Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.
Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya kesal. Beruntung Agam tidak menatapnya saat ini sehingga Cia bisa puas menunjukan wajah kesalnya. Pria itu tidak banyak berubah. Malah bisa dibilang semakin menyebalkan."Maksud saya apa saja tugas dan tanggung jawab saya, Pak."Agam mulai mengalihkan pandangannya dari komputer. Dia duduk bersandar dan menatap Cia lekat. Jari tangannya saling bertaut memberikan kesan penguasa di ruangan ini. Jangankan ruangan, pria itu memang penguasa di kantor ini.Seketika Cia menyesal menerima tawaran Febi. Sejak kapan posisi CEO perusahaan digantikan oleh Agam? Oh ayolah, itu bukan mustahil! Hampir tujuh tahun dia memblokir nama Agam dari hidupnya. Tentu Cia tidak akan mengetahui kabar pria itu. Febi juga bersikap bijak dengan tidak pernah menyebut nama kakaknya selama ini."Kamu akan jadi sekretaris saya." Agam mengambil sesuatu dari lacinya dan meletakkannya di atas meja berhadapan dengan Cia."Apa ini, Pak?" tanya Cia penasaran."Kontrak kerja kamu."Cia meraih lembaran kertas itu dan membacanya dengan teliti. Tidak ada yang aneh dari isi kontrak itu. Seperti kontrak kerja pada umumnya."Kamu bekerja langsung di bawah perintah saya," jelas Agam lagi yang kembali fokus pada komputernya.Cia mengerucutkan bibirnya kesal. Apa komputer lebih menarik dari dirinya?"Langsung kerja, Pak? Nggak ada tahapan interview?"Pertanyaan Cia berhasil membuat Agam menoleh. "Saya nggak punya waktu. Saya butuh cepat."Cia mengangguk dan kembali membaca kertas di tangannya. Sampai akhirnya dia sampai di poin terakhir. Poin yang membuat dahinya berkerut tajam."Maksud poin terakhir apa, Pak? Saya akan bekerja sampai sekretaris utama kembali masuk?" tanya Cia memastikan."Sekretaris saya sakit. Jadi saya butuh seseorang untuk menggantikannya sampai sembuh.""Berarti saya cadangan, dong?" Suara Cia tiba-tiba meninggi. Melihat Agam yang menatapnya tajam membuat Cia berdeham pelan. "Maksudnya, berarti saya kerja tanpa ada jangka waktu? Intinya sampai sekretaris utama Bapak sembuh?""Ucapan saya tadi sudah jelas, kan?"Cia menunduk lesu. Agam benar-benar menyebalkan. Tidak ada ramah tamah yang ia berikan untuk membuatnya betah. Sebenarnya Agam memang butuh sekretaris atau terpaksa?"Saya nggak mau kalau nggak pasti, Pak." Cia mendorong kontrak kerja itu angkuh."Terserah. Saya harap kamu tidak lari dari tanggung jawab.""Maksud, Bapak?"Agam maju dan menumpukan kedua tangannya di atas meja. "Saya tau kamu butuh uang."Mata Cia mulai menyipit. Dari mana pria itu mengetahui masalahnya? Apa Febi yang memberitahu? Melihat Agam yang tidak tahu jika dirinya adalah calon sekretaris pengganti sepertinya Febi tidak bercerita apapun tentang dirinya.Mendadak Cia terkekeh, "Jangan sok tau deh, Pak.""Dika, pria yang kecelakaan gara-gara kamu. Dia sekretaris saya."Cia tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa tahu malu. Kadang dia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri dan terlalu ekspresif."Jadi semalam Pak Agam ke rumah sakit untuk...?""Ya, saya jenguk sekretaris saya."Tubuh Cia mulai melemas. Terjawab sudah rasa bingungnya selama ini. Ternyata Agam mengenal Dika. Tentu saja! Pria itu tidak mungkin datang menjenguk jika tidak saling mengenal."Oke, saya mau kerja di sini tapi ada beberapa hal yang perlu ditambah dalam kontrak ini.""Kamu lagi negosiasi? Saya pikir kamu beneran kepepet." Agam menaikkan sebelah alisnya bingung."Kita sama-sama kepepet, Pak. Saya butuh uang dan Bapak butuh sekretaris pengganti.""Tapi saya bisa cari yang lain kalau kamu nggak mau."Cia berdecak kesal. "Saya mau, Pak. Dengerin saya dulu, ih!" geramnya.Hilang sudah sikap angkuh yang menjadi pertahanan Cia sedari tadi. Keras kepala adalah sikap yang paling benar untuk berhadapan dengan Agam. Lagipula pria itu juga sudah mengetahui apa yang ia inginkan, tak perlu lagi berpura-pura."Saya mau gaji saya dua kali lipat."Tanpa menjawab, Agam mengambil kontrak kerja itu dan memasukannya ke dalam laci meja. "Keluar kamu."Cia langsung panik. "Bercanda, Pak."Agam meliriknya sinis dan mengembalikan kontrak kerja itu."Tapi beneran, Pak. Saya butuh uang untuk pengobatan Kak Dika. Kalau duitnya kurang, nanti sembuhnya jadi lama."Agam menatap Cia aneh. "Kamu lagi ngerayu anak kecil?""Enak aja! Saya ngerayu Kak Agam tau!" Cia memutar matanya jengah, tetapi satu detik kemudian dia tersadar. "Maksud saya bukan ngerayu, tapi negosiasi... Pak.""Keputusan saya tetap sama. Perjanjian kerja tetap sesuai dengan kontrak."Cia mulai pasrah. Berdebat dengan Agam tidak akan pernah selesai dan hanya membuang-buang waktu. Pria itu akan selalu menang dan membuatnya bungkam, seperti dulu."Di sini ada jenjang karir nggak, Pak?"Dari awal kesan yang Cia tunjukan sudah tidak bagus, percuma jika harus menutupinya. Menjilat atasan seperti Agam adalah langkah yang buruk."Tergantung.""Tergantung?" tanya Cia penasaran."Kamu pintar atau tidak."Klasik."Percuma pinter kalau keblinger," gumam Cia mulai mengambil bolpoinnya. Seketika dia teringat dengan mantan manajer pemasaran di mana ia bekerja dulu, siapa lagi jika bukan si Beruk Bonang.Tanpa banyak berpikir atau kembali berdebat, Cia mulai menandatangani kontrak kerja itu. Entah kenapa tubuh Cia tiba-tiba merinding. Dia seperti menandatangani kontak penyiksaan seumur hidup."Sudah, Pak.""Sekarang kamu keluar. Meja kamu ada di depan ruangan saya. Buka laptop Dika, semua pekerjaan kamu ada di sana," perintah Agam yang lagi-lagi tidak menatapnya.Cia mengangguk dan mulai keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, dia mengacak rambutnya frustrasi. Sepertinya kehidupan sialnya akan segera dimulai.Berbeda dengan Cia yang tengah meratapi nasib, Agam langsung menyandarkan tubuhnya setelah gadis itu keluar. Matanya masih tertuju pada pintu ruangan dengan lekat. Pandangannya kosong, tetapi Agam tengah memikirkan sesuatu saat ini. Memikirkan hal yang hanya ia sendiri yang mengetahuinya.Padangan Agam beralih pada sebuah botol minuman di atas meja. Dia mengambil botol itu dan melihatnya dengan teliti. Ini milik gadis aneh di depan ruangannya itu."Maaf, Pak. Kata sandi laptopnya Kak Dika ap—a?" Cia tiba-tiba masuk membuat Agam meletakkan botol itu cepat.Cia yang melihat kecanggungan Agam mulai menahan senyumnya. Cukup menghibur emosinya di pagi hari.Gemas!"Nama Dika ditambah angka 123.""Oke, Pak. Terima kasih.""Lain kali ketuk pintu," tegur Agam."Oke, Pak," jawab Cia santai.Dia beranjak keluar, tetapi kembali masuk saat teringat sesuatu. "Itu minuman buat Pak Agam. Isinya teh jahe. Pak Agam masih suka, kan?""Hm."Setelah Cia keluar, Agam mulai bisa bernapas dengan lega. Dia melirik botol minum itu sebentar dan kembali fokus bekerja. Namun hanya satu detik bertahan, Agam langsung meraih botol itu dan membukanya. Aroma herbal langsung merasuk ke hidungnya. Membuat tubuhnya sedikit tenang."Masih sama," gumam Agam setelah meminum teh jahe itu.***TBCEntah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb
Hari Sabtu bukan lagi menjadi hari yang menyenangkan untuk Cia. Biasanya dia akan tidur seharian untuk mengganti jam tidur siangnya yang sering terlewat saat bekerja, tetapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Pagi hari dia harus sudah berada di kantor. Sesuai jadwal yang diinginkan Agam, mereka akan bermain golf hari ini.Sekaligus rapat katanya. Meskipun Cia ragu, tetapi dia tetap menurut.Agam masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Namun dia menghela napas lelah saat mendengar suara cekikikan dari kursi belakang. Dia melihat ke belakang melalui center mirror sambil berpikir. Kenapa dia harus berurusan dengan dua wanita aneh di belakangnya?"Kok nggak jalan?" tanya Febi menatap kakaknya polos.Ya, gadis itu juga ikut dengan kegiatan mereka kali ini. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Cia tiba-tiba datang bersama Febi. Agam hanya bisa pasrah saat melihat adiknya itu tidak bisa lepas dari Cia. Bahkan saat Agam mengusirnya pergi, Febi kembali beraksi sambil merengek."Ki
Tahun 2016Di sebuah dapur panti asuhan, terlihat dua orang gadis tengah berdiri tenang di ujung ruangan. Bukannya membantu yang lain, dua gadis itu malah asik menikmati makanan yang ada. Tidak peduli dengan beberapa orang yang keluar-masuk dapur untuk menyiapkan makanan.Mereka kelelahan. Sudah seharian ini mereka banyak membantu kegiatan di panti asuhan. Jika bukan karena hukuman mungkin mereka tidak akan berakhir di tempat ini. Andai saja mereka tidak kabur di jam pelajaran mungkin kepala sekolah tidak akan mengirim mereka ke panti asuhan untuk melakukan pekerjaan sosial sebagai hukuman."Lo mau tambah?" tanya Febi."Gue mau yang keju," jawab Cia.Belum sempat mengambil potongan kuenya, tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk dan tersenyum pada mereka."Kalian laper ya? Pasti capek." Cia dan Febi hanya bisa tersenyum canggung. Dengan segera mereka mengelap bibirnya, takut jika ada sisa makanan yang tersisa di sana."Kalau kalian sudah selesai, bisa tolong ibu? Kayaknya Dedek Sat
Melakukan kesalahan yang sama adalah hal yang dihindari oleh manusia. Namun sayangnya, tidak bagi Cia. Hari ini secara sadar dan sengaja dia kabur dari sekolah meninggalkan mata pelajaran yang tengah berlangsung. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan ia ingin mendapat hukuman.Jika orang-orang mengetahui niat aslinya, mungkin mereka akan menyebutnya gila. Cia tidak peduli dengan itu. Dia memang sudah gila. Rela melakukan apapun untuk melihat pria yang secara tiba-tiba memenuhi isi hati dan pikirannya."Cia!" Suara teriakan itu mengejutkan Cia.Dari jauh, Cia melihat Febi yang berlari menghampirinya."Lo kabur?" tanya Febi dengan napas terengah."Iya.""Kenapa nggak ajak gue?" geram Febi kesal.Febi baru mendengar apa yang terjadi pada sahabatnya. Setelah pulang sekolah, ia langsung ke panti asuhan tempat di mana Cia dihukum. Memang hukuman yang diberikan sekolahnya cukup berbeda. Itu karena peraturan yang dibuat Ayah Febi sendiri, selaku pemilik sekolah. Sekolah swasta memang memil
Sambil mengaduk teh jahe buatannya, Cia menatap halaman panti melalui jendela dapur. Untuk yang kesekian kalinya dia berada di tempat ini hanya untuk melihat pujaan hatinya. Pria yang sayangnya tidak ia ketahui namanya tetapi mampu menguasai akal sehatnya. Cia hanya bisa melihat dalam diam. Dia tidak mempunyai keberanian untuk mendekat. "Kok ngalamun, Cia? Hati-hati kena air panas loh," tegur Bu Suci. Cia tersadar dan tersenyum malu. Dia kembali fokus pada teh yang ia buat untuk meredakan rasa haus anak-anak yang tengah bermain saat ini. "Ini sudah ke-lima kalinya kamu dihukum ke panti. Kamu nggak capek?" tanya Bu Suci. Lihat? Orang lain akan berpikir jika kenakalan Cia sudah tidak bisa dikontrol. Padahal kenyataannya ada niat terselebung kenapa dia melakukan ini. Tentu saja agar bisa melihat pujaan hatinya. "Aku seneng kalau bisa bantu ibu di sini. Aku juga bisa main sama anak-anak." Bu Suci tersenyum sambil mengelus kepala Cia. "Kalau kamu mau main ke sini ya main aja ng
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat