Hari Sabtu bukan lagi menjadi hari yang menyenangkan untuk Cia. Biasanya dia akan tidur seharian untuk mengganti jam tidur siangnya yang sering terlewat saat bekerja, tetapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Pagi hari dia harus sudah berada di kantor. Sesuai jadwal yang diinginkan Agam, mereka akan bermain golf hari ini.Sekaligus rapat katanya. Meskipun Cia ragu, tetapi dia tetap menurut.Agam masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Namun dia menghela napas lelah saat mendengar suara cekikikan dari kursi belakang. Dia melihat ke belakang melalui center mirror sambil berpikir. Kenapa dia harus berurusan dengan dua wanita aneh di belakangnya?"Kok nggak jalan?" tanya Febi menatap kakaknya polos.Ya, gadis itu juga ikut dengan kegiatan mereka kali ini. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Cia tiba-tiba datang bersama Febi. Agam hanya bisa pasrah saat melihat adiknya itu tidak bisa lepas dari Cia. Bahkan saat Agam mengusirnya pergi, Febi kembali beraksi sambil merengek."Ki
Tahun 2016Di sebuah dapur panti asuhan, terlihat dua orang gadis tengah berdiri tenang di ujung ruangan. Bukannya membantu yang lain, dua gadis itu malah asik menikmati makanan yang ada. Tidak peduli dengan beberapa orang yang keluar-masuk dapur untuk menyiapkan makanan.Mereka kelelahan. Sudah seharian ini mereka banyak membantu kegiatan di panti asuhan. Jika bukan karena hukuman mungkin mereka tidak akan berakhir di tempat ini. Andai saja mereka tidak kabur di jam pelajaran mungkin kepala sekolah tidak akan mengirim mereka ke panti asuhan untuk melakukan pekerjaan sosial sebagai hukuman."Lo mau tambah?" tanya Febi."Gue mau yang keju," jawab Cia.Belum sempat mengambil potongan kuenya, tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk dan tersenyum pada mereka."Kalian laper ya? Pasti capek." Cia dan Febi hanya bisa tersenyum canggung. Dengan segera mereka mengelap bibirnya, takut jika ada sisa makanan yang tersisa di sana."Kalau kalian sudah selesai, bisa tolong ibu? Kayaknya Dedek Sat
Melakukan kesalahan yang sama adalah hal yang dihindari oleh manusia. Namun sayangnya, tidak bagi Cia. Hari ini secara sadar dan sengaja dia kabur dari sekolah meninggalkan mata pelajaran yang tengah berlangsung. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan ia ingin mendapat hukuman.Jika orang-orang mengetahui niat aslinya, mungkin mereka akan menyebutnya gila. Cia tidak peduli dengan itu. Dia memang sudah gila. Rela melakukan apapun untuk melihat pria yang secara tiba-tiba memenuhi isi hati dan pikirannya."Cia!" Suara teriakan itu mengejutkan Cia.Dari jauh, Cia melihat Febi yang berlari menghampirinya."Lo kabur?" tanya Febi dengan napas terengah."Iya.""Kenapa nggak ajak gue?" geram Febi kesal.Febi baru mendengar apa yang terjadi pada sahabatnya. Setelah pulang sekolah, ia langsung ke panti asuhan tempat di mana Cia dihukum. Memang hukuman yang diberikan sekolahnya cukup berbeda. Itu karena peraturan yang dibuat Ayah Febi sendiri, selaku pemilik sekolah. Sekolah swasta memang memil
Sambil mengaduk teh jahe buatannya, Cia menatap halaman panti melalui jendela dapur. Untuk yang kesekian kalinya dia berada di tempat ini hanya untuk melihat pujaan hatinya. Pria yang sayangnya tidak ia ketahui namanya tetapi mampu menguasai akal sehatnya. Cia hanya bisa melihat dalam diam. Dia tidak mempunyai keberanian untuk mendekat. "Kok ngalamun, Cia? Hati-hati kena air panas loh," tegur Bu Suci. Cia tersadar dan tersenyum malu. Dia kembali fokus pada teh yang ia buat untuk meredakan rasa haus anak-anak yang tengah bermain saat ini. "Ini sudah ke-lima kalinya kamu dihukum ke panti. Kamu nggak capek?" tanya Bu Suci. Lihat? Orang lain akan berpikir jika kenakalan Cia sudah tidak bisa dikontrol. Padahal kenyataannya ada niat terselebung kenapa dia melakukan ini. Tentu saja agar bisa melihat pujaan hatinya. "Aku seneng kalau bisa bantu ibu di sini. Aku juga bisa main sama anak-anak." Bu Suci tersenyum sambil mengelus kepala Cia. "Kalau kamu mau main ke sini ya main aja ng
Hanya berdua di satu ruangan bersama Agam memang benar-benar menguras energi. Cia yang memang bukan orang pendiam mulai gelisah karena rasa tak nyaman. Kecanggungan yang terjadi sangatlah terasa. Apalagi Cia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan terpaksa harus menunggu Agam selesai dengan pekerjaannya. Cia mengalami perang batin saat ini. Jujur, di dalam hati yang paling dalam dia senang bisa melihat Agam secara dekat. Namun dia tidak boleh terlena. Cia tidak mau kembali jatuh ke titik terendah hidupnya seperti dulu. Dia tidak mau kembali ke masa-masa di mana dia menangis setiap malam karena patah hati. Seperti ucapan Febi. Cia harus bisa melupakan Agam. Dia harus profesional mulai saat ini. Cia tidak akan membiarkan dirinya kembali terjebak pada perasaan yang membuatnya terpuruk. Cia menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya dengan gelisah. Sudah jam tujuh malam dan tidak ada tanda-tanda jika Agam akan menyelesaikan pekerjaann
Suasana dapur terlihat mencekam saat sepasang mata menatap tajam pada pria yang tengah memasak. Ucapan kemarahan dan sumpah serapah yang keluar dari bibir gadis itu seolah tidak berarti apa-apa. Hanya masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Bahkan urat lehernya yang ikut keluar tidak berefek apapun untuk pria yang masih fokus memasak itu. Agam, dia masih membiarkan adiknya meluapkan emosi karena keputusan sepihaknya. "Nggak mau tau! Uang bulanan gue harus tetep utuh!" ucap Febi lagi. Agam masih diam, tidak berniat membalas ucapan Febi. Dia sudah menjelaskan maksud alasannya melakukan hal itu dan Agam tidak akan mengulanginya dua kali. "Kak Agam denger nggak, sih?" Febi dengan kesal menarik kaos Agam. Niat Febi yang ingin berendam air hangat sepulang kerja harus gagal karena telepon mendadak dari kakaknya. Bukan hanya telepon yang mendadak, tetapi juga keputusan yang mendadak. Keputusan yang tidak Febi sukai dan sangat merugikannya. "Lepas. Mau ketumpahan m
Malam ini Cia tak bisa berhenti untuk tersenyum. Bahkan saat selimut sudah menutupi tubuhnya dan lampu kamar yang padam, bibirnya terus melengkung ke atas karena bahagia. Dengan gemas dia meraih guling dan meremasnya kuat. Cia juga menahan suaranya saat ini. "Dia masih inget!" gumam Cia lagi kembali merebahkan diri. Dia menatap langit kamar dengan pandangan menerawang. Mencoba mengingat kembai ingatan manis akan makan malam yang menurutnya sangat istimewa. Cia rela menukar kebahagiaannya yang lain agar bisa mendapat kesempatan yang sama, yaitu merasakan masakan Agam yang membuatnya semakim jatuh hati. "Kayaknya usaha move-on gue gagal." *** Febi menatap panti asuhan di depannya dengan lesu. Berbeda dengan raut wajahnya yang tidak suka, Cia di sampingnya malah tersenyum senang. Jujur, Febi merasa ada yang aneh dari diri Cia. Namun sampai detik ini sahabatnya itu masih belum bercerita apa-apa. "Kering gigi lo nyengir mulu," tegur Febi sinis dan berjalan lebih dulu memasuki
Agam sudah kembali rapi dengan kemejanya. Ada sedikit rasa panas yang ia rasakan pada dada dan perutnya, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Bisa saja Agam marah karena kecerobohan Cia. Namun entah kenapa dia tidak bisa. Apalagi dengan kekonyolan gadis itu yang tiba-tiba berlari pergi. Agam mencoba untuk melupakannya. Agam memakai jasnya sambil keluar ruangan. Di luar sana, dia melihat Cia yang tengah membenturkan kepalanya pelan di atas meja. Sedikit membuat Agam bingung. Beberapa menit sudah berlalu tetapi Cia masih terlihat malu. Kenapa? "Bego banget sih, Cia!" rutuk Cia pada dirinya sendiri dan lagi-lagi membenturkan kepalanya. Agam bisa mendengar gumaman gadis itu. Ada rasa geli yang ia rasakan membuat bibirnya sedikit berkedut. Namun Agam menahannya dan mulai mendekat. "Kamu bisa gegar otak," ucap Agam sambil mengulurkan tangannya di antara kepala Cia dan meja, menahan kepala gadis itu agar tidak lagi membentur meja. Mendengar suaranya, Cia terlihat sangat terkejut