Makan siang kali ini, Cia terbebas dari pekerjaan. Agam memilih makan bersama Dika untuk menemui teman semasa kuliah mereka. Cia yang tahu jika itu bukan tentang pekerjaan akhirnya memilih untuk bersama Febi. Sudah cukup lama mereka tidak makan siang bersama. Bukan hanya Febi, tapi ada Ridho. Sepertinya pria berkaca-mata itu memang tidak memiliki teman selain Febi. Atau memang hanya Febi yang bisa menerima keanehan Ridho? "Makanan datang!" Ridho berlari kecil sambil membawa dua kantong makanan di tangannya. Kali ini mereka memilih untuk makan di kantor karena cuaca yang begitu panas. Meja Cia menjadi pilihan karena tidak ada banyak ornag di lantai ini. Setidaknya mereka bisa bebas berhaha-hihi ria. "Ini bukannya makanan dari restoran mahal itu?" tanya Cia membaca tulisan di kotak makanan mereka. "Iya, nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ucap Ridho. "Serius?" Mata Cia mulai berbinar. "Halah, sok banget bilang traktir. Yang kirim nyokap lo, kan?" cibir Febi. Ridho te
Suasana pantry saat ini benar-benar canggung. Cia menggigit bibirnya resah sambil menatap punggung Ridho. Pria itu tengah mengaduk kopinya dengan gerakan yang benar-benar pelan, membuat Cia gemas dibuatnya. Di dalam otaknya saat ini banyak berlarian pikiran buruk. Bagaimana bisa dia teledor dan tertangkap basah oleh Ridho? Cia melirik Agam yang tengah duduk dengan tenang. Dia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan saat ini, yang pasti jika dilihat dari luar sepertinya hanya dirinya sendiri yang panik. Bahkan Agam seperti tidak berniat membantah isi pikiran Ridho. "Saya permisi." Ridho menunduk sebentar pada Agam sebelum beranjak keluar pantry. Sebelum benar-benar pergi, dengan cepat Cia mencegahnya. Gadis itu berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangannya lebar. Dia menatap Ridho dengan tatapan memohonnya. "Duduk dulu." Ridho ingin menolak, tetapi saat melihat Agam yang juga menatapnya membuat nyali Ridho menciut. Dia meletakkan kopinya di meja dan ikut menarik
Cia menghela napas lega ketika selesai membersihkan rumahnya. Dia melihat keadaan kamarnya dengan senyum merekah. Benar-benar bersih dan rapi. Kesibukannya dalam bekerja sering kali membuatnya mengabaikan kerapian. Namun di hari minggu ini ia beruntung karena Agam tidak mengganggunya. Namun jika pria itu mengganggunya maka Cia juga akan dengan senang hati menerimanya. Ah, cinta memang bisa merubah segalanya. Tubuh yang sudah lengket tidak membuat Cia bergegas membersihkan diri. Dia kembali ke dapur dan melihat satu kantong plastik berisi jahe. Seperti sudah menjadi kegiatan rutin, akhir-akhir ini Cia selalu membuat teh jahe. Untuk siapa lagi jika bukan Ridho. Anak berbakti itu benar-benar memikirkan kesehatan ibunya. Selagi mengeringkan tubuhnya, Cia memilih untuk mengupas jahe-jahe itu. Saat melihat jahe, entah kenapa Cia langsung teringat dengan ibunya. Bagaimana kabar wanita itu di desa? Apa ia hidup sehat bersama neneknya? Ingatkan Cia untuk menghubungi ibunya nanti saat p
Patah hati memang hal yang menyebalkan. Patah hati bisa menimbulkan efek yang tidak mengenakan untuk setiap orang. Seperti yang Cia rasakan saat ini. Dia pikir hari Senin akan menjadi hari yang menyenangkan karena bisa kembali bertemu dengan kekasihnya. Namun sayangnya karena ia melihat kejadian kemarin sore, membuat rasa semangat Cia menguap. Bak seperti orang sakit, dia tidak memiliki gairah dalam menjalani harinya. Dia kembali menjadi Cia yang dulu berhati keras. Bahkan jika bisa, dia ingin mengasingkan diri dan tak melihat Agam untuk hari ini. Sayangnya sebagai seorang karyawan yang memiliki tanggung jawab, Cia tidak bisa melakukannya. Bisa saja Cia langsung meminta kejelasan mengenai apa yang ia lihat kemarin pada Agam. Sayangnya dia tidak melakukannya. Lebih tepatnya tidak mau. Cia hanya takut mendapat jawaban yang akan semakin melukai hatinya. Sebisa mungkin dia meyakinkan diri untuk lebih sadar diri saat ini. Dering telepon kantor berbunyi. Dengan cepat Cia mengangkatn
Saat ini, punggung Cia terasa sangat panas. Seperti ada laser yang bergerak cepat menembusnya. Dia berbalik dan langsung menahan napas. Pantas saja dia merasa tidak enak sedari tadi. Ternyata Agam berdiri tepat di belakangnya, bersandar pada meja dapur tanpa suara. Menatapnya lekat tanpa melakukan apapun. Bahkan sinar laser sepertinya akan kalah dengan tatapan tajam pria itu. Cia mendekat dan meletakkan kopi instan buatannya di samping Agam. "Jadi, saya harus cari restoran baru atau gimana, Pak?" tanya Cia mencoba untuk profesional. Bukankah memang ini tujuan Agam menemuinya? "Nggak perlu." "Terus?" Cia menggaruk pelipisnya bingung. Mulai merasa tidak nyaman. "Ada yang lebih penting dari itu." Agam mulai mendekat. Dengan cepat Cia mengalihkan pandangannya dan berbalu menuju sofa ruang tengah. Dia memilih untuk duduk di sana tanpa menatap Agam. Dia tidak boleh luluh kali ini. Cia memang keras kepala. Jika tidak keras kepala tidak mungkin dia masih mencintai Agam sampai
Jalanan yang ramai membuat Febi berdecak lelah. Punggungnya yang sudah kaku ingin segera bersandar pada empuknya kasur. Namun sepertinya keinginannya kali ini harus membutuhkan sedikit kesabaran. Jam pulang kantor memang membuat jalanan padat, apalagi Febi juga pengguna mobil. Semakin terasa sudah letihnya di jalan. Ketika akan berbelok, Febi merasakan sesuatu yang tidak beres pada mobilnya. Dahinya berkerut saat rasa panik mulai menyerangnya. Akhirnya Febi memilih untuk menepi ketika jalanan cukup lenggang. Dengan cepat dia keluar dari mobil untuk melihat kondisi ban mobilnya. Seperti dugaannya, ban mobil bagian depan sebelah kiri sudah benar-benar kempes. Febi yakin jika bannya mengalami kebocoran. "Hari ini apes banget, dah!" gerutu Febi. Hari ini benar-benar menjadi hari yang melelahkan untuknya. Selain karena efek menstruasi, kewarasannya juga diuji oleh teguran dari atasannya di kantor tadi. Bukan main galaknya membuat Febi ingin menangis rasanya. Tidak peduli jika ia an
Di Jumat malam, kegiatan wanita yang sudah Febi rencanakan tidak terlaksana dengan baik. Jadwal yang sudah ia susun rapi sejak satu minggu yang lalu gagal karena dirinya sendiri. Padahal bayangan akan pijatan di kepala serta punggungnya saat spa masih membayangi pikirannya. Sayangnya, kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan untuk saat ini. Cia meletakkan mangkok yang berisi sayur sop buatannya dengan lemas. Dia menarik napas dalam mencoba sabar dengan tingkah Febi yang membuatnya gila. Dia sudah kehabisan kata-kata untuk membujuk Febi. Namun Cia juga tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu. Dia tidak mau Febi mati konyol di apartemen hanya karena tak mau makan dan tak dirawat dengan baik oleh sahabatnya saat sedang sakit. Cia bergidik ngeri memikirkan hal itu. "Dikit aja ya, Feb." "Nggak mau! Mulut gue pait!" Cia memijat kepalanya lelah. Cara apa lagi yang harus ia lakukan agar Febi mau mengisi perutnya? Seharusnya mereka bersenang-senang malam ini, tetapi kenyataan pahit m
Selama perjalanan menuju Bandung, Cia tidak bisa berhenti untuk berpikir. Dari raut wajahnya, dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Dia merasa jika hanya dirinya satu-satunya orang bodoh di sini. Lagi-lagi Cia melirik Agam yang tengah menyetir untuk yang kesekian kalinya. Saat kalimat yang ingin ia tanyakan sudah berada di ujung bibir, Cia menggeleng dan kembali menelannya. Dia memilih untuk mencari jawaban di kepalanya sendiri. “Kenapa?" tanya Agam tanpa melihatnya. Sepertinya pria itu sadar dengan keresahan Cia sedari tadi. "Jadi alasan Kak Agam ketemu sama Mbak Nadira kemarin itu buat ini?" Cia tidak akan menahannya lagi. Agam sudah melarangnya untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Agam melirik sebentar lalu mengangguk. Hanya itu jawaban yang ia berikan, tetapi berhasil membuat Cia berdecak kesal. "Kenapa nggak bilang, sih?" "Aku tau kamu nggak nyaman sama Nadira, jadi aku suruh Dika yang urus semuanya." Cia menggigit bibirnya gelisah. Seketika dia meras
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat