Suasana dapur terlihat mencekam saat sepasang mata menatap tajam pada pria yang tengah memasak. Ucapan kemarahan dan sumpah serapah yang keluar dari bibir gadis itu seolah tidak berarti apa-apa. Hanya masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Bahkan urat lehernya yang ikut keluar tidak berefek apapun untuk pria yang masih fokus memasak itu. Agam, dia masih membiarkan adiknya meluapkan emosi karena keputusan sepihaknya. "Nggak mau tau! Uang bulanan gue harus tetep utuh!" ucap Febi lagi. Agam masih diam, tidak berniat membalas ucapan Febi. Dia sudah menjelaskan maksud alasannya melakukan hal itu dan Agam tidak akan mengulanginya dua kali. "Kak Agam denger nggak, sih?" Febi dengan kesal menarik kaos Agam. Niat Febi yang ingin berendam air hangat sepulang kerja harus gagal karena telepon mendadak dari kakaknya. Bukan hanya telepon yang mendadak, tetapi juga keputusan yang mendadak. Keputusan yang tidak Febi sukai dan sangat merugikannya. "Lepas. Mau ketumpahan m
Malam ini Cia tak bisa berhenti untuk tersenyum. Bahkan saat selimut sudah menutupi tubuhnya dan lampu kamar yang padam, bibirnya terus melengkung ke atas karena bahagia. Dengan gemas dia meraih guling dan meremasnya kuat. Cia juga menahan suaranya saat ini. "Dia masih inget!" gumam Cia lagi kembali merebahkan diri. Dia menatap langit kamar dengan pandangan menerawang. Mencoba mengingat kembai ingatan manis akan makan malam yang menurutnya sangat istimewa. Cia rela menukar kebahagiaannya yang lain agar bisa mendapat kesempatan yang sama, yaitu merasakan masakan Agam yang membuatnya semakim jatuh hati. "Kayaknya usaha move-on gue gagal." *** Febi menatap panti asuhan di depannya dengan lesu. Berbeda dengan raut wajahnya yang tidak suka, Cia di sampingnya malah tersenyum senang. Jujur, Febi merasa ada yang aneh dari diri Cia. Namun sampai detik ini sahabatnya itu masih belum bercerita apa-apa. "Kering gigi lo nyengir mulu," tegur Febi sinis dan berjalan lebih dulu memasuki
Agam sudah kembali rapi dengan kemejanya. Ada sedikit rasa panas yang ia rasakan pada dada dan perutnya, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Bisa saja Agam marah karena kecerobohan Cia. Namun entah kenapa dia tidak bisa. Apalagi dengan kekonyolan gadis itu yang tiba-tiba berlari pergi. Agam mencoba untuk melupakannya. Agam memakai jasnya sambil keluar ruangan. Di luar sana, dia melihat Cia yang tengah membenturkan kepalanya pelan di atas meja. Sedikit membuat Agam bingung. Beberapa menit sudah berlalu tetapi Cia masih terlihat malu. Kenapa? "Bego banget sih, Cia!" rutuk Cia pada dirinya sendiri dan lagi-lagi membenturkan kepalanya. Agam bisa mendengar gumaman gadis itu. Ada rasa geli yang ia rasakan membuat bibirnya sedikit berkedut. Namun Agam menahannya dan mulai mendekat. "Kamu bisa gegar otak," ucap Agam sambil mengulurkan tangannya di antara kepala Cia dan meja, menahan kepala gadis itu agar tidak lagi membentur meja. Mendengar suaranya, Cia terlihat sangat terkejut
Di dalam lift, tidak ada percakapan yang terjadi. Kantor yang sepi membuat Cia mengutuk. Tentu saja, jam pulang kantor sudah lewat beberapa jam yang lalu. Memang ini bukan satu-dua kali Cia terjebak di dalam lift bersama Agam. Namun entah kenapa rasanya tetap tidak nyaman. Apalagi setelah apa yang terjadi tadi siang. Perasaan Cia benar-benar kacau.Setelah lift terbuka, Cia bergegas untuk keluar. "Saya duluan, Pak," ucapnya pada Agam.Cia berjalan dengan cepat. Sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dia harus cepat agar seseorang yang tengah menunggunya saat ini tidak mati kebosanan.Dari jauh, Cia bisa melihat mobil yang tak lagi asing untuknya. Mobil yang pernah menjemputnya dulu. Seorang pria keluar dari sana dan tersenyum padanya.Lihat? Leo memang ramah.Cia ikut tersenyum dan melambaikan tangannya. "Maaf, lama ya?""Enggak, kok. Aku juga baru sampe." Leo mengibaskan tangannya pelan. Setelah itu dia tersenyum pada seseorang di belakang Cia.Cia m
Terjebak di situasi yang tak menyenangkan memang menyebalkan. Febi harus rela menjadi penengah agar konflik tidak terjadi. Memang benar jika konflik tidak terjadi, tetapi kecanggungan itu sangat jelas terasa.Saat ini, baik Febi, Agam, dan Cia tengah berada di dapur untuk memasak makan malam. Entah bagaimana bisa Agam berakhir di apartemennya, Febi tidak tahu. Yang pasti pria itu sudah ada di rumahnya saat ia pulang. Lebih mengejutkannya lagi ada Cia di sana. Febi penasaran, apa yang terjadi pada dua manusia itu saat tidak ada dirinya."Hati-hati. Lo mau potong jari lo?" tegur Cia pada Febi yang tengah memotong buncis. Gadis itu masih menatap punggung Agam yang tengah memasak."Kenapa dia ke sini?" bisik Febi pada Cia."Mau ketemu lo katanya. Untung lo datengnya cepet.""Tumben."Cia mengabaikan pertanyaan Febi. Dengan cepat ia mengambil buncis itu dan mencucinya. Tidak mungkin dia berkata jika Agam sempat menanyakan hal yang cukup pribadi. Beruntung Febi datang tepat waktu sehingga C
Hari ini jadwal Cia di luar kantor hanya satu, yaitu menemani Agam melakukan pemeriksaan kesehatan rutin di rumah sakit. Entah kenapa semakin ke sini, Cia merasa jika pekerjaannya bukan lagi seputar kantor, melainkan ke ranah pribadi. Ingin membantah pun percuma karena sebelumnya memang seperti ini lah pekerjaan Dika. Cia masih sadar jika dia berada di sini untuk menggantikan peran Dika sementara. Setidaknya Agam lebih bijak untuk tidak memintanya mencuci pakaian dalam. "Saya ikut masuk, Pak?" tanya Cia saat mobil yang mereka naiki sudah terparkir di rumah sakit. "Terserah." Cia terlihat berpikir sebentar sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. Perlahan dia mengangguk pada Agam. "Saya ikut aja, Pak. Saya tunggu di kantin sekalian beresin kerjaan sebelum weekend," ucapnya mengambil laptop. Agam hanya mengangguk dan mereka pun keluar dari mobil. Saat di lorong rumah sakit, mereka pun berpisah. Tujuan Cia adalah kantin. Setidaknya dia bisa menggunakan waktu luangnya unt
Di ruang kerjanya, Agam melepas kaca mata baca yang ia kenakan setelah selesai dengan pekerjaannya. Dia melirik jam yang sudah menujukan pukul tujuh malam. Sudah seperti kebiasaan, dia sering pulang di jam ini. Masih dengan membereskan barangnya, Agam melirik ke arah pintu ruang kerjanya. Dia masih bisa melihat cahaya lampu yang menyala di luar sana. Sepertinya Cia masih ada di mejanya. Tentu saja, sekretarisnya itu tidak akan pulang sebelum ia pulang. Agam mematikan lampu dan keluar dari ruangannya. Langkahnya terhenti saat melihat Cia tengah tertidur di mejanya. Sekarang Agam paham kenapa tidak mendengar suara gadis itu sedari tadi. Ternyata Cia tertidur. Melihat barang-barangnya yang sudah rapi, sepertinya gadis itu sudah siap pulang. Sayangnya ia tidak bisa pulang lebih dulu karena dirinya. Tangan Agam mulai terulur untuk membangunkan Cia. Namun saat mendengar dengkuran halus yang keluar, Agam mengurungkan niatnya. Dia menggaruk keningnya yang tidak gatal. Bingung harus me
Mata Cia berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang ia lihat saat ini. Matanya kembali menajam mencoba meyakinkan diri jika ia memang tak salah lihat. Seketika kepalanya pening melihat total tagihan rumah sakit perawatan Dika. Dia tidak menyangka jika akan sebanyak ini. "Satu.. dua.. tiga.. empat.. Pak ini banyak banget nol-nya," bisik Cia menarik lengan kemeja Agam pelan. Pria itu tengah membayar tagihan rumah sakit saat ini. "Kamu harus ganti." Cia mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Semalam mereka sudah membicarakan masalah ini. Agam setuju untuk memberikan kasbon dengan beberapa kesepakatan. Kesepakatan yang membuat Cia mau tidak mau harus menganggukan kepala. Ingatan Cia kembali tertuju pada makan malam mereka. Bukan makan malam romantis, melainkan makan malam yang berisi dengan perdebatan dan paksaan. "Kok gitu, Pak?" Cia menatap Agam kesal. "Namanya juga kasbon, berarti kamu ambil gaji di awal." "Iya, saya tau. Tapi bukan berarti saya harus kerja sama Ba