Patah hati memang hal yang menyebalkan. Patah hati bisa menimbulkan efek yang tidak mengenakan untuk setiap orang. Seperti yang Cia rasakan saat ini. Dia pikir hari Senin akan menjadi hari yang menyenangkan karena bisa kembali bertemu dengan kekasihnya. Namun sayangnya karena ia melihat kejadian kemarin sore, membuat rasa semangat Cia menguap. Bak seperti orang sakit, dia tidak memiliki gairah dalam menjalani harinya. Dia kembali menjadi Cia yang dulu berhati keras. Bahkan jika bisa, dia ingin mengasingkan diri dan tak melihat Agam untuk hari ini. Sayangnya sebagai seorang karyawan yang memiliki tanggung jawab, Cia tidak bisa melakukannya. Bisa saja Cia langsung meminta kejelasan mengenai apa yang ia lihat kemarin pada Agam. Sayangnya dia tidak melakukannya. Lebih tepatnya tidak mau. Cia hanya takut mendapat jawaban yang akan semakin melukai hatinya. Sebisa mungkin dia meyakinkan diri untuk lebih sadar diri saat ini. Dering telepon kantor berbunyi. Dengan cepat Cia mengangkatn
Saat ini, punggung Cia terasa sangat panas. Seperti ada laser yang bergerak cepat menembusnya. Dia berbalik dan langsung menahan napas. Pantas saja dia merasa tidak enak sedari tadi. Ternyata Agam berdiri tepat di belakangnya, bersandar pada meja dapur tanpa suara. Menatapnya lekat tanpa melakukan apapun. Bahkan sinar laser sepertinya akan kalah dengan tatapan tajam pria itu. Cia mendekat dan meletakkan kopi instan buatannya di samping Agam. "Jadi, saya harus cari restoran baru atau gimana, Pak?" tanya Cia mencoba untuk profesional. Bukankah memang ini tujuan Agam menemuinya? "Nggak perlu." "Terus?" Cia menggaruk pelipisnya bingung. Mulai merasa tidak nyaman. "Ada yang lebih penting dari itu." Agam mulai mendekat. Dengan cepat Cia mengalihkan pandangannya dan berbalu menuju sofa ruang tengah. Dia memilih untuk duduk di sana tanpa menatap Agam. Dia tidak boleh luluh kali ini. Cia memang keras kepala. Jika tidak keras kepala tidak mungkin dia masih mencintai Agam sampai
Jalanan yang ramai membuat Febi berdecak lelah. Punggungnya yang sudah kaku ingin segera bersandar pada empuknya kasur. Namun sepertinya keinginannya kali ini harus membutuhkan sedikit kesabaran. Jam pulang kantor memang membuat jalanan padat, apalagi Febi juga pengguna mobil. Semakin terasa sudah letihnya di jalan. Ketika akan berbelok, Febi merasakan sesuatu yang tidak beres pada mobilnya. Dahinya berkerut saat rasa panik mulai menyerangnya. Akhirnya Febi memilih untuk menepi ketika jalanan cukup lenggang. Dengan cepat dia keluar dari mobil untuk melihat kondisi ban mobilnya. Seperti dugaannya, ban mobil bagian depan sebelah kiri sudah benar-benar kempes. Febi yakin jika bannya mengalami kebocoran. "Hari ini apes banget, dah!" gerutu Febi. Hari ini benar-benar menjadi hari yang melelahkan untuknya. Selain karena efek menstruasi, kewarasannya juga diuji oleh teguran dari atasannya di kantor tadi. Bukan main galaknya membuat Febi ingin menangis rasanya. Tidak peduli jika ia an
Di Jumat malam, kegiatan wanita yang sudah Febi rencanakan tidak terlaksana dengan baik. Jadwal yang sudah ia susun rapi sejak satu minggu yang lalu gagal karena dirinya sendiri. Padahal bayangan akan pijatan di kepala serta punggungnya saat spa masih membayangi pikirannya. Sayangnya, kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan untuk saat ini. Cia meletakkan mangkok yang berisi sayur sop buatannya dengan lemas. Dia menarik napas dalam mencoba sabar dengan tingkah Febi yang membuatnya gila. Dia sudah kehabisan kata-kata untuk membujuk Febi. Namun Cia juga tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu. Dia tidak mau Febi mati konyol di apartemen hanya karena tak mau makan dan tak dirawat dengan baik oleh sahabatnya saat sedang sakit. Cia bergidik ngeri memikirkan hal itu. "Dikit aja ya, Feb." "Nggak mau! Mulut gue pait!" Cia memijat kepalanya lelah. Cara apa lagi yang harus ia lakukan agar Febi mau mengisi perutnya? Seharusnya mereka bersenang-senang malam ini, tetapi kenyataan pahit m
Selama perjalanan menuju Bandung, Cia tidak bisa berhenti untuk berpikir. Dari raut wajahnya, dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Dia merasa jika hanya dirinya satu-satunya orang bodoh di sini. Lagi-lagi Cia melirik Agam yang tengah menyetir untuk yang kesekian kalinya. Saat kalimat yang ingin ia tanyakan sudah berada di ujung bibir, Cia menggeleng dan kembali menelannya. Dia memilih untuk mencari jawaban di kepalanya sendiri. “Kenapa?" tanya Agam tanpa melihatnya. Sepertinya pria itu sadar dengan keresahan Cia sedari tadi. "Jadi alasan Kak Agam ketemu sama Mbak Nadira kemarin itu buat ini?" Cia tidak akan menahannya lagi. Agam sudah melarangnya untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Agam melirik sebentar lalu mengangguk. Hanya itu jawaban yang ia berikan, tetapi berhasil membuat Cia berdecak kesal. "Kenapa nggak bilang, sih?" "Aku tau kamu nggak nyaman sama Nadira, jadi aku suruh Dika yang urus semuanya." Cia menggigit bibirnya gelisah. Seketika dia meras
Hari yang tak disangka-sangka telah tiba. Ini yang Cia takutkan sejak dulu, yaitu kemarahan Febi. Dia tidak menyangka jika gadis itu akan menangkap basah dirinya malam ini. Beruntung Febi tidak melihat hal yang lebih parah dari sekedar pelukan. Harusnya Cia dan Agam bisa lebih berhati-hati. Saat ini keadaan benar-benar terasa mencekam. Di bangku pinggir danau ini, Febi memisahkan Cia dan Agam dengan jarak yang sangat lebar. Cia duduk di sisi sebelah kanan dan Agam duduk di sisi sebelah kiri. Di depan mereka ada Febi yang berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya begitu tajam seolah bisa membunuh Cia dan Agam saat ini juga. "Jelasim semuanya!" ujar Febi tegas. "Febi, kamu tena—" "Kak Dika, diem!" Dika langsung menutup mulutnya rapat. Dia mundur selangkah dengan teratur. Matanya tertuju pada Agam dengan tangan terangkat. Bermaksud mengatakan jika ia tidak bisa banyak membantu saat ini. "Jelasin, Cia!" Kali ini Febi merengek sambil menghentakkan kakinya. Ci
Cia menatap rumah besar di hadapannya dengan perasaan campur aduk, antara senang dan sedih. Entah sudah berapa tahun dia tidak mengunjungi rumah itu. Meskipun begitu, Cia tidak merasa asing. Di tempat ini lah terdapat kenangan masa lalu yang membuatnya teringat kembali. Ingatan akan kebahagiaan dan juga rasa trauma. "Ayo, masuk." Cia tersadar dan menarik napas dalam. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Cia tahu tidak seharusnya dia terus teringat dengan masa lalu. Toh hidupnya sudah bahagia sekarang. Namun kenangan pahit itu seolah tidak bisa hilang. Cia takut jika kesenangan yang ia rasakan ini hanyalah mimpi dan dia kembali terbangun di mimpi buruknya. "Duh, lama!" Febi menarik Cia cepat untuk masuk ke dalam rumahnya. Malam ini, secara mendadak Tante Nana mengundang Cia untuk makan malam. Awalnya Cia pikir Febi memberitahu orang tuanya tentang hubungannya dengan Agam. Namun ternyata tidak. Sahabatnya itu tidak memberi tahu siapa pun sesuai dengan perintah Cia. Artinya ma
Ramainya warung makan tidak menghentikan Cia untuk terus maju. Dia harus lincah jika tidak mau kembali terdorong mundur. Jangan anggap remeh tubuhnya yang kecil. Di dalam sana terdapat banyak tenaga dan mental yang kuat. "Saya mau telur balado, tumis sayur, sama ayam kecap, Buk." Cia menunjuk etalase makanan seperti layar tablet. Setelah makanannya siap, Cia membawanya ke meja di mana Febi dan Ridho berada. Mereka sudah memulai makan siang terlebih dahulu. "Pelan-pelan," tegur Cia saat Febi makan dengan lahap. "Gue harus siapin banyak tenaga sebelum disemprot Bu Linda lagi." Cia menatap Ridho bingung meminta penjelasan. "Biasa, salah input data," bisik Ridho. Cia mengangguk mengerti. Dia memahami posisi Febi. Dia juga pernah mengalami kesalahan dalam bekerja dan ditegur habis-habisan. Namun apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Mengangguk dan menurut tanpa membantah adalah pilihan terbaik. "Feb, lo udah masukin anak baru tadi ke grup chat belum?" tanya Ridho. "Jihan