Apa yang terjadi di masa depan memang tidak bisa diprediksi. Sebagai manusia, kita hanya perlu menjalaninya dan melewatinya dengan baik tanpa ada kesalahan. Kesalahan hanya akan berakhir sebagai penyesalan. Jika itu sudah terjadi maka manusia hanya bisa berserah diri menanti keajaiban lainnya di masa depan.
Namun apakah Cia bisa mengharap keajaiban dalam kondisi seperti ini?Hanya membutuhkan waktu dua hari tetapi sudah banyak kejadian yang membuat hatinya nyeri. Mulai dari korban nafsu Pak Bonang, kecelakaan maut yang membuat tabungannya terkuras, pemecatan secara sepihak, lalu seperti belum lengkap, kesialannya ditambah dengan pengusiran paksa yang dilakukan ibu kos. Bukan karena Cia belum membayar uang sewa. Melainkan ia menolak keras harga sewa yang naik secara mendadak. Oleh karena itu ibu kos memintanya keluar jika tidak mematuhi peraturan baru. Bukan bermaksud tidak patuh, hanya saja uang Cia benar-benar habis saat ini untuk biaya rumah sakit.Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang?Sepulang dari rumah sakit, Cia sudah membayangkan kasur empuknya yang sangat nyaman. Namun pada kenyataannya dia malah berakhir di sebuah kursi halte yang dingin. Malam sudah semakin larut, tetapi Cia seperti orang bodoh berada di pinggir jalan dengan dua koper di tangannya.Ke mana dia akan pergi sekarang? Cia tidak memiliki siapapun di sini."Febi," gumam Cia saat teringat dengan sahabatnya.Benar, tidak ada pilihan lain. Dia akan meminta bantuan sahabatnya itu. Cia akan membuang semua rasa malunya. Jika Febi melihatnya seperti ini, gadis itu pasti akan marah karena tidak menghubunginya langsung dan tak menganggapnya ada.***Cia menunggu di lobi apartemen dengan gelisah. Dia menggigit bibirnya untuk mengurangi rasa segan. Febi adalah jalan keluar terakhirnya. Jika gadis itu tidak bisa membantu maka dengan terpaksa Cia akan pulang kampung dan ikut berkebun bersama ibu dan neneknya.Namun bagaimana nasib pria yang masih belum tak sadarkan diri di rumah sakit itu?Cia mengerang dan mengacak rambutnya frustrasi. Dia sangat ingin menangis saat ini. Namun menangis di tempat umun seperti ini bukanlah jawaban."Cia!" Suara melengking itu membuat Cia menoleh.Dari jauh, seorang gadis yang terlihat menggemaskan dengan baju tidur berwarna merah muda, bando merah muda, serta masker kecantikan yang menutupi wajahnya berlari mendekat.Melihat kedatangan Febi, Cia tidak bisa menahan diri lagi. Dia langsung memeluk sahabatnya itu dan tangisnya pun pecah. Cia memang belum bercerita apapun pada Febi. Dia hanya tidak mau gadis itu ikut pusing memikirkan masalahnya. Jika ia bercerita, sudah dipastikan Febi akan membantunya."Lo kenapa?" tanya Febi melihat Cia yang datang dengan dua koper."Gu—gue... gu—gue...""Ssstt.. oke, lo tenang. Kita ke tempat gue dulu. Ayo." Febi dengan cepat membantu Cia untuk membawa barang-barangnya.Melihat Cia yang menangis seperti ini membuat hati Febi sakit. Pasti ini adalah puncaknya. Entah apa masalah yang Cia hadapi, tetapi Febi yakin jika itu sudah melewati batas kesabaran sahabatnya. Cia tidak pernah menangisi kehidupannya. Terakhir ia menangis itu di saat melihat kucing yang mati karena tertabrak mobil.Sesampainya di unit apartemennya, Febi dengan sigap mengambil air putih. Dia memberikannya pada Cia dan mengelus bahunya pelan."Sekarang lo cerita ada apa?"***Tengah malam sudah hadir tanpa terasa. Memaksa semua orang menghentikan aktivitasnya untuk segera beristirahat. Namun itu tidak berlaku untuk seorang pria yang masih betah berada di ruang kerjanya. Kaca mata baca yang ia gunakan seolah menambah kesan serius pada pria itu.Dengan ditemani kopi hitam, Agam akan terjaga lebih lama malam ini. Dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda agar besok pekerjaannya tidak menumpuk. Sebenarnya Agam tidak selalu sibuk seperti ini. Biasanya ada Dika yang membantu meringankan pekerjaannya. Namun sayangnya pria itu tengah terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan masih belum sadar hingga saat ini. Ingatkan Agam untuk kembali melihat kondisi pria itu besok.Agam melepas kaca matanya dan mulai bersandar. Dia menghela napas kasar sambil memijat pangkal hidungnya. Sekarang dia sadar jika Dika memiliki peran yang sangat penting dalam pekerjaannya. Tanpa sekretarisnya itu, Agam benar-benar kesulitan. Begitu banyak pekerjaan yang Dika lakukan untuknya. Anehnya Agam tidak pernah mendengar pria itu mengeluh. Berbeda dengan dirinya yang baru satu hari tanpa Dika tetapi sudah berdecak puluhan kali."Kayaknya gue butuh pengganti Dika untuk sementara," gumam Agam mulai memejamkan mata.Dia akan tidur selama beberapa menit sebelum menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepertinya Agam akan menginap di kantor malam ini. Bisa saja dia mengerjakan pekerjaannya di rumah. Namun dia tidak mau terlena dan membuatnya lebih memilih untuk berleha-leha. Pekerjaannya sangat penting dan harus segera diselesaikan.***Seperti dugaannya, Febi benar-benar marah mendengar cerita Cia. Bahkan masker di wajahnya sudah retak tak berbentuk. Tangannya terkepal dan memukul udara dengan kesal. Membayangkan jika ia tengah memukul burung Pak Bonang saat ini. Ah tidak, Febi bahkan jijik untuk menyentuh pria itu."Fix, bos lo dipelet sama Beruk Bonang. Gue yakin minumnya dikasih bulu ketek," celetuk Febi.Cia sedikit tersenyum mendengar itu. Tangisnya sudah reda tetapi mata bengkak akan selalu ada. Memang tak salah jika ia menjadikan Febi sebagai tempatnya bersandar. Gadis itu benar-benar menerimanya dengan tangan terbuka."Lo harusnya lapor polisi.""Nggak ada bukti, Feb. Gue nggak lapor polisi aja bisa dipecat, apalagi lapor polisi? Apa nggak dibikin gila hidup gue sama si Beruk nanti?""Lagian bos lo juga bego, ih. Nyebelin banget. Masa nggak bisa liat yang bener siapa? Padahal udah jelas-jelas wajah Pak Bonang itu wajah-wajah penjahat kelamin, mesum abis!""Biarin, lah. Biar dia kena batunya sendiri nanti." Cia hanya bisa pasrah. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia akan bertahan hidup. Itu yang terpenting."Jadi rencana lo gimana?"Cia menatap Febi dengan wajah memelasnya. "Gue akan cari kerja buat bayar sisa biaya rumah sakit, tapi selama gue belum dapet kerja, gue mau minta tolong sama lo.""Apa itu?" Febi berbisik penasaran."Tampung gue."Bukannya kesal, Febi malah berteriak senang. Dia bertepuk tangan heboh dan memeluk Cia erat."Akhirnya kita tinggal berdua! Gue seneng banget!""Cuma sampai gue dapet kerja, Febi."Febi berdecak dan melepas pelukannya. "Selamanya juga nggak apa-apa, kok."Cia mencibir, "Mau sampe nenek-nenek?"Anehnya Febi mengangguk setuju. "Boleh juga. Sampai kita jalannya pake tongkat," kekehnya geli."Orang gila!""Oke, kita harus rayain hari bahagia ini. Lo mau ngapain sekarang? Main PS? Karokean? Atau apa?"Cia menatap Febi tidak percaya. "Feb, gue abis bangkrut, Feb. Hari bahagia apa yang lo maksud?"Kadang tingkah Febi membuatnya geleng-geleng kepala. Apa semua anak bungsu kaya raya memang seperti ini?"Ah elah, biaya rumah sakit gampang, lah. Biar gue bayarin dulu."Cia dengan cepat menggeleng. "Awas aja kalau lo bayarin!""Dih, orang aneh. Lo itu dibantu, malah ngamuk." Febi memutar matanya jengah."Bantu yang lain aja." Cia mulai menatap Febi penuh harap."Apa itu, sahabat?""Info loker, dong?" Cia bertanya dengan cengiran lebarnya.Dia sedang tidak bercanda. Cia benar-benar membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Meski Febi menyayanginya dan rela melakukan apapun, tetapi Cia tidak mau menjadi benalu untuk hidup gadis itu. Sebisa mungkin dia akan mencoba berdiri dengan kakinya sendiri.Meskipun harus dengan menangis***TBCDi meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya."Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya."Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu."Resep dari Mama gue.""Ah, pantes.""Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya."Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai wak
“Pak Agam?"Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahab
Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat