Deru napas yang berat tidak menghentikan seorang gadis yang tengah berlari. Jalanan ibu kota yang sepi juga tidak membuatnya bergidik ngeri. Justru laju larinya semakin meninggi untuk menghindari seseorang yang mengejarnya tanpa henti. Tidak ada yang gadis itu pikirkan saat ini selain melarikan diri.
Cia, nama gadis itu. Nama lengkapnya adalah Alicia Cantika. Nama yang manis untuk gadis yang juga berwajah manis. Paras cantik dan lugunya mampu membius kaum adam dengan mudah, termasuk atasannya sendiri, pria yang saat ini masih mengejarnya sambil meringis kesakitan."Tolong!" teriak Cia saat rasa lelah mulai ia rasakan. Jalanan yang sepi membuatnya mengumpat dalam hati.Ke mana perginya semua orang?"Berhenti kamu!" teriak atasannya. Orang-orang memanggilanya Pak Bonang, seorang duda yang meresahkan. Bukan karena tampan, melainkan karena mata keranjang.Sialnya, malam ini Cia yang menjadi korban.Niat bekerja lembur untuk mengumpulkan bonus harus pupus karena ulah Pak Bonang yang ternyata penuh modus. Cia lagi-lagi merutuk dalam hati, ke mana perginya semua penghuni kantor? Tidak mungkin jika hanya dirinya saja yang lembur. Beruntung dia bisa melarikan diri setelah menendang keras dua bola pusaka Pak Bonang."Cia, berhenti kamu! Sialan!" teriak Pak Bonang lagi.Air mata Cia masih mengalir. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihat monster yang berlari mengikutinya. Ada rasa lega karena bisa lari sebelum terlambat. Namun kelegaan itu tidak bisa ia rasakan lama saat Pak Bonang belum menyerah. Demi membuatnya tutup mulut, dia rela mengikutinya hingga ke ujung dunia.Tutup mulut? Cia masih tidak tahu bagaimana harus menyikapi hal ini besok. Apa dia akan menjadi korban selanjutnya? Karyawan yang dipecat secara sepihak karena kesalahan yang tidak jelas. Sekarang Cia tahu kenapa para senior wanitanya mendadak pergi tanpa kabar. Pasti ada beberapa dari mereka yang mengalami hal yang sama sepertinya, yaitu pelecehan.Apakah mereka seberuntung dirinya yang bisa lari? Atau malah terjebak di ruang fotokopi yang terkunci?Cia menggelengkan kepalanya mengingat tempat menyeramkan itu. Jika kembali ke kantor, dia akan memasukkan surat keluhan ke kotak keluhan yang berisi petisi untuk menghilangkan pintu ruang fotokopi. Ruangan yang ia yakini penuh dengan teriakan dan rasa trauma.Cia berhenti berlari saat melihat sekumpulan pemuda di seberang jalan. Hatinya lega karena akhirnya bisa bertemu dengan banyak orang. Entah orang jahat atau baik, yang pasti dia hanya ingin terbebas dari Bonang sialan yang mengejarnya.Napas Cia semakin terdengar berat. Dia menunduk melihat kaki telanjangnya yang kotor. Terpaksa dia bertelanjang kaki karena sudah melempar sepatunya ke kepala Pak Bonang. Terselip rasa senang karena bisa memberikan pembalasan menyakitkan sebelum berhasil kabur."Berhenti kamu! Cewek sialan!"Dada Cia semakin berdegup kencang mendengar suara menyeramkan itu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum menyeberang. Cia harus cepat jika tidak ingin tertangkap.Peduli setan!Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Saat melihat cela, dengan cepat Cia berlari menyeberang. Suara klakson panjang mulai terdengar memekakan telinga dan disusul dengan suara hantaman yang cukup keras. Cia terkejut dengan mobil yang melaju ke arahnya tetapi anehnya tidak ada yang menabrak tubuhnya.Rasa tidak enak mulai ia rasakan. Perlahan Cia menoleh dan melihat ke arah suara keras itu. Matanya membulat dengan tangan yang bergetar. Tak jauh darinya, terdapat sebuah mobil yang terbalik menghantam tiang lampu merah karena menghindarinya.Ya Tuhan, apa dia baru saja membunuh seseorang?Cia sudah tidak memiliki tenaga untuk lari. Melihat kondisi mobil yang memprihatinkan membuatnya jatuh terduduk dengan lemas. Kasarnya aspal mulai terasa nyaman di tubuhnya, membuat Cia mulai hilang kesadaran. Hal terakhir yang ia lihat adalah banyaknya orang yang mulai berdatangan. Selain itu, dia juga melihat Pak Bonang yang berhenti dan menjauh dari keramaian."Bajingan," gumam Cia sebelum akhirnya benar-benar tak sadarkan diri.***Suara khas ambulan yang cukup keras membuat Cia membuka mata. Dia menatap langit gelap tanpa bintang yang tampak mencekam. Perasaan Cia mulai tidak tenang. Medengar suara ribut di sekitarnya, dia mulai bangun. Dengan cepat Cia berdiri dan melihat ke sekitar."Dia sadar!" teriak seseorang."Mbak, Mbak nggak apa-apa? Ada yang sakit?"Orang-orang yang mengelilinginya mulai bertanya. Cia mengabaikan mereka semua dan dengan cepat membelah kerumunan. Dari jauh dia bisa melihat ambulan yang berusaha mengevakuasi korban kecelakaan, lebih tepatnya kecelakaan yang disebabkan oleh dirinya."Pak, orang di mobil itu masih hidup, kan?" tanya Cia panik."Belum tau, Mbak. Masih mau dibawa ke rumah sakit."Tanpa banyak bicara, Cia berlari mendekat dan menjelaskan apa yang terjadi secara singkat ke pada petugas. Akhirnya dia ikut ke rumah sakit untuk pemerikasaan lebih lanjut. Ternyata dia tidak sadarkan diri selama 10 menit. Beruntung dia sudah sadar saat ambulan datang.Namun bukan itu yang menjadi fokus Cia. Tangisnya kembali pecah saat melihat keadaan pengendara mobil yang mengenaskan. Seorang pria yang tubuhnya penuh dengan luka. Bahkan Cia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena darah yang seperti mengguyur tubuhnya.Tidak ada yang Cia inginkan selain keselamatan pria itu. Terdengar mustahil melihat bagaimana kondisi akhir mobil yang mengenaskan karena sangat hancur. Namun tidak ada salahnya berharap. Cia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika pria itu pergi dari dunia ini karena kelalaiannya.***Bibir Cia terbuka lebar melihat total biaya rumah sakit yang harus ia tanggung. Lagi-lagi lututnya terasa lemas membuatnya jatuh terduduk dengan wajah pias. Kondisi pengendara mobil yang parah membuat operasi dadakan harus dilakukan. Demi keselamatan pasien, Cia yang akan bertanggung jawab. Lagi pula ini semua terjadi juga karena kebodohannya."Kalau bayar setengahnya dulu apa bisa?" tanya Cia hati-hati.Tidak ada pilihan lain yang harus Cia lakukan. Dengan perasaan antara rela dan tak rela, akhirnya dia mengeluarkan seluruh tabungannya. Tabungan hasil kerja kerasnya selama ini. Tabungan yang awalnya ia gunakan untuk liburan mewah. Impian yang ia inginkan sedari kecil tetapi belum terwujud hingga saat ini. Namun sepertinya impian itu harus kembali mundur atau lebih parahnya terkubur.Tidak masalah. Cia akan mencoba mengabaikan itu semua. Uang tidak lebih berharga dari nyawa manusia. Jika saja pria itu tidak menghindarinya, mungkin dirinya yang berada di ruang operasi saat ini. Memikirkan hal itu, lagi-lagi air mata Cia mengalir. Hanya butuh satu hari, tetapi mampu membuat banyak kejadian yang menyayat hati.Perlahan tangan Cia terkepal erat. Dia kembali mengingat Pak Bonang dengan tingkah kurang ajarnya. Rasa kesal dan dendam mulai ia rasakan."Lihat aja besok. Gue bakal aduin ke Pak Direktur langsung biar si Bonang Oneng itu dipecat!"Tekat Cia sudah bulat. Dia akan membalaskan semua dendam teman-temannya selama ini. Peduli setan jika Pak Bonang adalah manager tempat ia bekerja. Cia yakin jika atasan dari atasan mereka tidak akan tinggal diam mendengar hal mengerikan ini.Cia sudah bertekat akan menamatkan karir Pak Bonang, tanpa tahu jika karirnya juga akan tamat sebentar lagi.***TBCTatapan mata Cia terlihat begitu tajam saat ini. Dahinya berkerut dalam membaca kertas di tangannya. Emosi tidak bisa ia tahan lebih lama lagi. Bisa-bisanya dia menjadi tersangka utama atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat."Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina, teman satu kantornya.Cia masih terdiam dengan rahang yang mengeras. Dengan kesal dia meremas kertas di tangannya hingga tidak berbentuk. Niat ingin bersaksi atas kejahatan yang dilakukan Pak Bonang harus gagal saat pria bajingan itu lebih dulu memukul mundur dirinya.Pemecatan secara tidak hormat telah Cia dapatkan. Sialnya, direktur perusaan sendiri yang turun tangan memecatnya. Dunia memang sudah gila. Benar-benar seperti acara komedi."Di mana si Beruk Bonang itu?" tanya Cia pada Tina."Lagi meeting sama Pak Bos di lantai tujuh."Dengan cepat Cia mulai beranjak pergi, tetapi Tina lebih dulu menahannya."Lo mau labrak Pak Bonang?" tanyanya ragu."Bukan cuma Pak Bonang, tapi Pak Bos juga.""Ci, lo serius?" Tina mulai khawa
Apa yang terjadi di masa depan memang tidak bisa diprediksi. Sebagai manusia, kita hanya perlu menjalaninya dan melewatinya dengan baik tanpa ada kesalahan. Kesalahan hanya akan berakhir sebagai penyesalan. Jika itu sudah terjadi maka manusia hanya bisa berserah diri menanti keajaiban lainnya di masa depan.Namun apakah Cia bisa mengharap keajaiban dalam kondisi seperti ini?Hanya membutuhkan waktu dua hari tetapi sudah banyak kejadian yang membuat hatinya nyeri. Mulai dari korban nafsu Pak Bonang, kecelakaan maut yang membuat tabungannya terkuras, pemecatan secara sepihak, lalu seperti belum lengkap, kesialannya ditambah dengan pengusiran paksa yang dilakukan ibu kos. Bukan karena Cia belum membayar uang sewa. Melainkan ia menolak keras harga sewa yang naik secara mendadak. Oleh karena itu ibu kos memintanya keluar jika tidak mematuhi peraturan baru. Bukan bermaksud tidak patuh, hanya saja uang Cia benar-benar habis saat ini untuk biaya rumah sakit.Lalu apa yang harus ia lakukan sek
Di meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya."Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya."Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu."Resep dari Mama gue.""Ah, pantes.""Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya."Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai wak
“Pak Agam?"Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahab
Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,