Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.
Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya.
"Sakit, Cia!" rutuk Febi.
Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya.
"Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."
Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya.
"Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya.
"Gue mau bawain buat bokap lo."
Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk dadanya dengan pelan. Matanya yang memerah mulai menatap Cia gugup.
"Bokap gue?" tanya Febi ragu.
"Iya, udah lama nggak ketemu jadi nggak enak kalau nggak bawa apa-apa. Lagian bokap lo suka teh jahe buatan gue, kan?"
"Ngapain, sih? Nggak usah pake bawa-bawa ginian." Febi berusaha mencegah Cia.
"Emangnya kenapa? Teh jahe juga bagus buat kesehatan, kok."
"Lo itu mau kerja, bukan silaturahmi," cibir Febi.
"Ya tau, gue lagi nggak jilat atasan ya?!" Cia menatap Febi kesal
Febi hanya bisa menghela napas pasrah. Dia meminum tehnya cepat hingga habis sebelum pergi.
"Terserah, deh. Gue mau maskeran dulu."
"Mau juga!" Cia memeluk Febi manja.
***
Saat ini Cia sudah duduk di meja sekretaris di mana ia akan bekerja. Kali ini ia tidak sendiri karena ada Febi di sampingnya. Gadis itu akan menemaninya sampai atasannya datang. Biar bagaimanapun Febi yang merekomendasikan Cia untuk bekerja di sini.
"Udah gue bilang nggak usah bawa teh." Febi meringis melihat tempat minum yang serupa seperti termos mini untuk membuat teh tetap hangat.
"Diem, deh. Gue deg-degan."
Cia tidak bohong saat ia berkata jika jantungnya berdebar. Meskipun dia sudah pernah belerja sebelumnya, rasa panik itu tetap ada saat ia bekerja di tempat baru. Hari pertama akan selalu menjadi hari yang menegangkan. Di hari ini juga dia harus memberikan kesan terbaik agar bisa terus bertahan. Meskipun Cia sudah mengenal Ayah Febi, tetapi dia tidak bisa bersikap santai. Cia akan bekerja secara profesional.
"Bokap lo biasanya dateng jam berapa?" tanya Cia lagi.
"Hm, bentar lagi, kok," balasnya sambil melihat jam.
"Oh, iya. Gue boleh tanya sesuatu nggak, Feb?"
Cia bertanya dengan sangat hati-hati. Takut jika pertanyaannya akan membuat Febi terkejut. Sebenarnya Cia sudah ingin menanyakan hal ini dari semalam. Namun saat melihat Febi yang kelelahan membuatnya mengurungkan niatnya. Selagi menunggu atasannya datang, mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya. Meski ia tahu pertanyaannya pasti sangatlah sulit.
"Mau tanya apa?"
"Kakak lo punya temen?" tanya Cia tidak jelas.
Dahi Febi berkerut mendengar itu. "Kakak? Maksud lo?"
Cia menggeleng dengan cepat. Dia berubah pikiran. Cia tidak jadi menanyakan apa yang ada di kepalanya saat ini. Malu rasanya jika mengungkit seseorang yang sudah bertekat ia lupakan dulu.
"Nggak jadi," jawab Cia cepat.
"Ih, nggak mau! Lanjutin mau ngomong apa, jangan bikin penasaran!" Febi mulai bergerak untuk menggigit lengan Febi.
"Lepasin, Feb. Duh, bocah banget!"
"Nggak, lo mau ngom—Pak Bos dateng," ucap Febi tiba-tiba.
Mereka kompak berdiri saat melihat pintu lift mulai terbuka. Cia memilih untuk menatap botol teh jahe yang ia peluk dengan perasaan senang. Tentu ia akan senang bertemu dengan pria yang ia anggap sebagai orang tua keduanya itu.
"Selamat pagi, Pak," sapa Febi.
"Selamat pa—" Senyum Cia langsung luntur saat melihat pria di hadapannya.
Rasa terkejut tidak bisa lagi terhindarkan. Bahkan botol yang Cia bawa harus terjatuh dan menggelinding sempurna di kaki pria itu. Hal itu membuat suasana menjadi lebih dramatis.
Melihat ekspresi Cia, Febi mulai meringis ketakutan. Dia bergeser untuk menjaga jarak. Takut jika Cia akan menarik rambut indahnya tiba-tiba. Meski sudsh tahu apa yang akan terjadi, Febi tetap nekat membawa Cia ke tempat ini. Tempat di mana ia mempertemukan Cia dengan masa lalunya.
"Cia, lo nggak apa-apa?" bisik Febi pelan.
"Ada apa ini?" tanya Agam tiba-tiba. Sepertinya pria itu juga berniat meminta penjelasan pada adiknya.
Febi berdeham pelan sambil merapikan rambutnya. Mendadak tenggorokannya terasa kering. Teh jahe buatan Cia tidak banyak membantu dalam kondisi menegangkan seperti ini.
"Jadi, Pak. Perkenalkam dia Cia yang akan jadi sekretaris bapak, dan Cia... ini Pak Agam yang akan jadi atasan kamu."
Cia masih terdiam dengan bibir yang terbuka. Matanya masih tertuju pada pria di hadapannya dengan ekspresi terkejut. Cia memang diam tetapi tidak dengan hatinya. Debaran jantungnya malah semakin berdetak cepat. Seperti berdisko ria di tengah situasi yang membuatnya mati kutu.
"Cia?" panggil Febi lagi. "Lo nggak apa-apa?"
Cia menelan ludahnya susah payah. "Gue? Nggak apa-apa?" tanyanya penuh penekanan.
Siaga satu.
Febi semakin menjaga jarak dari Cia. Wajah sahabatnya itu sudah sangat memerah. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Namun Febi yakin ada rasa malu, gugup, marah, kesal, dan bahkan juga senang yang Cia rasakan.
"Cia, gue minta maaf," cicit Febi.
Cia mulai menatap Febi dari sudut matanya. Dia terpejam dan mulai mengambil napas dalam. Cia berusaha untuk mengontrol emosinya saat ini. Namun sepertinya tidak membuahkan hasil. Tak lama setelah Cia kembali membuka mata. Tangannya langsung bergerak cepat menarik rambut Febi dengan geram.
"Lo gila?!" teriaknya marah.
***
Ruangan Agam terlihat mencekam pagi ini. Biasanya memang selalu hening, tetapi kali ini lebih parah karena ditambah dengan kecanggungan yang ada. Pertemuan ini tentu menjadi pertemuan yang tak diinginkan. Bahkan Cia ingin kembali lari, tetapi Febi menahannya cepat dan membisikkan kalimat keramat di telinganya.
"Katanya lo butuh duit?"
Kalimat itu berhasil membuat Cia bertahan dan pasrah saat Febi menariknya masuk ke dalam ruangan.
Sepertinya hanya Febi yang tampak normal di sini. Cia dan Agam masih setia dengan mulut yang tertutup. Tidak berniat memulai percakapan untuk yang pertama kalinya. Di dalam hatinya, Cia benar-benar tak mau berada di ruangan ini. Untuk apa dia melarikan diri dari rumah sakit kemarin jika tetap harus berakhir satu ruangan bersama Agam?
"Jadi?" tanya Febi hati-hati.
Alis Agam naik sebelah mendengar pertanyaan itu. Dia duduk santai sambil memainkan bolpoinnya. Dia menatap Cia dengan datar, tetapi terlihat tajam dan menusuk.
"Kamu tanya teman kamu. Apa masih bersedia kerja di sini?"
Febi tersenyum senang mendengar itu. Dia pikir kakaknya juga akan menolak keras permintaannya.
"Gue nggak mau," jawab Cia cepat.
Tanpa diduga, Febi langsung berlutut di kaki Cia. Bahkan dia merengek sambil memeluk kaki sahabatnya itu erat.
"Gue mohon, mau ya lo kerja di sini. Please, temenin gue. Nanti kita makan siang bareng, dinas bareng, semuanya bareng," ucap Febi semangat.
Cia menatap Febi tidak percaya. Dia tersenyum canggung sambil sambil mendorong gadis itu menjauh. Kadang kelakuan Febi membuatnya malu dan tidak habis pikir.
Cia mengumpat dalam hati. Dia seperti terjebak dengan keadaan. Bukan hanya karena Febi yang memohon seperti ini, tetapi juga kewajibannya untuk membayar semua kebutuhan Dika sampai pria itu sembuh.
Mata Cia kembali bertemu dengan Agam. Ada sedikit rasa kesal di hatinya saat pria itu tidak menunjukan ekspresi lain selain datar. Entah kenapa Cia berharap lain. Dia kesal karena sepertinya hanya dirinya sendiri yang berjuang keras untuk melupakan semuanya. Bahkan dia rela pergi untuk mengubur semua kenangan pahit. Berbeda dengan Agam yang sepertinya tidak sulit untuk melupakan apa yang pernah terjadi.
"Saya tidak memaksa, kalau kamu tidak mau silakan keluar."
"Kak!" bentak Febi yang wajahnya sudah penuh dengan air mata.
Cia menelan ludahnya susah payah. Dia sudah membuat keputusan, keputusan yang mungkin akan ia sesali nantinya.
"Oke, saya mau kerja di sini."
Ya, Cia memutuskan untuk bertahan sampai dia memiliki cukup uang untuk kembali pergi.
***
TBC
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb
Hari Sabtu bukan lagi menjadi hari yang menyenangkan untuk Cia. Biasanya dia akan tidur seharian untuk mengganti jam tidur siangnya yang sering terlewat saat bekerja, tetapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Pagi hari dia harus sudah berada di kantor. Sesuai jadwal yang diinginkan Agam, mereka akan bermain golf hari ini.Sekaligus rapat katanya. Meskipun Cia ragu, tetapi dia tetap menurut.Agam masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Namun dia menghela napas lelah saat mendengar suara cekikikan dari kursi belakang. Dia melihat ke belakang melalui center mirror sambil berpikir. Kenapa dia harus berurusan dengan dua wanita aneh di belakangnya?"Kok nggak jalan?" tanya Febi menatap kakaknya polos.Ya, gadis itu juga ikut dengan kegiatan mereka kali ini. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Cia tiba-tiba datang bersama Febi. Agam hanya bisa pasrah saat melihat adiknya itu tidak bisa lepas dari Cia. Bahkan saat Agam mengusirnya pergi, Febi kembali beraksi sambil merengek."Ki
Tahun 2016Di sebuah dapur panti asuhan, terlihat dua orang gadis tengah berdiri tenang di ujung ruangan. Bukannya membantu yang lain, dua gadis itu malah asik menikmati makanan yang ada. Tidak peduli dengan beberapa orang yang keluar-masuk dapur untuk menyiapkan makanan.Mereka kelelahan. Sudah seharian ini mereka banyak membantu kegiatan di panti asuhan. Jika bukan karena hukuman mungkin mereka tidak akan berakhir di tempat ini. Andai saja mereka tidak kabur di jam pelajaran mungkin kepala sekolah tidak akan mengirim mereka ke panti asuhan untuk melakukan pekerjaan sosial sebagai hukuman."Lo mau tambah?" tanya Febi."Gue mau yang keju," jawab Cia.Belum sempat mengambil potongan kuenya, tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk dan tersenyum pada mereka."Kalian laper ya? Pasti capek." Cia dan Febi hanya bisa tersenyum canggung. Dengan segera mereka mengelap bibirnya, takut jika ada sisa makanan yang tersisa di sana."Kalau kalian sudah selesai, bisa tolong ibu? Kayaknya Dedek Sat
Melakukan kesalahan yang sama adalah hal yang dihindari oleh manusia. Namun sayangnya, tidak bagi Cia. Hari ini secara sadar dan sengaja dia kabur dari sekolah meninggalkan mata pelajaran yang tengah berlangsung. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan ia ingin mendapat hukuman.Jika orang-orang mengetahui niat aslinya, mungkin mereka akan menyebutnya gila. Cia tidak peduli dengan itu. Dia memang sudah gila. Rela melakukan apapun untuk melihat pria yang secara tiba-tiba memenuhi isi hati dan pikirannya."Cia!" Suara teriakan itu mengejutkan Cia.Dari jauh, Cia melihat Febi yang berlari menghampirinya."Lo kabur?" tanya Febi dengan napas terengah."Iya.""Kenapa nggak ajak gue?" geram Febi kesal.Febi baru mendengar apa yang terjadi pada sahabatnya. Setelah pulang sekolah, ia langsung ke panti asuhan tempat di mana Cia dihukum. Memang hukuman yang diberikan sekolahnya cukup berbeda. Itu karena peraturan yang dibuat Ayah Febi sendiri, selaku pemilik sekolah. Sekolah swasta memang memil
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat