“Pak Agam?"
Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahabat, meski tidak banyak orang yang mengetahuinya.Agam bergegas kembali ke kamar Dika setelah selesai dengan dokter. Saat tangannya akan membuka pintu, Agam melihat sesuatu yang mengejutkan. Dari kaca bening di pintu, Agam bisa melihat seorang gadis yang berada di dalam ruangan. Seseorang yang sama seperti saat ia di lift tadi."Cia," gumam Agam lagi.Ternyata ia tidak salah lihat. Agam benar, ternyata gadis itu memang Cia."Sus?" panggil Agam saat perawat melewatinya. "Apa dia keluarga pasien?" tanya Agam menunjuk Cia.Perawat ikut mengintip dan mengeleng. "Bukan, Pak. Dia yang datang bersama pasien waktu kecelakaan dulu."Agam mengangguk mengerti. Sekarang ia tahu kenapa Cia berada di kamar Dika. Ternyata gadis itu yang membuat kecelakaan ini terjadi. Kebetulan macam apa ini? Setelah bertahun-tahun berlalu, gadis itu kembali muncul dengan tragedi mengenaskan.Agam memutuskan untuk pergi. Tidak ada alasan baginya untuk masuk ke dalam ruangan. Dia tidak mau mereka kembali mengingat masa lalu.Agam memutuskan untuk kembali ke kantor. Niat awal dia ingin ke bagian administrasi untuk membayar sisa pengobatan Dika sekaligus pindah kamar yang lebih baik, VIP. Namun saat tahu jika Cia yang bertanggung jawab, Agam mengurungkan niatnya. Jangankan membantu, untuk bertemu saja Agam tidak melakukannya.***Di dalam kamar pasien itu, Cia duduk dengan rasa bersalah. Apalagi saat melihat kondisi Dika yang masih belum bisa dikatakan baik. Namun semua butuh proses. Melihat pria itu sudah sadar saja Cia sudah sangat bahagia."Kak, maafin saya." Sudah puluhan kali Cia mengucapkan kalimat itu.Dika yang memang masih lemah terasa sulit untuk berbicara. Dia hanya bisa mengangguk dan kembali memejamkan mata. Sudah mulai lelah dengan ucapan Cia yang selalu sama.Jujur, Dika tidak tahu harus bersikap bagaimana. Saat membuka mata, dia mendapati tubuhnya terasa sangat sakit. Setelah mendengar apa yang terjadi dari Agam, dia hanya bisa menghela napas pasrah. Menyesal pun percuma karena tidak ada untungnya. Lebih baik fokus dengan apa yang akan terjadi dari pada apa yang sudah terjadi."Saya akan tanggung jawab, Kak. Saya yang akan tanggung semuanya sampai kakak pulih," ucap Cia lagi.Peduli setan dengan dari mana ia akan mendapatkan uang. Yang pasti Cia akan tetap tanggung jawab. Pria itu tidak memiliki wali. Siapa lagi yang akan merawatnya? Patah lengan dan kaki bukanlah masalah biasa. Apalagi pria itu juga masih menggunakan penyangga leher karena trauma akibat kecelakaan. Melihat Dika bisa sadar dengan cepat saja sudah menjadi keajaiban dunia bagi Cia.Lagi-lagi Dika hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa banyak bicara karena rasa lemas. Bersyukur gadis itu mau bertanggung jawab dan membantunya mengurus semua keperluan rumah sakit."Bisa.. panggilkan teman sa—ya?"Cia langsung berdiri dan mendekat. "Apa, Kak? Saya nggak denger.""Panggilkan teman saya," bisik Dika lagi.Dahi Cia berkerut mendengar itu. Teman? Teman siapa yang pria itu maksud. Selama beberapa hari ini Cia tidak melihat siapapun. Tidak ada yang menjenguk pria itu selain dirinya. Itu yang Cia tahu."Kak Dika punya temen?" tanya Cia ragu. Dia sudah takut jika nasibnya akan habis di tangan teman pria itu.Dika hanya menunjuk pintu kamar dengan jari telunjuknya. Beberapa menit yang lalu ia tidak sengaja melihat Agam di sana. Namun pria itu pergi entah ke mana."Oke, saya panggil dulu. Kak Dika jangan banyak gerak."Dengan cepat Cia berlari keluar kamar. Pandangannya mengedar ke segala arah. Tidak ada seorang pun yang menunggu di depan ruangan. Cia juga tidak melihat adanya wajah yang ia kenal di sana.Siapa yang pria itu maksud? Apa dia melihat hantu?Cia seketika bergidik ngeri. Mereka berada di rumah sakit saat ini. Melihat hantu bukanlah hal yang mustahil. Apalagi kondisi Dika berada di titik yang terendah."Maaf, Sus. Saya mau tanya." Akhirnya Cia memilih untuk bertanya pada perawat yang biasa menangani Dika. "Apa sebelumnya ada yang pernah jenguk pasien di dalam?""Oh, ada, Mbak.""Di mana orangnya sekarang, Sus? Dicariin sama pasien."Perawat itu ikut melihat sekeliling. Dia sempat melihat pria itu tadi tetapi sekarang sudah menghilang."Kayaknya sudah pergi, Mbak."Cia menghela napas kasar mendengar itu. Seketika kepalanya berdenyut."Kalau boleh tahu siapa namanya, Sus? Atau ada nomernya? Saya mau hubungi biar dateng.""Namanya Pak Agam kalau nggak salah. Untuk nomornya bisa ikuti saya, Mbak. Ada di data rumah sakit. Nanti bisa saya bantu untuk hubungi."Bukannya berjalan mengikuti, Cia malah berdiri dengan kaku. Pandangannya seketika berubah menjadi kosong karena pikirannya mulai tidak fokus. Dia tidak salah dengar, bukan?Nama itu terdengar tidak asing di telinga Cia. Dia sering mendengar nama itu dulu. Sudah bertahun-tahun dia tidak mendengar nama itu, lalu sekarang dia kembali mendengarnya. Cia hanya bisa berharap jika itu bukan Agam yang sama."Mbak?" panggil perawat itu lagi.Cia tersadar dan berjalan mendekat. Tangannya sudah berubah dingin. Bahkan sesekali bergetar karena gugup. Dia tidak menyangka jika efek dari sebuah nama bisa membuatnya seperti ini. Seketika hati Cia kembali sakit. Percuma jika dia melarikan diri selama bertahun-tahun jika nama itu belum bisa menghilang sempurna dari pikirannya. Ternyata selama ini nama itu hanya terkubur sementara sampai ada pemicu yang kembali membangkitkannya."Bisa tolong dihubungi, Sus?" tanya Cia dengan suara tercekat."Nggak perlu."Suara berat itu membuat tubuh Cia kembali menegang. Dia ingin berbalik tetapi ada sesuatu yang membuatnya bertahan dengan posisi seperti ini. Mata Cia terpejam saat jantungnya mulai berdegup kencang. Ternyata doa dan harapannya sia-sia. Dia sangat mengenal suara itu. Suara yang ternyata masih sama seperti dulu.Dia adalah Agam Mahawira.Pria itu di sini, berada di belakangnya.Apa yang akan Cia lakukan sekarang? Dia seperti terjebak dalam kondisi mengejutkan ini. Benar, tidak ada pilihan lain selain menghadapinya. Cia memejamkan matanya dan mulai menarik napas dalam. Setelah itu dia membukanya dan tersenyum pada perawat di depannya."Saya permisi ya, Sus."Satu detik kemudian, Cia langsung berlari dengan langkah terbirit-birit. Bahkan dia tidak menoleh sekali pun ke belakang.Menghadapi Agam? Tentu saja tidak! Cia memilih untuk kembali melarikan diri.***TBCTerlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb
Hari Sabtu bukan lagi menjadi hari yang menyenangkan untuk Cia. Biasanya dia akan tidur seharian untuk mengganti jam tidur siangnya yang sering terlewat saat bekerja, tetapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Pagi hari dia harus sudah berada di kantor. Sesuai jadwal yang diinginkan Agam, mereka akan bermain golf hari ini.Sekaligus rapat katanya. Meskipun Cia ragu, tetapi dia tetap menurut.Agam masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Namun dia menghela napas lelah saat mendengar suara cekikikan dari kursi belakang. Dia melihat ke belakang melalui center mirror sambil berpikir. Kenapa dia harus berurusan dengan dua wanita aneh di belakangnya?"Kok nggak jalan?" tanya Febi menatap kakaknya polos.Ya, gadis itu juga ikut dengan kegiatan mereka kali ini. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Cia tiba-tiba datang bersama Febi. Agam hanya bisa pasrah saat melihat adiknya itu tidak bisa lepas dari Cia. Bahkan saat Agam mengusirnya pergi, Febi kembali beraksi sambil merengek."Ki
Tahun 2016Di sebuah dapur panti asuhan, terlihat dua orang gadis tengah berdiri tenang di ujung ruangan. Bukannya membantu yang lain, dua gadis itu malah asik menikmati makanan yang ada. Tidak peduli dengan beberapa orang yang keluar-masuk dapur untuk menyiapkan makanan.Mereka kelelahan. Sudah seharian ini mereka banyak membantu kegiatan di panti asuhan. Jika bukan karena hukuman mungkin mereka tidak akan berakhir di tempat ini. Andai saja mereka tidak kabur di jam pelajaran mungkin kepala sekolah tidak akan mengirim mereka ke panti asuhan untuk melakukan pekerjaan sosial sebagai hukuman."Lo mau tambah?" tanya Febi."Gue mau yang keju," jawab Cia.Belum sempat mengambil potongan kuenya, tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk dan tersenyum pada mereka."Kalian laper ya? Pasti capek." Cia dan Febi hanya bisa tersenyum canggung. Dengan segera mereka mengelap bibirnya, takut jika ada sisa makanan yang tersisa di sana."Kalau kalian sudah selesai, bisa tolong ibu? Kayaknya Dedek Sat
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat