Apa yang terjadi di masa depan memang tidak bisa diprediksi. Sebagai manusia, kita hanya perlu menjalaninya dan melewatinya dengan baik tanpa ada kesalahan. Kesalahan hanya akan berakhir sebagai penyesalan. Jika itu sudah terjadi maka manusia hanya bisa berserah diri menanti keajaiban lainnya di masa depan.
Namun apakah Cia bisa mengharap keajaiban dalam kondisi seperti ini?Hanya membutuhkan waktu dua hari tetapi sudah banyak kejadian yang membuat hatinya nyeri. Mulai dari korban nafsu Pak Bonang, kecelakaan maut yang membuat tabungannya terkuras, pemecatan secara sepihak, lalu seperti belum lengkap, kesialannya ditambah dengan pengusiran paksa yang dilakukan ibu kos. Bukan karena Cia belum membayar uang sewa. Melainkan ia menolak keras harga sewa yang naik secara mendadak. Oleh karena itu ibu kos memintanya keluar jika tidak mematuhi peraturan baru. Bukan bermaksud tidak patuh, hanya saja uang Cia benar-benar habis saat ini untuk biaya rumah sakit.Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang?Sepulang dari rumah sakit, Cia sudah membayangkan kasur empuknya yang sangat nyaman. Namun pada kenyataannya dia malah berakhir di sebuah kursi halte yang dingin. Malam sudah semakin larut, tetapi Cia seperti orang bodoh berada di pinggir jalan dengan dua koper di tangannya.Ke mana dia akan pergi sekarang? Cia tidak memiliki siapapun di sini."Febi," gumam Cia saat teringat dengan sahabatnya.Benar, tidak ada pilihan lain. Dia akan meminta bantuan sahabatnya itu. Cia akan membuang semua rasa malunya. Jika Febi melihatnya seperti ini, gadis itu pasti akan marah karena tidak menghubunginya langsung dan tak menganggapnya ada.***Cia menunggu di lobi apartemen dengan gelisah. Dia menggigit bibirnya untuk mengurangi rasa segan. Febi adalah jalan keluar terakhirnya. Jika gadis itu tidak bisa membantu maka dengan terpaksa Cia akan pulang kampung dan ikut berkebun bersama ibu dan neneknya.Namun bagaimana nasib pria yang masih belum tak sadarkan diri di rumah sakit itu?Cia mengerang dan mengacak rambutnya frustrasi. Dia sangat ingin menangis saat ini. Namun menangis di tempat umun seperti ini bukanlah jawaban."Cia!" Suara melengking itu membuat Cia menoleh.Dari jauh, seorang gadis yang terlihat menggemaskan dengan baju tidur berwarna merah muda, bando merah muda, serta masker kecantikan yang menutupi wajahnya berlari mendekat.Melihat kedatangan Febi, Cia tidak bisa menahan diri lagi. Dia langsung memeluk sahabatnya itu dan tangisnya pun pecah. Cia memang belum bercerita apapun pada Febi. Dia hanya tidak mau gadis itu ikut pusing memikirkan masalahnya. Jika ia bercerita, sudah dipastikan Febi akan membantunya."Lo kenapa?" tanya Febi melihat Cia yang datang dengan dua koper."Gu—gue... gu—gue...""Ssstt.. oke, lo tenang. Kita ke tempat gue dulu. Ayo." Febi dengan cepat membantu Cia untuk membawa barang-barangnya.Melihat Cia yang menangis seperti ini membuat hati Febi sakit. Pasti ini adalah puncaknya. Entah apa masalah yang Cia hadapi, tetapi Febi yakin jika itu sudah melewati batas kesabaran sahabatnya. Cia tidak pernah menangisi kehidupannya. Terakhir ia menangis itu di saat melihat kucing yang mati karena tertabrak mobil.Sesampainya di unit apartemennya, Febi dengan sigap mengambil air putih. Dia memberikannya pada Cia dan mengelus bahunya pelan."Sekarang lo cerita ada apa?"***Tengah malam sudah hadir tanpa terasa. Memaksa semua orang menghentikan aktivitasnya untuk segera beristirahat. Namun itu tidak berlaku untuk seorang pria yang masih betah berada di ruang kerjanya. Kaca mata baca yang ia gunakan seolah menambah kesan serius pada pria itu.Dengan ditemani kopi hitam, Agam akan terjaga lebih lama malam ini. Dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda agar besok pekerjaannya tidak menumpuk. Sebenarnya Agam tidak selalu sibuk seperti ini. Biasanya ada Dika yang membantu meringankan pekerjaannya. Namun sayangnya pria itu tengah terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan masih belum sadar hingga saat ini. Ingatkan Agam untuk kembali melihat kondisi pria itu besok.Agam melepas kaca matanya dan mulai bersandar. Dia menghela napas kasar sambil memijat pangkal hidungnya. Sekarang dia sadar jika Dika memiliki peran yang sangat penting dalam pekerjaannya. Tanpa sekretarisnya itu, Agam benar-benar kesulitan. Begitu banyak pekerjaan yang Dika lakukan untuknya. Anehnya Agam tidak pernah mendengar pria itu mengeluh. Berbeda dengan dirinya yang baru satu hari tanpa Dika tetapi sudah berdecak puluhan kali."Kayaknya gue butuh pengganti Dika untuk sementara," gumam Agam mulai memejamkan mata.Dia akan tidur selama beberapa menit sebelum menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepertinya Agam akan menginap di kantor malam ini. Bisa saja dia mengerjakan pekerjaannya di rumah. Namun dia tidak mau terlena dan membuatnya lebih memilih untuk berleha-leha. Pekerjaannya sangat penting dan harus segera diselesaikan.***Seperti dugaannya, Febi benar-benar marah mendengar cerita Cia. Bahkan masker di wajahnya sudah retak tak berbentuk. Tangannya terkepal dan memukul udara dengan kesal. Membayangkan jika ia tengah memukul burung Pak Bonang saat ini. Ah tidak, Febi bahkan jijik untuk menyentuh pria itu."Fix, bos lo dipelet sama Beruk Bonang. Gue yakin minumnya dikasih bulu ketek," celetuk Febi.Cia sedikit tersenyum mendengar itu. Tangisnya sudah reda tetapi mata bengkak akan selalu ada. Memang tak salah jika ia menjadikan Febi sebagai tempatnya bersandar. Gadis itu benar-benar menerimanya dengan tangan terbuka."Lo harusnya lapor polisi.""Nggak ada bukti, Feb. Gue nggak lapor polisi aja bisa dipecat, apalagi lapor polisi? Apa nggak dibikin gila hidup gue sama si Beruk nanti?""Lagian bos lo juga bego, ih. Nyebelin banget. Masa nggak bisa liat yang bener siapa? Padahal udah jelas-jelas wajah Pak Bonang itu wajah-wajah penjahat kelamin, mesum abis!""Biarin, lah. Biar dia kena batunya sendiri nanti." Cia hanya bisa pasrah. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia akan bertahan hidup. Itu yang terpenting."Jadi rencana lo gimana?"Cia menatap Febi dengan wajah memelasnya. "Gue akan cari kerja buat bayar sisa biaya rumah sakit, tapi selama gue belum dapet kerja, gue mau minta tolong sama lo.""Apa itu?" Febi berbisik penasaran."Tampung gue."Bukannya kesal, Febi malah berteriak senang. Dia bertepuk tangan heboh dan memeluk Cia erat."Akhirnya kita tinggal berdua! Gue seneng banget!""Cuma sampai gue dapet kerja, Febi."Febi berdecak dan melepas pelukannya. "Selamanya juga nggak apa-apa, kok."Cia mencibir, "Mau sampe nenek-nenek?"Anehnya Febi mengangguk setuju. "Boleh juga. Sampai kita jalannya pake tongkat," kekehnya geli."Orang gila!""Oke, kita harus rayain hari bahagia ini. Lo mau ngapain sekarang? Main PS? Karokean? Atau apa?"Cia menatap Febi tidak percaya. "Feb, gue abis bangkrut, Feb. Hari bahagia apa yang lo maksud?"Kadang tingkah Febi membuatnya geleng-geleng kepala. Apa semua anak bungsu kaya raya memang seperti ini?"Ah elah, biaya rumah sakit gampang, lah. Biar gue bayarin dulu."Cia dengan cepat menggeleng. "Awas aja kalau lo bayarin!""Dih, orang aneh. Lo itu dibantu, malah ngamuk." Febi memutar matanya jengah."Bantu yang lain aja." Cia mulai menatap Febi penuh harap."Apa itu, sahabat?""Info loker, dong?" Cia bertanya dengan cengiran lebarnya.Dia sedang tidak bercanda. Cia benar-benar membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Meski Febi menyayanginya dan rela melakukan apapun, tetapi Cia tidak mau menjadi benalu untuk hidup gadis itu. Sebisa mungkin dia akan mencoba berdiri dengan kakinya sendiri.Meskipun harus dengan menangis***TBCDi meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya."Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya."Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu."Resep dari Mama gue.""Ah, pantes.""Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya."Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai wak
“Pak Agam?"Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahab
Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Hari kedua, Cia masih mengalami culture shock. Pekerjaan yang bukan di bidangnya membuatnya sedikit kewalahan. Namun bukan berarti Cia tidak bisa. Dia hanya memerlukan sedikit waktu untuk adaptasi.Andai saja Cia tidak bekerja untuk Agam mungkin dia akan dengan senang hati belajar. Namun sejak awal dia bekerja di sini karena terpaksa dengan keadaan. Harapan Cia tidak banyak. Dia hanya akan bekerja untuk mendapatkan uang dan tanpa gangguan. Itu saja.Dering telepon kantor di meja Cia kembali berdering. Ini sudah ke-4 kalinya sejak 15 menit terakhir. Kehidupannya sebagai sekretaris benar-benar luar biasa. Ingatkan Cia untuk memberi pujian pada Dika yang memiliki kesabaran dan keuletan yang tinggi."Kamu ke ruangan saya sebentar."Mata Cia terpejam mendengar suara berat di seberang telepon. Lagi-lagi Agam yang menelponnya. Padahal dia baru saja menghubunginya delapan menit yang lalu.Dengan malas Cia berdiri dan masuk ke dalam ruangan."Ada apa, Pak?""Keluar." Tanpa meliriknya Agam berb