Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
Deru napas yang berat tidak menghentikan seorang gadis yang tengah berlari. Jalanan ibu kota yang sepi juga tidak membuatnya bergidik ngeri. Justru laju larinya semakin meninggi untuk menghindari seseorang yang mengejarnya tanpa henti. Tidak ada yang gadis itu pikirkan saat ini selain melarikan diri.Cia, nama gadis itu. Nama lengkapnya adalah Alicia Cantika. Nama yang manis untuk gadis yang juga berwajah manis. Paras cantik dan lugunya mampu membius kaum adam dengan mudah, termasuk atasannya sendiri, pria yang saat ini masih mengejarnya sambil meringis kesakitan."Tolong!" teriak Cia saat rasa lelah mulai ia rasakan. Jalanan yang sepi membuatnya mengumpat dalam hati.Ke mana perginya semua orang?"Berhenti kamu!" teriak atasannya. Orang-orang memanggilanya Pak Bonang, seorang duda yang meresahkan. Bukan karena tampan, melainkan karena mata keranjang.Sialnya, malam ini Cia yang menjadi korban.Niat bekerja lembur untuk mengumpulkan bonus harus pupus karena ulah Pak Bonang yang ternya
Tatapan mata Cia terlihat begitu tajam saat ini. Dahinya berkerut dalam membaca kertas di tangannya. Emosi tidak bisa ia tahan lebih lama lagi. Bisa-bisanya dia menjadi tersangka utama atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat."Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina, teman satu kantornya.Cia masih terdiam dengan rahang yang mengeras. Dengan kesal dia meremas kertas di tangannya hingga tidak berbentuk. Niat ingin bersaksi atas kejahatan yang dilakukan Pak Bonang harus gagal saat pria bajingan itu lebih dulu memukul mundur dirinya.Pemecatan secara tidak hormat telah Cia dapatkan. Sialnya, direktur perusaan sendiri yang turun tangan memecatnya. Dunia memang sudah gila. Benar-benar seperti acara komedi."Di mana si Beruk Bonang itu?" tanya Cia pada Tina."Lagi meeting sama Pak Bos di lantai tujuh."Dengan cepat Cia mulai beranjak pergi, tetapi Tina lebih dulu menahannya."Lo mau labrak Pak Bonang?" tanyanya ragu."Bukan cuma Pak Bonang, tapi Pak Bos juga.""Ci, lo serius?" Tina mulai khawa