Cia kira hari ini akan menjadi hari libur seperti biasa. Namun ternyata tidak. Setelah acara minum kopi bersama, Agam tidak langsung mengantarnya pulang. Pria itu kembali membawanya pergi setelah menurunkan Dika di depan gedung apartemen. Awalnya Cia tidak tahu dan tidak banyak bertanya. Toh selama ini Agam memang suka melakukan sesuatu sesuka hati. Sebagai sekretaris, Cia hanya menurut dan melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun sekarang Cia tahu ke mana Agam membawanya pergi. Cia menatap bangunan khas di depannya dengan tatapan tidak percaya. Dia masih tidak menyangka jika Agam membawanya ke tempat ini. Ke tempat yang menurut Cia memiliki banyak kenangan indah dan juga pahit. "Kita ke sini, Pak?" tanya Cia ragu. "Hm, sudah lama saya nggak ke sini," balasnya dan berjalan lebih dulu. Cia menatap punggung Agam dengan pias. Apa pria itu sadar dengan apa yang ia lakukan? Kenapa membawanya ke tempat ini? Demi Tuhan, Cia tidak pernah berpikir untuk kembali ke panti asuhan. T
Hari ini benar-benar menjadi hari yang tak terduga bagi Cia. Dia masih ingat betapa asingnya Agam terhadap dirinya kemarin, tetapi lihat sekarang. Pria itu menjadi aneh karena berusaha untuk menghabiskan waktu bersamanya. Salahkah Cia berpikir seperti itu di saat Agam lagi-lagi menahannya untuk tidak pergi? Setelah dari supermarket, Cia pikir Agam akan benar-benar mengantarnya pulang. Namun ternyata tidak, pria itu membawanya ke apartemennya. Benar, kali ini Agam memintanya masuk tanpa membicarakan pekerjaan. Cukup membuat Cia merasa aneh, tetapi setelah apa yang telah terjadi akhir-akhir ini dia mulai memaklumi. Namun tetap, ada rasa tidak percaya yang ia rasakan tentang perubahan Agam. Jika pria itu menyukainya? Kenapa dia masih bersikap dingin? Namun jika ia tidak menyukainya? Kenapa menawarkan sebuah komitmen yang penting? "Kamu bisa mandi kalau mau," ucap Agam sambil membalik daging yang ia panggang. Cia yang sedari tadi duduk di meja makan mulai menegakkan punggungnya.
Cia menatap koper yang ia bawa dengan pias. Melihat penampilan Agam yang santai membuat kepercayaan diri Cia menurun. Bagaimana bisa dia lebih heboh dari pada bosnya sendiri? Mereka hanya ke Surabaya selama dua hari satu malam. Seketika Cia merasa bodoh karena memilih untuk membawa koper. "Kayaknya saya salah kostum," gumam Cia melihat penampilannya sendiri. Saat ini dia tengah memakai pakaian kerja formal lengkap dengan blazernya. Sedangkan Agam hanya menggunakan kaos berkerah dan celana panjang. Tidak terlihat seperti akan melakukan dinas kerja, melainkan seperti akan berangkat berlibur. Agam melihat penampilan Cia dari atas ke bawah lalu kembali ke atas dan berakhir menatap mata Cia. "Sudah sarapan?" tanya Agam memasukan tangan kirinya ke dalam saku celana. "Buset, ganteng banget punya gue!" teriak Cia dalam hati. "Belum, Pak. Saya agak kesiangan tadi." Ini semua karena Cia sibuk menyiapkan barang-barangnya hingga larut malam. Dia tidak mau melakukan kesalahan di dina
Febi tak bisa menahan tangisnya lagi. Dia menggenggam erat koper Cia dengan sepenuh tenaga. Seolah tak ingin membiarkan Cia pergi dari hadapannya. Febi tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Jika ada hari terburuk, mungkin ia akan memasukkan hari ini ke dalam daftarnya. Mimpu buruk Febi menjadi kenyataan. Hari ini adalah tepat hari di mana Cia akan pindah dari apartemennya. Sahabatnya itu sudah mendapatkan tempat yang sesuai. Sayangnya senyaman apapun rumah baru Cia, bagi Febi rumahnya adalah tempat ternyaman dan teraman. Anggap saja dia berlebihan, Febi tidak peduli. Dia memang tidak ingin kehilangan Cia. Setidaknya tidak untuk yang kedua kalinya. "Jangan nangis, dong. Gue cuma pindah rumah, elah." Cia berdecak. Jika melihat Febi seperti ini, akan sulit baginya untuk pergi. Dia juga merasa tidak tega. "Jangan lupain gue." Suara Febi pun sudah serak. "Gimana mau lupa, tiap hari kita ketemu di kantor." "Jangan cari temen baru." Cia terkekeh mendengar itu. "Lo temenan sa
Minggu ini menjadi minggu yang melelahkan serta menyenangkan. Melelahkan karena begitu banyak pekerjaan yang Cia lakukan serta menyenangkan karena meskipun lelah, dia bisa melihat wajah kekasihnya setiap saat. Ah, kasmaran memang menggelikan. Kekasih. Cia tidak menyangka jika menyebut Agam sebagai kekasihnya. Dia tidak akan menolak atau berusaha menyangkal perasaannya lagi. Begitu Agam menawarkan sebuah hubungan yang ia impikan, niat Cia untuk melupakan pria itu langsung goyah. Yang ada di kepalanya justru ia harus menerima Agam dengan tangan terbuka. Tidak peduli jika Agam benar mencintainya atau tidak. Cia benar-benar sudah buta. Namun jika dilihat dari bagaimana Agam bersikap, pria itu sedikit berbeda saat status baru mulai mereka patenkan. Agam memang cuek, tak acuh, dan selalu tak peduli pada semua hal yang tak berhubungan dengannya. Namun saat mereka menjalin hubungan, Cia bisa melihat Agam sedikit melawan sifat buruknya itu. Meskipun kadang masih membuat Cia kesal karen
Cahaya matahari yang menyilaukan mata mulai membangunkan Cia. Dia mengerang sambil merenggangkan tubuhnya. Perlahan, matanya terbuka dan pemandangan gedung-gedung tinggi langsung tersaji di hadapannya. Dinding kaca yang ternyata tidak tertutup tirai dari semalam memperlihatkan embun pagi yang segar. Perlahan senyum tipis mulai muncul di wajah Cia. Dia menunduk untuk melihat sesuatu. Seketika senyumnya semakin merekah saat melihat lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Dengan hati-hati, Cia mengangkat lengan itu dan berbalik. Pemandangan yang jauh lebih indah langsung bisa ia lihat. Bagi Cia, tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat wajah kekasihnya. Tangan Cia terulur untuk menyentuh hidung Agam. Hidung mancung dengan tulang yang tinggi itu terlihat sangat sempurna. Tangannya bergerak untuk menyentuh mata Agam, menikmati halus bulu mata lentik di tangannya. Setelah itu tangan Cia mulai turun ke bibir Agam. Bibir penuh berwarna merah itu terlihat sangat sehat. Pria
Rintik hujan yang mulai membasahi bumi tidak membuat seorang gadis berseragam SMA itu masuk ke dalam rumah. Dia masih betah berdiri di balkon kamar sambil menikmati pemandangan sejuk di hadapannya. Matanya terpejam dan mulai menarik napas dalam. Setelahnya, gadis itu tersenyum karena mencium aroma khas hujan yang menenangkan. "Lo nggak dingin?" tanya Febi ikut keluar dari kamar. Cia membuka matanya dan menggeleng. "Lagi nikmatin hujan." "Dih, galau lo?" Cia terkekeh dan menggeleng. Bagaimana dia bisa sedih jika apa yang ada di depannya saat ini sangatlah indah? Hujan? Itu hanya pelengkap. Pemandangan indah yang Cia maksud sedari tadi adalah Agam Mahawira. Dari balkon kamar Febi, Cia bisa melihat Agam yang duduk santai di gazebo taman belakang sambil membaca buku. Terlihat sangat tenang, tetapi mampu membuat jantung Cia berdebar tidak karuan. "Lo aneh, kayak kakak gue," gumam Febi. "Kak Agam?" Febi mengangguk dan ikut bersandar pada pagar. "Liat, dia suka banget liat
Makan siang kali ini, Cia terbebas dari pekerjaan. Agam memilih makan bersama Dika untuk menemui teman semasa kuliah mereka. Cia yang tahu jika itu bukan tentang pekerjaan akhirnya memilih untuk bersama Febi. Sudah cukup lama mereka tidak makan siang bersama. Bukan hanya Febi, tapi ada Ridho. Sepertinya pria berkaca-mata itu memang tidak memiliki teman selain Febi. Atau memang hanya Febi yang bisa menerima keanehan Ridho? "Makanan datang!" Ridho berlari kecil sambil membawa dua kantong makanan di tangannya. Kali ini mereka memilih untuk makan di kantor karena cuaca yang begitu panas. Meja Cia menjadi pilihan karena tidak ada banyak ornag di lantai ini. Setidaknya mereka bisa bebas berhaha-hihi ria. "Ini bukannya makanan dari restoran mahal itu?" tanya Cia membaca tulisan di kotak makanan mereka. "Iya, nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ucap Ridho. "Serius?" Mata Cia mulai berbinar. "Halah, sok banget bilang traktir. Yang kirim nyokap lo, kan?" cibir Febi. Ridho te
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat