Makanan yang dipesan mulai berdatangan. Aroma lezat juga sudah beterbangan memasuki indera penciuman. Namun sayang, itu tak membuat Agam berselera. Dia malah menghitung waktu kapan jam makan siang akan selesai dengan segera. Saat ini Agam benar-benar terjebak. Di kelilingi oleh dua wanita yang salah satunya adalah orang yang ia sayangi tidak bisa membuatnya menolak. Ada rasa tak enak yang bergejolak. Ingatannya tertuju pada tatapan Cia yang sedih tanpa bisa berontak. "Agam ini suka sayur, loh, Nadira," ujar Sang Ibu. "Saya tau, Tante. Kalau lagi rapat sekaligus makan siang, Agam sering pesan lalapan." "Makanya badannya bagus." Tante Nana tertawa sambil memijat lengan keras anaknya. Agam hanya bisa pasrah dan menghela napas lelah. Tidak ada lagi rasa lapar yang ia rasakan. Satu-satu hal yang ingin Agam lakukan saat ini adalah melarikan diri. "Lain kali kalian makan berdua aja, tanpa ada embel-embel pekerjaan." Saran yang menyesatkan, setidaknya bagi Agam. Agam bersikap
Seragam SMA yang melekat di tubuh seorang remaja pria itu terlihat basah karena keringat. Di tangannya terdapat bola basket yang ia genggam dengan erat. Mencoba menyalurkan rasa tak nyaman karena percakapan yang ia dengar dari dekat. Agam berada di sana, berdiri dengan telinga yang mendengar kedua orang tuanya berdebat. Topiknya masih sama, yaitu ke mana dia harus melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA? "Kalau bukan jurusan bisnis, dia mau ke mana lagi?" "Tapi Agam tertarik dengan kedokteran, Ma." Benar, itu yang Agam inginkan. Dia ingin menjadi dokter spesialis. "Terus siapa yang terusin perusahaan kamu?" Hening. Agam tidak lagi mendengar balasan dari ayahnya. Pria itu pasti bingung akan dibawa ke mana nasib perusahaannya nanti. Agam menatap langit-langit ruangan dengan hembusan napas kasar. Setelah itu, dia keluar dari persembunyiannya sambil memantulkan bola basket. "Aku akan ambil jurusan manajemen bisnis." Ucapannya bagaikan angin segar, ibunya langsung ters
Suara deru napas yang terengah tak menghentikan lari dari seorang gadis. Melihat lift yang jauh di hadapannya bergerak tertutup membuat Febi berteriak. Semua kepala di sekitarnya menoleh mendadak. Namun saat tahu siapa yang membuat kehebohan, mereka semua kembali berpaling santai. Adik Pak Bos, itu pikir mereka semua. "Jangan tutup dulu! Tunggu!" teriak Febi lagi. Dia bernapas lega saat sebuah tangan menahan pintu lift untuk tertutup. Begitu sampai, senyumnya merekah melihat siapa yang membantunya. Dika. Namun Febi segera sadar dan menghilangkan senyumnya. Apa lagi saat tahu jika pria itu tidak sendiri. Ada Jihan di sampingnya. "Pagi, Febi," sapa Dika tersenyum manis. Ah, pria itu memang selalu ramah pada semua orang. "Pagi juga, Kak," balas Febi singkat tanpa menatap Dika. "Pagi, Kak Febi." Febi juga mendengar suara lembut menyapa. Siapa lagi jika bukan Jihan? "Pagi," balasnya mengangguk singkat. Setelah berpikir selama beberapa hari, Febi memutuskan untuk mun
Selama tiga hari terakhir, Cia hidup tanpa gairah. Entah kenapa dia merasa ada yang berubah. Kebahagiaan yang pernah ia rasakan dulu seolah sirna. Tergantian rasa asing yang bernama lelah. Benar, Cia merasa lelah dengan semua hal yang menimpa hidupnya. Dimulai dari kesedihan, kemudian kebahagiaan, lalu kembali ke kesedihan. Cia seolah dipermainkan oleh semesta. Namun dia manusia yang hanya bisa berdoa. Berharap jika keresahan yang ia rasakan agar pergi dengan segera. Agam, pria itu yang membuat hidup Cia dihiasi oleh rasa khawatir. Pria itu sedikit berubah. Cia merasa jika mereka tak sedekat dulu. Perubahan ini terjadi setelah acara makan siang Agam dan Nadira yang berhasil ia gagalkan. Pria itu beranjak menjauh. Seperti saat ini. Cia mendengarkan perintah Agam dengan seksama dan menulisnya di catatan kecil. Pria itu memberi perintah tanpa menatapnya. Membuat Cia kembali gelisah. Sebenarnya ada apa? "Itu saja, Pak?" Agam mengangguk. "Itu saja. Kamu boleh keluar." Begitu
Pemandangan asing di depan mata membuat tubuh tak bergeming. Mulut yang terbuka karena rasa terkejut tidak lagi peduli dengan perut yang lapar. Febi, gadis itu masih terdiam berusaha untuk tenang. Apa yang ia lihat saat ini membuat perasaannya campur aduk. Bahkan menurut Febi tujuh keajaiban dunia tidak ada apa-apanya dari pemandangan yang ada di depan mata. Di sofa ruang tengah villa mereka, Febi bisa melihat dua orang tengah tertidur pulas sambil berpelukan. Mereka adalah Cia dan Agam. Febi pikir Cia tidak ada di sampingnya karena bangun terlebih dulu untuk menikmati udara segar. Namun ternyata sahabatnya itu justru menikmati pelukan dari seorang Agam. Febi tidak pernah berpikir sebelumnya jika akan melihat pemandangan ini. Baginya, Agam adalah sosok yang dingin dan tak tersentuh. Namun apa yang ada di lihat saat ini seolah menghempaskan semua pikiran negatifnya. Ternyata seorang Agam Mahawira memiliki sisi hangat yang tak bisa dinikmati oleh banyak orang. Febi masih berdir
Hari Senin kembali datang menguji adrenalin. Liburan singkat akhir pekan kemarin tidak membuat ketenangan Cia terjamin. Dia kembali merasakan gelisah yang menyerang dengan rajin. Rasa pusing membuatnya sedikit membutuhkan kafein. "Kak Dika mau kopi? Aku mau ke pantri." "Nggak usah, Ci. Terima kasih." Cia berdiri dari kursinya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa berat di kepala. Dalam hati ia berdoa, agar sakit tidak menyerang tubuhnya. Baru saja ia bersenang-senang kemarin, lucu jika dia harus tumbang hari ini. Sepertinya perasaannya sangat peka dengan situasi yang sedang tidak baik saat ini. Selagi mengaduk kopi instannya, Cia membuka isi lemari pendingin. Dia mengecek makanan ringan milik Agam yang sudah tinggal sedikit. Ingatkan dia untuk memesannya pada pramukantor nanti. Sambil menghirup aroma kopi, Cia berjalan kembali ke mejanya. Namun langkahnya terhenti saat melihat wanita yang ia kenal. Tante Nana, wanita itu berkunjung ke kantor untuk yang kesekian kalinya. B
Pagi ini Cia datang sedikit lebih lambat. Selain karena tidak bersemangat, tubuhnya juga belum sepenuhnya sehat. Ternyata dia memang terserang demam sehingga harus mengonsumsi obat. Jika bukan karena Agam, mungkin Cia tidak akan berpikir untuk berobat. Haruskah ia berterima kasih pada Agam? Karena jujur saja Cia sedang marah pada pria itu. Agam melupakan janjinya. Semalam pria itu tidak datang untuk menemaninya. Agam hanya mengirim banyak makanan yang berakhir di lemari pendingin. Cia tidak memakannya sama sekali. Rasa sakit serta kecewa telah melebur menjadi satu. Sebut saja dia manja. Cia membenarkannya karena yang ia butuhkan saat ini adalah sosok Agam di sampingnya. Cia butuh seseorang untuk bersandar. Harusnya Agam bisa melakukan itu untuknya. Sepatu berhak setinggi tujuh senti membuat Cia berjalan dengan hati-hati. Dia tidak mau terjatuh di tengah kondisi tubuhnya yang sedang tidak baik. Meskipun sedang sakit, tetapi Cia memilih untuk tetap bekerja. Selain karena tida
Kehilangan semangat hidup memang menyedihkan. Itu yang Cia rasakan saat ini. Sebut saja ia berlebihan, Cia tidak peduli. Dia merasa berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Yang lebih menyedihkannya lagi, Cia hanya sendiri. Terpuruk meratapi nasibnya yang seolah dihantam oleh masalah bertubi-tubi. Belum selesai dengan rencana perjodohan Agam, kemudian muncul gosip yang menyesakkan, lalu ditambah lagi dengan permintaan Tante Nana yang di luar dugaan. Wanita itu sudah mengetahui semuanya. Mengetahui jika Cia menjalin hubungan dengan anaknya. Setelah pembicaraan siang tadi, Cia pulang dengan air mata. Tidak peduli jika orang-orang akan menganggapnya gila. Selama makan siang berlangsung, Cia sudah berusaha menahan diri. Setelah terbebas, dia tidak bisa menahannya lagi. Air mata yang ia tahan pun tumpah. Bagaimana ia bisa tenang jika Tante Nana sendiri yang memintanya melepas Agam? Mengingat betapa baiknya wanita itu, rasa sungkan mulai menguasai hati Cia. Bahkan Tante Nana me