Malam minggu adalah malam yang dinantikan oleh banyak orang. Manusia dari berbagai usia dan golongan memilih malam ini sebagai hari yang tepat untuk melepas penat. Meskipun jalanan ramai, tetapi tak menghentikan banyak orang untuk bersenang-senang. Sayangnya, kesenangan malam minggu tidak dirasakan oleh Febi. Dia seperti terjebak di lautan pasangan yang membuatnya iri. Saat ini, ia tengah duduk sendirian menunggu sate pesanannya siap. Di sekelilingnya banyak pasangan yang menikmati hidangan sate berdua. Lagi-lagi Febi mencibir penuh rasa dengki. Di dalam hati ia menyadari betapa menyedihkannya dirinya saat ini. "Tau gini gue pesen online. Cia sialan!" gerutunya. Jika tahu acara belanja dan jalan-jalan kemarin lusa adalah bentuk suap Cia agar rencana akhir pekan mereka gagal, tentu Febi akan menolak. Lihat sekarang, dia terlihat menyedihkan di tengah para pasangan yang tengah di mabuk asmara. "Mbak, ini satenya." Febi menghela napas lega saat pesanannya sudah jadi. "Berapa, Pak?"
Agam menatap wanita di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Terpaksa dia mengurungkan acara mandinya agar bisa mengetahui apa tujuan wanita paruh baya itu datang ke apartemennya. Tak salah jika Agam curiga, ibunya jarang sekali berkunjung ke apartemennya. Namun tidak ada angin dan hujan, di pagi hari yang cerah ini ibunya tiba-tiba datang tanpa kabar. Seperti sidak dadakan. "Mama ngapain?" tanya Agam saat melihat ibunya tengah mengawasi keadaan apartemennya dengan teliti. Bahkan wanita itu juga mengecek debu di rak buku. "Kok bersih? Kamu tau ya kalau Mama mau dateng?" Agam menggelengkan kepalanya pasrah dan berlalu ke kamarnya. Dia akan mandi sebelum terlambat berangkat ke kantor. Dia akan membiarkan ibunya melakukan apa pun yang ia suka. Toh, Agam tidak menyembunyikan apa pun. Tak butuh waktu lama untuk Agam siap dengan pakaian rapinya. Dia keluar kamar dan mencium aroma sedap dari dapur. Sambil memasang jam tangannya, Agam duduk di meja makan, menunggu ibunya menyiapka
Dengan mendorong trolinya, Cia berjalan pelan mengitari rak-rak besar di sekelilingnya. Tubuh yang lelah tidak menghentikannya untuk membeli kebutuhan asupan gizinya. Keadaan dapurnya yang sudah sepi akan bahan makanan membuatnya gelisah. Makanan adalah salah satu hal yang tak bisa dipisahkan darinya. Satu hal lainnya adalah Agam. "Gue udah selesai." Febi datang dengan troli yang penuh dengan makanan ringan. Cia menghela napas melihat apa saja yang Febi beli. "Mana sayur sama buahnya?" "Kan lo udah beli." Febi tersenyum lebar. Cia menggelengkan kepalanya dan kembali mengambil beberapa sayur dan buah lagi. Sudah menjadi rahasia umum jika Febi hampir menguasai semua isi kulkasnya. Gadis itu jarang sekali memasak dan lebih sering menumpang di tempat Cia. Cia tidak masalah, toh bahan makanan yang ia beli juga dibayar dengan kartu kredit milik Agam. "Lo tunggu sebentar, jangan ke kasir dulu. Gue mau beli masker." Febi dengan cepat berlari menuju rak kecantikan. Saat menungg
Perasaan bahagia muncul ketika satu-persatu impian mulai tercapai. Tangis darah yang pernah keluar dari mata seolah terbayar sudah. Meskipun bukan sebuah prestasi, tetapi impian tetaplah keinginan. Sulit untuk menggapainya sehingga manusia menyebutnya sebagai impian. Bagi Cia, Agam adalah salah satu impian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Fakta jika dia pernah ditolak dengan begitu menyedihkan membuat harapannya pupus. Namun Tuhan sepertinya ingin memberi sedikit kebahagiaan di hidupnya. Beberapa tahun kemudian, Cia berhasil mendapatkan apa yang ia impikan, yaitu Agam Mahawira. Bahkan tanpa ada usaha seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tatapan mata Cia masih terpaku. Menatap lekat wajah pria yang masih terlelap dalam tidurnya. Pagi telah datang, tetapi matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinar indahnya. Di remang-remang kamar, Cia sudah terbangun dengan segar. Dia seolah mendapat suntikan vitamin dari pria yang berada di sampingnya itu. Semakin lekat menatap w
Makanan yang dipesan mulai berdatangan. Aroma lezat juga sudah beterbangan memasuki indera penciuman. Namun sayang, itu tak membuat Agam berselera. Dia malah menghitung waktu kapan jam makan siang akan selesai dengan segera. Saat ini Agam benar-benar terjebak. Di kelilingi oleh dua wanita yang salah satunya adalah orang yang ia sayangi tidak bisa membuatnya menolak. Ada rasa tak enak yang bergejolak. Ingatannya tertuju pada tatapan Cia yang sedih tanpa bisa berontak. "Agam ini suka sayur, loh, Nadira," ujar Sang Ibu. "Saya tau, Tante. Kalau lagi rapat sekaligus makan siang, Agam sering pesan lalapan." "Makanya badannya bagus." Tante Nana tertawa sambil memijat lengan keras anaknya. Agam hanya bisa pasrah dan menghela napas lelah. Tidak ada lagi rasa lapar yang ia rasakan. Satu-satu hal yang ingin Agam lakukan saat ini adalah melarikan diri. "Lain kali kalian makan berdua aja, tanpa ada embel-embel pekerjaan." Saran yang menyesatkan, setidaknya bagi Agam. Agam bersikap
Seragam SMA yang melekat di tubuh seorang remaja pria itu terlihat basah karena keringat. Di tangannya terdapat bola basket yang ia genggam dengan erat. Mencoba menyalurkan rasa tak nyaman karena percakapan yang ia dengar dari dekat. Agam berada di sana, berdiri dengan telinga yang mendengar kedua orang tuanya berdebat. Topiknya masih sama, yaitu ke mana dia harus melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA? "Kalau bukan jurusan bisnis, dia mau ke mana lagi?" "Tapi Agam tertarik dengan kedokteran, Ma." Benar, itu yang Agam inginkan. Dia ingin menjadi dokter spesialis. "Terus siapa yang terusin perusahaan kamu?" Hening. Agam tidak lagi mendengar balasan dari ayahnya. Pria itu pasti bingung akan dibawa ke mana nasib perusahaannya nanti. Agam menatap langit-langit ruangan dengan hembusan napas kasar. Setelah itu, dia keluar dari persembunyiannya sambil memantulkan bola basket. "Aku akan ambil jurusan manajemen bisnis." Ucapannya bagaikan angin segar, ibunya langsung ters
Suara deru napas yang terengah tak menghentikan lari dari seorang gadis. Melihat lift yang jauh di hadapannya bergerak tertutup membuat Febi berteriak. Semua kepala di sekitarnya menoleh mendadak. Namun saat tahu siapa yang membuat kehebohan, mereka semua kembali berpaling santai. Adik Pak Bos, itu pikir mereka semua. "Jangan tutup dulu! Tunggu!" teriak Febi lagi. Dia bernapas lega saat sebuah tangan menahan pintu lift untuk tertutup. Begitu sampai, senyumnya merekah melihat siapa yang membantunya. Dika. Namun Febi segera sadar dan menghilangkan senyumnya. Apa lagi saat tahu jika pria itu tidak sendiri. Ada Jihan di sampingnya. "Pagi, Febi," sapa Dika tersenyum manis. Ah, pria itu memang selalu ramah pada semua orang. "Pagi juga, Kak," balas Febi singkat tanpa menatap Dika. "Pagi, Kak Febi." Febi juga mendengar suara lembut menyapa. Siapa lagi jika bukan Jihan? "Pagi," balasnya mengangguk singkat. Setelah berpikir selama beberapa hari, Febi memutuskan untuk mun
Selama tiga hari terakhir, Cia hidup tanpa gairah. Entah kenapa dia merasa ada yang berubah. Kebahagiaan yang pernah ia rasakan dulu seolah sirna. Tergantian rasa asing yang bernama lelah. Benar, Cia merasa lelah dengan semua hal yang menimpa hidupnya. Dimulai dari kesedihan, kemudian kebahagiaan, lalu kembali ke kesedihan. Cia seolah dipermainkan oleh semesta. Namun dia manusia yang hanya bisa berdoa. Berharap jika keresahan yang ia rasakan agar pergi dengan segera. Agam, pria itu yang membuat hidup Cia dihiasi oleh rasa khawatir. Pria itu sedikit berubah. Cia merasa jika mereka tak sedekat dulu. Perubahan ini terjadi setelah acara makan siang Agam dan Nadira yang berhasil ia gagalkan. Pria itu beranjak menjauh. Seperti saat ini. Cia mendengarkan perintah Agam dengan seksama dan menulisnya di catatan kecil. Pria itu memberi perintah tanpa menatapnya. Membuat Cia kembali gelisah. Sebenarnya ada apa? "Itu saja, Pak?" Agam mengangguk. "Itu saja. Kamu boleh keluar." Begitu
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat