Di dalam lift, tidak ada percakapan yang terjadi. Kantor yang sepi membuat Cia mengutuk. Tentu saja, jam pulang kantor sudah lewat beberapa jam yang lalu. Memang ini bukan satu-dua kali Cia terjebak di dalam lift bersama Agam. Namun entah kenapa rasanya tetap tidak nyaman. Apalagi setelah apa yang terjadi tadi siang. Perasaan Cia benar-benar kacau.Setelah lift terbuka, Cia bergegas untuk keluar. "Saya duluan, Pak," ucapnya pada Agam.Cia berjalan dengan cepat. Sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dia harus cepat agar seseorang yang tengah menunggunya saat ini tidak mati kebosanan.Dari jauh, Cia bisa melihat mobil yang tak lagi asing untuknya. Mobil yang pernah menjemputnya dulu. Seorang pria keluar dari sana dan tersenyum padanya.Lihat? Leo memang ramah.Cia ikut tersenyum dan melambaikan tangannya. "Maaf, lama ya?""Enggak, kok. Aku juga baru sampe." Leo mengibaskan tangannya pelan. Setelah itu dia tersenyum pada seseorang di belakang Cia.Cia m
Terjebak di situasi yang tak menyenangkan memang menyebalkan. Febi harus rela menjadi penengah agar konflik tidak terjadi. Memang benar jika konflik tidak terjadi, tetapi kecanggungan itu sangat jelas terasa.Saat ini, baik Febi, Agam, dan Cia tengah berada di dapur untuk memasak makan malam. Entah bagaimana bisa Agam berakhir di apartemennya, Febi tidak tahu. Yang pasti pria itu sudah ada di rumahnya saat ia pulang. Lebih mengejutkannya lagi ada Cia di sana. Febi penasaran, apa yang terjadi pada dua manusia itu saat tidak ada dirinya."Hati-hati. Lo mau potong jari lo?" tegur Cia pada Febi yang tengah memotong buncis. Gadis itu masih menatap punggung Agam yang tengah memasak."Kenapa dia ke sini?" bisik Febi pada Cia."Mau ketemu lo katanya. Untung lo datengnya cepet.""Tumben."Cia mengabaikan pertanyaan Febi. Dengan cepat ia mengambil buncis itu dan mencucinya. Tidak mungkin dia berkata jika Agam sempat menanyakan hal yang cukup pribadi. Beruntung Febi datang tepat waktu sehingga C
Hari ini jadwal Cia di luar kantor hanya satu, yaitu menemani Agam melakukan pemeriksaan kesehatan rutin di rumah sakit. Entah kenapa semakin ke sini, Cia merasa jika pekerjaannya bukan lagi seputar kantor, melainkan ke ranah pribadi. Ingin membantah pun percuma karena sebelumnya memang seperti ini lah pekerjaan Dika. Cia masih sadar jika dia berada di sini untuk menggantikan peran Dika sementara. Setidaknya Agam lebih bijak untuk tidak memintanya mencuci pakaian dalam. "Saya ikut masuk, Pak?" tanya Cia saat mobil yang mereka naiki sudah terparkir di rumah sakit. "Terserah." Cia terlihat berpikir sebentar sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. Perlahan dia mengangguk pada Agam. "Saya ikut aja, Pak. Saya tunggu di kantin sekalian beresin kerjaan sebelum weekend," ucapnya mengambil laptop. Agam hanya mengangguk dan mereka pun keluar dari mobil. Saat di lorong rumah sakit, mereka pun berpisah. Tujuan Cia adalah kantin. Setidaknya dia bisa menggunakan waktu luangnya unt
Di ruang kerjanya, Agam melepas kaca mata baca yang ia kenakan setelah selesai dengan pekerjaannya. Dia melirik jam yang sudah menujukan pukul tujuh malam. Sudah seperti kebiasaan, dia sering pulang di jam ini. Masih dengan membereskan barangnya, Agam melirik ke arah pintu ruang kerjanya. Dia masih bisa melihat cahaya lampu yang menyala di luar sana. Sepertinya Cia masih ada di mejanya. Tentu saja, sekretarisnya itu tidak akan pulang sebelum ia pulang. Agam mematikan lampu dan keluar dari ruangannya. Langkahnya terhenti saat melihat Cia tengah tertidur di mejanya. Sekarang Agam paham kenapa tidak mendengar suara gadis itu sedari tadi. Ternyata Cia tertidur. Melihat barang-barangnya yang sudah rapi, sepertinya gadis itu sudah siap pulang. Sayangnya ia tidak bisa pulang lebih dulu karena dirinya. Tangan Agam mulai terulur untuk membangunkan Cia. Namun saat mendengar dengkuran halus yang keluar, Agam mengurungkan niatnya. Dia menggaruk keningnya yang tidak gatal. Bingung harus me
Mata Cia berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang ia lihat saat ini. Matanya kembali menajam mencoba meyakinkan diri jika ia memang tak salah lihat. Seketika kepalanya pening melihat total tagihan rumah sakit perawatan Dika. Dia tidak menyangka jika akan sebanyak ini. "Satu.. dua.. tiga.. empat.. Pak ini banyak banget nol-nya," bisik Cia menarik lengan kemeja Agam pelan. Pria itu tengah membayar tagihan rumah sakit saat ini. "Kamu harus ganti." Cia mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Semalam mereka sudah membicarakan masalah ini. Agam setuju untuk memberikan kasbon dengan beberapa kesepakatan. Kesepakatan yang membuat Cia mau tidak mau harus menganggukan kepala. Ingatan Cia kembali tertuju pada makan malam mereka. Bukan makan malam romantis, melainkan makan malam yang berisi dengan perdebatan dan paksaan. "Kok gitu, Pak?" Cia menatap Agam kesal. "Namanya juga kasbon, berarti kamu ambil gaji di awal." "Iya, saya tau. Tapi bukan berarti saya harus kerja sama Ba
Area taman pagi ini terlihat sangat ramai dengan banyaknya orang yang tengah berolah-raga. Akhir pekan memang waktu yang tepat untuk melepas penat, menyegarkan pikiran, atau sekedar menghabiskan waktu dengan orang terkasih. Sayangnya kali ini Cia menghabiskan waktunya bersama Febi. Seharusnya itu menyenangkan karena bisa bersama dengan sahabat. Namun sayangnya kali ini Febi bertingkah menyebalkan. Sejak Cia bercerita mengenai kesepakatannya bersama Agam, Febi tidak berhenti untuk mengingatkannya. Mengingatkannya untuk tidak kembali jatuh pada pesona Agam. "Inget, kalau bukan urusan kantor, lo harus tolak," tegas Febi. "Hm." Cia hanya bisa pasrah. Dia lelah menjawab peringatan Febi yang terus berulang. "Gue serius, Cia. Sampe lo teledor lagi dan kabur, gue nggak bakal anggep lo sahabat lagi." Cia berhenti berlari dan menatap Febi tajam. Dia hanya ingin berolah-raga dengan tenang, tetapi Febi mengacaukan segalanya. Jika terus membahas Agam, bagaimana bisa Cia melupakannya de
"Kita akhiri rapat hari ini. Kalian boleh keluar," ucap Agam sambil merenggangkan dasinya. Satu-persatu dari beberapa karyawan itu mulai keluar dari ruangan rapat. Jam yang sudah memasuki waktu makan siang membuat mereka semua bergegas pergi. Kecuali dua manusia yang masih betah duduk di kursinya masing-masing itu. Siapa lagi jika bukan Febi dan Ridho. Dua manusia itu masih asik bergosip sambil menikmati makanan ringan yang tersedia di atas meja. "Belum kenyang?" sindir Agam melihat keanehan adiknya dan temannya itu. Febi dan Ridho kompak menoleh. Lagi-lagi mereka menggeleng secara bersamaan. "Kata Mama saya nggak boleh buang-buang makanan, Pak." "Betul." Febi mengangguk setuju mendengar ucapan Ridho. Agam masih menatap dua manusia konyol itu dengan datar. Berbeda dengan Dika yang sudah terkekeh sambil menutup bibirnya. Meskipun ia berteman dengan Agam, tetapi sifat mereka jauh berbeda. Bisa dibilang sifat mereka saling bertolak belakang. Namun anehnya itu yang membuat m
Hari ini Cia kembali beraktifitas. Dia tidak bisa absen terlalu lama atau nasib pekerjaannya akan dipertaruhkan. Selain itu, dia juga tidak bisa membebankan semuanya pada Dika. Pria itu belum sepenuhnya pulih dan saat mengingat begitu banyaknya pekerjaan yang dikerjaan oleh sekretaris Agam, tentu Cia tidak bisa tinggal diam. Apalagi sekarang dia memiliki hutang yang nominalnya bisa ia gunakan untuk berlibur di kapal pesiar termegah di dunia. "Saya bantu." Dika tiba-tiba datang untuk membantu Cia yang tengah menyusun map agar bisa ia bawa sekaligus. Pria itu baru saja kembali dari lantai bawah dengan membawa sebuah buket bunga di tangannya. Mawar merah, bunga yang terlihat mencolok karena warnanya yang begitu menyala. "Nggak usah, Kak. Saya bisa kok," ucap Cia melirik bunga itu penasaran. Dika mengangguk dan masuk ke ruangan Agam. Tak lama ia keluar tanpa bunga yang ia bawa tadi. Cia semakin penasaran dibuatnya. "Bunga dari siapa, Kak?" Cia tidak bisa menahan diri. "Oh, b