Di salah satu meja kafe , terlihat tiga orang manusia tengah menatap masing-masing ponsel mereka dengan serius. Tatapan mata yang tajam serta dahi yang berkerut dalam membuat mereka tampak fokus dan berkonsentrasi penuh. Bahkan es kopi yang mereka pesan belum tersentuh sama sekali. Saat ini mereka tengah menunggu momen membahagiakan yang dirasakan setiap budak korporat di akhir bulan, yaitu gajian. "Biasanya gue nggak sesemangat ini, tapi semenjak duit jajan dipotong gue jadi panik sendiri," gumam Febi. "Gue selalu semangat, sih. Mau beliin Mama emas soalnya," balas Ridho. Hal itu membuatnya mendapat tepuk tangan kagum dari Cia dan Febi. Mereka tahu bagaimana sayangnya Ridho pada ibunya. Bagi Ridho, apa yang ia dapatkan saat ini juga karena Ridho ibunya. "Kalau gue sih pasrah aja, pasti kepotong kasbon." Cia menghela napas lelah. Namun dia tetap menunggu gajinya masuk. "Udah belum?" tanya Febi gemas. Ridho melirik jam tangannya sambil menghitung. "Tiga... dua... satu...
Kemarahan Febi kali ini sepertinya tidak main-main. Dua hari telah berlalu tetapi gadis itu masih mengabaikan Cia. Tidak sepenuhnya abai karena ada beberapa hal yang membuat Cia menggelengkan kepalanya. Febi dengan sikap konyolnya memang tak bisa dipisahkan. Seperti saat ini, mereka tengah makan malam bersama di meja makan. Anehnya, Febi menggambar batas garis di meja. Bermaksud untuk memberitahu Cia agar tidak melewati garis pembatas. Lucunya, makanan yang Febi makan adalah masakan Cia. "Masih marah?" tanya Cia mengaduk makanan dengan tidak nafsu. Febi masih menutup mulut. Dia malah membuka ponselnya dan memutar video tutorial make-up. "Feb, lo mau gini terus?" Cia mulai menarik tangan Febi yang akan menyendokan makanannya. Febi menatap Cia tajam. "Jangan sentuh gue." "Ya udah, berarti gue boleh pindah sekarang." Saat Cia akan pergi, Febi langsung menggenggam tangan Cia agar tidak melepas tangannya. "Sentuh gue aja, nggak apa-apa," ucap Febi cepat sekaligus panik.
Hari libur tidak membuat Cia terbebas dari pekerjaannya. Secara mendadak, Agam membuat jadwal untuk bermain golf. Siapa lagi jika bukan dengan Pak Dandung, tetapi kali ini bukan hanya pria itu yang datang. Namun ada satu pimpinan lain yang ikut. Cia tidak masalah dengan kehadiran mereka, toh ini semua Agam lakukan untuk menjalin hubungan baik. Hanya saja kenapa harus merusak hari liburnya? Beruntung ada Dika di sini sehingga Cia tidak merasa dikucilkan. Selain itu, dia juga butuh seseorang untuk membuatnya tetap sadar dan tidak berpikir yang tidak-tidak. Seperti saat ini, mata Cia tidak henti menatap seorang wanita yang tengah tertawa anggun. Dia mendengkus saat tangan yang sialnya terlihat mulus dan lentik itu memukul lengan Agam dengan manja. "Genit banget," gumam Cia sedikit kesal. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena wanita itu adalah Nadira Santoso. "Kenapa?" tanya Dika yang berdiri di sampingnya. "Ah, enggak kok, Kak." "Habis ini giliran kamu." Dika memberit
Cia kira hari ini akan menjadi hari libur seperti biasa. Namun ternyata tidak. Setelah acara minum kopi bersama, Agam tidak langsung mengantarnya pulang. Pria itu kembali membawanya pergi setelah menurunkan Dika di depan gedung apartemen. Awalnya Cia tidak tahu dan tidak banyak bertanya. Toh selama ini Agam memang suka melakukan sesuatu sesuka hati. Sebagai sekretaris, Cia hanya menurut dan melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun sekarang Cia tahu ke mana Agam membawanya pergi. Cia menatap bangunan khas di depannya dengan tatapan tidak percaya. Dia masih tidak menyangka jika Agam membawanya ke tempat ini. Ke tempat yang menurut Cia memiliki banyak kenangan indah dan juga pahit. "Kita ke sini, Pak?" tanya Cia ragu. "Hm, sudah lama saya nggak ke sini," balasnya dan berjalan lebih dulu. Cia menatap punggung Agam dengan pias. Apa pria itu sadar dengan apa yang ia lakukan? Kenapa membawanya ke tempat ini? Demi Tuhan, Cia tidak pernah berpikir untuk kembali ke panti asuhan. T
Hari ini benar-benar menjadi hari yang tak terduga bagi Cia. Dia masih ingat betapa asingnya Agam terhadap dirinya kemarin, tetapi lihat sekarang. Pria itu menjadi aneh karena berusaha untuk menghabiskan waktu bersamanya. Salahkah Cia berpikir seperti itu di saat Agam lagi-lagi menahannya untuk tidak pergi? Setelah dari supermarket, Cia pikir Agam akan benar-benar mengantarnya pulang. Namun ternyata tidak, pria itu membawanya ke apartemennya. Benar, kali ini Agam memintanya masuk tanpa membicarakan pekerjaan. Cukup membuat Cia merasa aneh, tetapi setelah apa yang telah terjadi akhir-akhir ini dia mulai memaklumi. Namun tetap, ada rasa tidak percaya yang ia rasakan tentang perubahan Agam. Jika pria itu menyukainya? Kenapa dia masih bersikap dingin? Namun jika ia tidak menyukainya? Kenapa menawarkan sebuah komitmen yang penting? "Kamu bisa mandi kalau mau," ucap Agam sambil membalik daging yang ia panggang. Cia yang sedari tadi duduk di meja makan mulai menegakkan punggungnya.
Cia menatap koper yang ia bawa dengan pias. Melihat penampilan Agam yang santai membuat kepercayaan diri Cia menurun. Bagaimana bisa dia lebih heboh dari pada bosnya sendiri? Mereka hanya ke Surabaya selama dua hari satu malam. Seketika Cia merasa bodoh karena memilih untuk membawa koper. "Kayaknya saya salah kostum," gumam Cia melihat penampilannya sendiri. Saat ini dia tengah memakai pakaian kerja formal lengkap dengan blazernya. Sedangkan Agam hanya menggunakan kaos berkerah dan celana panjang. Tidak terlihat seperti akan melakukan dinas kerja, melainkan seperti akan berangkat berlibur. Agam melihat penampilan Cia dari atas ke bawah lalu kembali ke atas dan berakhir menatap mata Cia. "Sudah sarapan?" tanya Agam memasukan tangan kirinya ke dalam saku celana. "Buset, ganteng banget punya gue!" teriak Cia dalam hati. "Belum, Pak. Saya agak kesiangan tadi." Ini semua karena Cia sibuk menyiapkan barang-barangnya hingga larut malam. Dia tidak mau melakukan kesalahan di dina
Febi tak bisa menahan tangisnya lagi. Dia menggenggam erat koper Cia dengan sepenuh tenaga. Seolah tak ingin membiarkan Cia pergi dari hadapannya. Febi tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Jika ada hari terburuk, mungkin ia akan memasukkan hari ini ke dalam daftarnya. Mimpu buruk Febi menjadi kenyataan. Hari ini adalah tepat hari di mana Cia akan pindah dari apartemennya. Sahabatnya itu sudah mendapatkan tempat yang sesuai. Sayangnya senyaman apapun rumah baru Cia, bagi Febi rumahnya adalah tempat ternyaman dan teraman. Anggap saja dia berlebihan, Febi tidak peduli. Dia memang tidak ingin kehilangan Cia. Setidaknya tidak untuk yang kedua kalinya. "Jangan nangis, dong. Gue cuma pindah rumah, elah." Cia berdecak. Jika melihat Febi seperti ini, akan sulit baginya untuk pergi. Dia juga merasa tidak tega. "Jangan lupain gue." Suara Febi pun sudah serak. "Gimana mau lupa, tiap hari kita ketemu di kantor." "Jangan cari temen baru." Cia terkekeh mendengar itu. "Lo temenan sa
Minggu ini menjadi minggu yang melelahkan serta menyenangkan. Melelahkan karena begitu banyak pekerjaan yang Cia lakukan serta menyenangkan karena meskipun lelah, dia bisa melihat wajah kekasihnya setiap saat. Ah, kasmaran memang menggelikan. Kekasih. Cia tidak menyangka jika menyebut Agam sebagai kekasihnya. Dia tidak akan menolak atau berusaha menyangkal perasaannya lagi. Begitu Agam menawarkan sebuah hubungan yang ia impikan, niat Cia untuk melupakan pria itu langsung goyah. Yang ada di kepalanya justru ia harus menerima Agam dengan tangan terbuka. Tidak peduli jika Agam benar mencintainya atau tidak. Cia benar-benar sudah buta. Namun jika dilihat dari bagaimana Agam bersikap, pria itu sedikit berbeda saat status baru mulai mereka patenkan. Agam memang cuek, tak acuh, dan selalu tak peduli pada semua hal yang tak berhubungan dengannya. Namun saat mereka menjalin hubungan, Cia bisa melihat Agam sedikit melawan sifat buruknya itu. Meskipun kadang masih membuat Cia kesal karen