersiap.Febi masuk lalu menutup pintu rapat. "Lo nggak pulang, Kak?"Agam hanya menggeleng. Jangankan pulang, untuk keluar dari ruangan saja dia tidak ada waktu. Bahkan pekerjaannya kemarin baru selesai pagi ini. Membuatnya hilang fokus dan lupa akan jadwalnya sendiri.Jika seperti ini terus maka perkejaannya akan terbengkalai. Mengingat kondisi Dika yang cukup parah, sepertinya pria itu tidak akan pulih dalam waktu dekat. Tidak mungkin Agam tidak memberi waktu untuk masa pemulihan."Tapi lo tidur, kan?" tanya Febi lagi."Tidur," jawab Agam mulai mendekat. "Dua jam," lanjutnya.Febi berdecak ngeri. "Bisa tipes lo.""Cariin pengganti Dika untuk sementara," ujar Agam merebut kopi Febi dan berlalu keluar ruangan.Febi mengikuti langkah Agam sambil berpikir. Lagi-lagi Agam memintanya melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya. Namun satu detik kemudian Febi tersenyum. Seketika dia teringat dengan Cia yang tengah mencari pekerjaan saat ini."Gue ada," ucap Febi cepat."Suruh besok ke kantor.""Oke, Bos!"Febi masih tidak bisa menahan senyumnya. Kebetulan yang menguntungkan. Seperti kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.***Febi meringis melihat apa yang dilakukan Cia saat ini. Sahabatnya itu seperti tidak makan selama dua bulan. Namun Febi tidak menyalahkannya. Nafsu makan Cia meninggi juga bukan tanpa alasan. Selain karena memang lapar, Apa yang Cia alami akhir-akhir ini membuatnya stress."Mau makan punya gue?" tawar Febi."Lo nggak makan?""Kenyang liat lo makan.""Oke," jawab Cia santai dan menarik piring Febi mendekat.Dua porsi soto ayam untuk makan siang tidak berlebihan bagi Cia. Apalagi dia baru saja selesai berkeliling di beberapa kantor untuk memberikan lamaran kerjanya. Dia butuh tenaga lebih untuk kembali berkeliling setelah ini."Pelan-pelan, ih. Nggak gue ambil makanannya." Febi memberikan selembar tisu."Gue harus cepet. Ada interview bentar lagi."Mata Febi membulat mendengar itu. Dengan cepat dia menarik map Cia yang berisi beberapa dokumen penting untuk melamar pekerjaan dan menyembunyikannya. Dia tidak akan membiarkan sahabatnya itu mendapatkan pekerjaan lain selain di kantornya. Dari dulu impian Febi masih sama, yaitu terus bersama Cia."Nggak boleh!""Lah, kenapa?""Lo nggak perlu cari kerja lagi. Ada posisi kosong di kantor gue."Cia terbatuk dan meminum es jeruknya cepat. "Lo serius? Posisi apa?""Sekretaris." Febi menaik-turunkan alisnya.Bahu Cia merosot mendengar itu. "Gue nggak ada pengalaman di bidang itu.""Nggak perlu khawatir." Febi mengibaskan tangannya. "Gue udah bilang ke atasan gue. Besok lo bisa langsung ke kantor.""Lo serius?" Cia benar-benar terkejut. Dia tahu jika Febi adalah anak orang kaya yang memiliki banyak jalur khusus, tetapi ia tidak menyangka jika akan secepat ini.Febi mengangguk senang. Melihat respon Cia yang juga sama, sepertinya rencananya akan berjalan lancar kali ini. Akhirnya dia bisa bekerja dengan sahabatnya seperti impiannya."Gue jadi sekretarisnya siapa nanti?""Pak Bos," jawab Febi sambil menggigit bibirnya, khawatir akan respon Cia."Bokap lo? Oke, deh. Udah lama nggak ketemu." Cia terkekeh.Mau tidak mau Febi juga ikut terkekeh. Jika saja Cia tahu yang sebenarnya mungkin persahabatan mereka akan putus detik ini juga. Febi memilih untuk memendamnya. Dia akan menyerahkan semuanya pada takdir besok. Setidaknya dia sudah melakukan yang terbaik untuk membantu Cia."Biar makan siang ini gue yang traktir," ujar Cia."Traktir gimana? Orang lo sendiri yang makan."Cia tertawa geli melihat tingkahnya sendiri. Akhirnya dia bisa kembali tertawa setelah lelah menangis, menangisi masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini."Mang! Soto ayamnya satu lagi." Cia kembali memesan soto, kali ini untuk Febi.Dering ponsel tiba-tiba terdengar. Cia melirik ponselnya sebentar dan terkejut melihat siapa yang menghubunginya. Dengan cepat dia mengangkatnya dan mendengarkan dengan seksama. Febi yang penasaran pun mulai mendekat. Dia ikut menguping pembicaraan sahabatnya yang tiba-tiba berubah ekspresi."Gue harus ke rumah sakit. Lo bayar makanannya dulu, nanti malem gue ganti." Cia mencium pipi Febi cepat dan berlari pergi."Cia! Katanya lo mau traktir gue?!"***Cia turun dari motor ojek online pesanannya dengan tergesa. Dia baru saja mendapat kabar mengejutkan dari rumah sakit. Bukan karena kondisi pasien yang menjadi tanggung jawabnya melemah, melainkan sebaliknya, pria itu sudah sadar. Tak henti Cia mengucapkan syukur selama perjalanan. Bahkan dia sempat menangis karena terharu. Dalam satu hari sudah ada dua kebahagiaan yang menghampirinya.Benar, Tuhan itu memang baik."Permisi," ucap Cia berlari membelah kerumunan. Lift adalah tujuannya."Tunggu, jangan ditutup dulu!" ucap Cia sedikit keras saat lift di hadapannya hampir tertutup.Namun usaha Cia tidak berhasil kali ini. Pintu lift tetap tertutup saat ia sudah berada di depannya. Dia berlutut dengan napas terengah. Apa dia harus menggunakan tangga?Berbeda dengan Cia yang tampak bersemangat, seorang pria yang berada di dalam lift tadi justru terdiam karena terkejut. Meskipun hanya sebentar dan sekilas, tetapi ia yakin tidak salah lihat. Setelah bertahun-tahun, gadis itu kembali muncul di hadapannya."Cia," gumam Agam pelan.***TBC“Pak Agam?"Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahab
Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb
Hari Sabtu bukan lagi menjadi hari yang menyenangkan untuk Cia. Biasanya dia akan tidur seharian untuk mengganti jam tidur siangnya yang sering terlewat saat bekerja, tetapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Pagi hari dia harus sudah berada di kantor. Sesuai jadwal yang diinginkan Agam, mereka akan bermain golf hari ini.Sekaligus rapat katanya. Meskipun Cia ragu, tetapi dia tetap menurut.Agam masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Namun dia menghela napas lelah saat mendengar suara cekikikan dari kursi belakang. Dia melihat ke belakang melalui center mirror sambil berpikir. Kenapa dia harus berurusan dengan dua wanita aneh di belakangnya?"Kok nggak jalan?" tanya Febi menatap kakaknya polos.Ya, gadis itu juga ikut dengan kegiatan mereka kali ini. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Cia tiba-tiba datang bersama Febi. Agam hanya bisa pasrah saat melihat adiknya itu tidak bisa lepas dari Cia. Bahkan saat Agam mengusirnya pergi, Febi kembali beraksi sambil merengek."Ki