Hari ini Cia kembali beraktifitas. Dia tidak bisa absen terlalu lama atau nasib pekerjaannya akan dipertaruhkan. Selain itu, dia juga tidak bisa membebankan semuanya pada Dika. Pria itu belum sepenuhnya pulih dan saat mengingat begitu banyaknya pekerjaan yang dikerjaan oleh sekretaris Agam, tentu Cia tidak bisa tinggal diam. Apalagi sekarang dia memiliki hutang yang nominalnya bisa ia gunakan untuk berlibur di kapal pesiar termegah di dunia. "Saya bantu." Dika tiba-tiba datang untuk membantu Cia yang tengah menyusun map agar bisa ia bawa sekaligus. Pria itu baru saja kembali dari lantai bawah dengan membawa sebuah buket bunga di tangannya. Mawar merah, bunga yang terlihat mencolok karena warnanya yang begitu menyala. "Nggak usah, Kak. Saya bisa kok," ucap Cia melirik bunga itu penasaran. Dika mengangguk dan masuk ke ruangan Agam. Tak lama ia keluar tanpa bunga yang ia bawa tadi. Cia semakin penasaran dibuatnya. "Bunga dari siapa, Kak?" Cia tidak bisa menahan diri. "Oh, b
Cia menutup laptopnya dengan lemas. Entah kenapa selama beberapa hari ini dia tidak memiliki tenaga untuk melakukan pekerjaannya. Lebih tepatnya semua ini dimulai saat rapat bersama Pak Dandung minggu lalu. Cia juga merasa jika ada yang berbeda dari diri Agam. Sepertinya benar jika pria itu sudah menjalin hubungan dengan Nadira Santoso. Seharusnya Cia tidak boleh kecewa, tetapi perasaan itu tidak bisa ia tahan. Sekeras apapun ia berusaha, entah kenapa rasa itu semakin kuat. Dia tidak bisa melupakan Agam. Bahkan Cia bingung dengan dirinya sendiri. Hubungannya dengan Leo juga semakin dekat, tetapi tetap saja posisi Leo tidak bisa menyalip nama Agam dari daftar nama di hatinya. "Jangan melamun," tegur Dika. Cia tersadar dan tersenyum tipis. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Wajahnya yang pucat seolah menambah kesan menyedihkan dari dirinya. Jika seperti ini terus, Cia bisa jatuh sakit. Bahkan dia hanya makan jika ingat. "Kamu sakit?" tanya Dika mulai berdiri. Sekarang pria itu
Keadaan benar-benar sudah kacau. Cia yang menangis dan berusaha menyadarkan diri masih duduk dengan meringkuk, menjauh dari Pak Bonang dan Agam. Dia tidak menyangka jika hal ini akan terjadi lagi padanya. Tanpa rasa takut Pak Bonang kembali berusaha melecehkannya di tempat orang lain, bukan di sarangnya sendiri. Benar-benar orang gila. "Pak Agam," ucap Cia pelan saat Agam masih memukul Pak Bonang yang sudah tidak bisa melawan. Wajahnya benar-benar hancur dengan darah yang keluar dari luka yang terbuka. "Pak Agam!" teriakan Dika membuat keadaan semakin mencekam. Pria itu mendekat dan berusaha memisahkan Agam. Jangan sampai pria itu hilang kendali dan membunuh orang. Keadaan Dika yang belum sepenuhnya pulih membuatnya tidak bisa mengatasi Agam sendiri. Bahkan dia jatuh terjungkal karena Agam mendorongnya. "Sialan!" geram Agam kembali melayangkan pukulannya. Kali ini Pak Bonang sudah benar-benar hilang kesadaran. "Cia! Tolong, pisahin Pak Agam sekarang. Jangan sampai dia bu
Akhir pekan, Cia tidak memiliki kegiatan apapun. Dia memilih untuk bersantai di rumah sambil menonton film. Jika ada Febi, mungkin gadis itu akan menyeretnya ke salon. Namun sayangnya, sahabatnya itu harus pulang ke rumah orang tuanya karena sudah mangkir beberapa kali. Sambil memakan keripik kentangnya, Cia sesekali tertawa melihat adegan yang lucu di film. Dalam keadaan seperti ini, Cia tidak merasa kesepian. Dia sudah terbiasa hidup seperti ini. Tidak banyak orang yang ia kenal. Bahkan satu-satunya sahabat yang ia miliki hanya Febi. Cia juga merupakan anak tunggal, sendirian bukanlah hal baru untuknya. Getaran pada ponsel mulai mengganggu konsentrasi Cia. Sebelum mengambil ponselnya, dia berdoa dalam hati jika ini bukan panggilan pekerjaan yang mendadak. Karena tak jarang Agam sering melakukan hal ini, yaitu mengganggu waktu senggangnya. "Semoga bukan dia," gumamnya. Cia memejamkan sebelah matanya untuk mengintip layar ponsel. Bahkan ia juga menahan napasnya. Saat melihat
Dengan langkah tergesa, Agam keluar dari lift. Napasnya yang terengah tidak menghentikan langkahnya. Di tengah malam, dia berhenti di depan sebuah pintu apartemen dan mengetuknya cepat. Agam tidak peduli jika si penghuni rumah sudah terlelap atau belum. "Dika!" panggil Agam tak sabar. Saat akan kembali mengetuk, pintu tiba-tiba terbuka dan muncul Dika dengan wajah mengantuknya. Dika menatap Agam bingung. Apa yang membuat pria itu datang ke apartemennya di tengah malam seperti ini? Bahkan Dika sudah sempat masuk ke alam mimpi tadi. "Ada apa?" Napas Agam masih terengah. Dia menenangkan diri sejenak sampai akhirnya senyum muncul di wajahnya. Seketika wajah mengantuk Dika pun menghilang. Ada apa dengan Agam? Apa pria itu kerasukan? Senyum tanpa paksa yang Agam tunjukan adalah salah satu hal yang sulit untuk dilihat. "Lo kenapa?" Dika mulai khawatir. "Cia." Dahi Dika berkerut. "Kenapa sama Cia?" "Gue tembak dia." Kali ini kantuk Dika benar-benar menghilang. Matanya memb
Di salah satu meja kafe , terlihat tiga orang manusia tengah menatap masing-masing ponsel mereka dengan serius. Tatapan mata yang tajam serta dahi yang berkerut dalam membuat mereka tampak fokus dan berkonsentrasi penuh. Bahkan es kopi yang mereka pesan belum tersentuh sama sekali. Saat ini mereka tengah menunggu momen membahagiakan yang dirasakan setiap budak korporat di akhir bulan, yaitu gajian. "Biasanya gue nggak sesemangat ini, tapi semenjak duit jajan dipotong gue jadi panik sendiri," gumam Febi. "Gue selalu semangat, sih. Mau beliin Mama emas soalnya," balas Ridho. Hal itu membuatnya mendapat tepuk tangan kagum dari Cia dan Febi. Mereka tahu bagaimana sayangnya Ridho pada ibunya. Bagi Ridho, apa yang ia dapatkan saat ini juga karena Ridho ibunya. "Kalau gue sih pasrah aja, pasti kepotong kasbon." Cia menghela napas lelah. Namun dia tetap menunggu gajinya masuk. "Udah belum?" tanya Febi gemas. Ridho melirik jam tangannya sambil menghitung. "Tiga... dua... satu...
Kemarahan Febi kali ini sepertinya tidak main-main. Dua hari telah berlalu tetapi gadis itu masih mengabaikan Cia. Tidak sepenuhnya abai karena ada beberapa hal yang membuat Cia menggelengkan kepalanya. Febi dengan sikap konyolnya memang tak bisa dipisahkan. Seperti saat ini, mereka tengah makan malam bersama di meja makan. Anehnya, Febi menggambar batas garis di meja. Bermaksud untuk memberitahu Cia agar tidak melewati garis pembatas. Lucunya, makanan yang Febi makan adalah masakan Cia. "Masih marah?" tanya Cia mengaduk makanan dengan tidak nafsu. Febi masih menutup mulut. Dia malah membuka ponselnya dan memutar video tutorial make-up. "Feb, lo mau gini terus?" Cia mulai menarik tangan Febi yang akan menyendokan makanannya. Febi menatap Cia tajam. "Jangan sentuh gue." "Ya udah, berarti gue boleh pindah sekarang." Saat Cia akan pergi, Febi langsung menggenggam tangan Cia agar tidak melepas tangannya. "Sentuh gue aja, nggak apa-apa," ucap Febi cepat sekaligus panik.
Hari libur tidak membuat Cia terbebas dari pekerjaannya. Secara mendadak, Agam membuat jadwal untuk bermain golf. Siapa lagi jika bukan dengan Pak Dandung, tetapi kali ini bukan hanya pria itu yang datang. Namun ada satu pimpinan lain yang ikut. Cia tidak masalah dengan kehadiran mereka, toh ini semua Agam lakukan untuk menjalin hubungan baik. Hanya saja kenapa harus merusak hari liburnya? Beruntung ada Dika di sini sehingga Cia tidak merasa dikucilkan. Selain itu, dia juga butuh seseorang untuk membuatnya tetap sadar dan tidak berpikir yang tidak-tidak. Seperti saat ini, mata Cia tidak henti menatap seorang wanita yang tengah tertawa anggun. Dia mendengkus saat tangan yang sialnya terlihat mulus dan lentik itu memukul lengan Agam dengan manja. "Genit banget," gumam Cia sedikit kesal. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena wanita itu adalah Nadira Santoso. "Kenapa?" tanya Dika yang berdiri di sampingnya. "Ah, enggak kok, Kak." "Habis ini giliran kamu." Dika memberit