Tatapan mata Cia terlihat begitu tajam saat ini. Dahinya berkerut dalam membaca kertas di tangannya. Emosi tidak bisa ia tahan lebih lama lagi. Bisa-bisanya dia menjadi tersangka utama atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat.
"Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina, teman satu kantornya.Cia masih terdiam dengan rahang yang mengeras. Dengan kesal dia meremas kertas di tangannya hingga tidak berbentuk. Niat ingin bersaksi atas kejahatan yang dilakukan Pak Bonang harus gagal saat pria bajingan itu lebih dulu memukul mundur dirinya.Pemecatan secara tidak hormat telah Cia dapatkan. Sialnya, direktur perusaan sendiri yang turun tangan memecatnya. Dunia memang sudah gila. Benar-benar seperti acara komedi."Di mana si Beruk Bonang itu?" tanya Cia pada Tina."Lagi meeting sama Pak Bos di lantai tujuh."Dengan cepat Cia mulai beranjak pergi, tetapi Tina lebih dulu menahannya."Lo mau labrak Pak Bonang?" tanyanya ragu."Bukan cuma Pak Bonang, tapi Pak Bos juga.""Ci, lo serius?" Tina mulai khawatir."Buat apa gue tahan lagi? Toh, gue udah dipecat."Setelah itu Cia benar-benar pergi. Tangannya masih meremas kertas dengan perasaan yang teramat kesal. Jika bisa, dia ingin merobek kertas itu, tetapi dia lebih suka untuk melemparnya ke wajah Beruk Bonang nanti."Maaf, Mbak. Di dalem ada rapat," ucap sekretaris Pak Bos."Saya tau."Cia berdiri di depan pintu ruangan sambil menarik napas dalam. Untuk pertama kalinya dia berbuat nekat seperti ini. Takut? Tentu saja. Namun jika dia diam, Pak Bonang akan semakin terbang di atas awan."Kalau ada sesuatu biar saya sampaikan, Mbak."Cia menggeleng dan mendorong wanita itu menjauh. Dia mengetuk pintu sebentar dan langsung masuk ke dalam ruang rapat tanpa aba-aba.Semua orang mulai menatapnya. Lebih tepatnya menatapnya heran karena kedatangannya yang terkesan tidak sopan. Peduli setan dengan rasa sopan, harga dirinya sudah diinjak-injak di tempat ini lebih dulu. Hanya ada beberapa orang di dalam ruangan, tetapi mereka semua memiliki jabatan yang cukup tinggi."Ngapain kamu di sini?" Pak Bonang berdiri dan menatapnya tajam.Cia hanya melirik sebentar dan menelan ludahnya susah payah. Setelah itu dia menghampiri Bos besar yang juga menatapnya bingung."Pak Fatih pecat saya?" tanya Cia langsung.Pak Fatih selaku direktur utama langsung menatap Pak Bonang yang mengangguk. Kemudian Pak Fatih kembali menatap Cia dengan tajam."Jadi kamu orangnya.""Iya, Pak. Saya orang yang dipecat secara tidak hormat dengan alasan yang tidak jelas," sahut Cia berani.Cia yakin semua orang menatapnya tidak percaya saat ini. Selama ini dia dikenal sebagai karyawan yang cukup pendiam dan selalu berada di zona aman. Namun semuanya hancur saat Pak Bonang mulai berulah. Cia seolah mengeluarkan sisi lain dari dirinya yang ia pendam selama ini."Dasar tidak sopan! Kamu sudah dipecat. Lebih baik kamu keluar atau saya panggil satpam," bentak Pak Bonang.Cia masih tidak memedulikan celotehan Pak Bonang. Dia masih menatap Pak Fatih dengan tatapan putus asa."Seharusnya yang Bapak pecat itu dia," tunjuk Cia pada Pak Bonang."Kamu!" cela Pak Bonang lagi."Saya memang karyawan rendah, tapi bukan berarti saya mau diperlakukan seperti ini. Kalau Pak Fatih mau cek, sudah berapa banyak karyawan wanita dari departemen pemasaran yang mengundurkan diri atau dipecat? Itu semua karena apa? Ya karena si Beruk Bonang itu!" Cia meninggikan kalimat terakhirnya.Pak Bonang mulai menghampirinya saat Cia sudah tidak bisa mengendalikan diri. Semua orang juga memilih diam karena ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi."Bonang Oneng itu penjahat kelamin, Pak!" ucap Cia lagi dengan emosi."Apa maksud kamu?" Pak Fatih mulai berdiri karena terkejut. Bukan keluhan ini yang disampaikan Pak Bonang padanya."Dia mau fitnah saya, Pak. Dia nggak terima dipecat." Pak Bonang membela diri."Benar, saya tidak terima dipecat dengan kesalahan yang tidak saya perbuat. Tapi jika itu sudah keputusan Bapak Fatih yang terhormat maka saya akan terima. Saya juga nggak mau kerja di kantor toxic ini. Tapi satu hal, Pak. Kalau Bapak Fatih sudah mengetahui kenyataan yang sebenarnya, maka baik saya dan korban yang lainnya tidak akan mau menerima maaf dari Bapak.""Panggil satpam, cepat!" teriak Pak Bonang."Saya bisa keluar sendiri." Cia menatap pria menjijikan itu dengan kesal. Benar-benar manipulatif. "Tau kalau akan seperti ini jadinya, seharusnya kemarin saya tendang biji Bapak lebih keras sampai meletus!"Pernyataan Cia benar-benar membuat semua orang terkejut. Untuk pertama kalinya mereka melihat drama yang cukup menegangkan di kantor."Dan satu lagi, Pak." Cia kembali beralih pada Pak Fatih, "Kalau bisa ruang fotokopi nggak perlu dikasih pintu. Takutnya ada korban lain yang nggak bisa kabur."Persetan dengan kotak keluhan, Cia akan menyampaikannya langsung pada Pak Fatih."Saya permisi," lanjut Cia.Kepergian Cia mengundang banyak pertanyaan. Semua orang mulai berbondong-bondong menghampiri Pak Bonang untuk menanyakan kebenaran. Pengelakan tentu pria itu berikan. Namun Cia yakin, seiring berjalannya waktu semua akan terbongkar. Meskipun tanpa bukti, tetapi Cia sudah berani membongkar semuanya. Setidaknya pandangan semua orang pada penjahat kelamin itu akan berubah."Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina saat ia sudah kembali ke mejanya dan mulai membereskan barang-barangnya.Cia memejamkan matanya sebentar dan menarik napas dalam. "Gosip apa yang tersebar tentang gue?"Tina menggigit bibirnya ragu. "Lo dipecat karena korupsi."Cia terkekeh mendegarnya. "Jadi ini yang dirasain Mbak Tasya dulu?""Maksud lo?" tanya Tina bingung. "Jadi Mbak Tasya nggak korupsi gitu?""Lo pikir yang pegang dana anak pemasaran siapa, Tin? Emang kita ada cela buat korupsi?" ucapan Cia seolah membuat teman-temannya tersadar.Benar juga."Kalau duit ilang, ya jelas si Bonang Oneng itu yang ambil."Sebelum pergi, Cia menatap satu-persatu temannya. "Apapun yang kalian dengar tentang gue, itu nggak bener. Buat cewek-cewek, mending kalian resign duluan sebelum dipecat kayak gue.""Cia...,""Bener kata Mbak Tasya. Beruk Bonang itu penjahat kelamin. Kalian harus hati-hati," lanjut CiaCia tidak mau menutupi keburukan yang terjadi. Jika karyawan sebelumnya tutup mulut karena takut dengan ancaman, maka Cia tidak mau mengikutinya. Setidaknya harus ada seseorang yang menentang kebusukan ini."Gue pergi dulu. Jaga diri lo baik-baik."Cia menepuk bahu Tina pelan dan mulai pergi. Meninggalkan semua orang yang mulai khawatir dengan nasibnya. Setelah apa yang Cia lakukan. Dia harap jika dirinya adalah korban terakhir.Di luar gedung, Cia langsung terduduk lemas di anak tangga. Energinya seolah habis setelah mengeluarkan semua kemarahan di hatinya. Apalagi dia mengatakannya di depan orang-orang yang memiliki jabatan lebih tinggi. Cia mulai khawatir dengan pandangan orang-orang tentang dirinya. Memang benar jika emosi bisa menggelapkan mata. Tanpa berpikir, dia nekat melabrak Pak Bonang secara langsung. Tanpa tahu apa yang bisa pria itu lakukan padanya nanti.Memikirkan hal itu membuat Cia bergidik ngeri. Dari mana dia mendapatkan keberanian seperti itu? Selama ini dia selalu menjauhi konflik. Namun apa yang ia lakukan tadi seperti bukan dirinya. Mungkin karena rasa marah yang ia rasakan. Terbukti setelah emosinya berangsur hilang, Cia mulai merasa takut. Semoga Pak Bonang tidak lagi mengganggunya. Jika bisa Cia tidak akan mau kembali bertemu dengannya.***Di dalam ruangan rumah sakit itu, terlihat seorang pria tengah menatap pria lainnya yang terbaring lemah tak berdaya. Banyaknya alat-alat kesehatan yang tersambung ke tubuh pasien membuat pria itu menghela napas kasar. Ternyata kecelakaan yang terjadi memang cukup parah. Beruntung nyawanya berhasil diselamatkan."Kapan lo bangun?" tanya Agam tak acuh. Tidak ada rasa simpati dan empati yang terlihat di wajahnya.Pukulan keras mendarat di lengannya. Dia menoleh dan melihat seorang gadis yang menatapnya kesal."Nggak ada kasiannya nih orang. Baru juga semalem dia selesai operasi."Kasihan? Tentu saja Agam kasihan. Biar bagaimanapun dia juga manusia yang memiliki hati. Namun bedanya, dia sedikit kaku untuk menunjukan perasaan aneh itu."Gue balik dulu." Agam melirik jam tangannya sebentar."Tapi lo belum ketemu sama—""Nanti," jawab Agam singkat dan berlalu keluar ruangan.Febi, gadis itu menghela napas kasar. Tidak lagi merasa heran dengan tingkah dingin kakaknya. Bahkan saat sekretarisnya dalam kondisi memprihatinkan seperti ini pun, dia masih bersikap biasa."Dasar es batu," rutuknya.Tak lama pintu kamar terbuka dan Agam kembali muncul."Kalau kamu nggak balik, gaji dipotong," ucapnya santai dan kembali pergi.Febi mencibir dan mulai bergegas. "Gagal bolos, deh."***TBCApa yang terjadi di masa depan memang tidak bisa diprediksi. Sebagai manusia, kita hanya perlu menjalaninya dan melewatinya dengan baik tanpa ada kesalahan. Kesalahan hanya akan berakhir sebagai penyesalan. Jika itu sudah terjadi maka manusia hanya bisa berserah diri menanti keajaiban lainnya di masa depan.Namun apakah Cia bisa mengharap keajaiban dalam kondisi seperti ini?Hanya membutuhkan waktu dua hari tetapi sudah banyak kejadian yang membuat hatinya nyeri. Mulai dari korban nafsu Pak Bonang, kecelakaan maut yang membuat tabungannya terkuras, pemecatan secara sepihak, lalu seperti belum lengkap, kesialannya ditambah dengan pengusiran paksa yang dilakukan ibu kos. Bukan karena Cia belum membayar uang sewa. Melainkan ia menolak keras harga sewa yang naik secara mendadak. Oleh karena itu ibu kos memintanya keluar jika tidak mematuhi peraturan baru. Bukan bermaksud tidak patuh, hanya saja uang Cia benar-benar habis saat ini untuk biaya rumah sakit.Lalu apa yang harus ia lakukan sek
Di meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya."Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya."Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu."Resep dari Mama gue.""Ah, pantes.""Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya."Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai wak
“Pak Agam?"Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas."Ada pertanyaan, Pak?"Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.Mereka bersahab
Terlihat seorang gadis keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Masih dengan mata terpejam, Febi berjalan ke arah dapur. Tak jarang dia menabrak perabotan rumah karena tidak fokus. Hal itu membuat Cia yang sudah bangun sedari tadi mulai menuntun tubuh Febi agar berjalan dengan benar.Baru saja melepaskan Febi yang sudah membuka mata, Cia kembali melihat gadis itu menabrak galon air. Dengan kesal Cia menepuk keras kening Febi. Mau tidak mau membuat gadis itu membuka mata lebar. Hilang sudah rasa kantuknya."Sakit, Cia!" rutuk Febi.Cia mengabaikan Febi dan kembali fokus pada kegiatannya. "Teh?" tawarnya."Teh jahe, ya?" Febi mulai terlihat semangat, "Udah lama gue nggak minum teh jahe buatan lo. Mau juga."Cia menganggap itu sebagai pujian. Memang benar jik teh jahe buatannya sangat nikmat. Dia memiliki resep tersendiri yang turun-temurun dari keluarga ibunya."Bikin banyak banget," ucap Febi menyesap tehnya."Gue mau bawain buat bokap lo."Febi tersedak mendengar itu. Dia menepuk da
Masih di ruang kerja Agam. Keadaan ruangan itu semakin mencekam saat Febi pergi. Menahan gadis itu di tempat ini ada hal sia-sia. Jam kerja sudah dimulai, sudah dipastikan Febi harus kembali ke ruangannya.Tidak ada percakapan yang terjadi antara Agam dan Cia setelah Febi pergi. Bahkan Agam sendiri sudah mulai menyalakan komputernya, berbeda dengan Cia yang terdiam dengan bingung. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Cia seolah lupa jika dia harus bekerja dengan Agam."Kalau nggak mau kerja, kamu bisa keluar sekarang. Saya bisa cari yang lain," ucap Agam sambil membuka berkas di tangannya.Cia memejamkan matanya erat. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini. Agam benar-benar menyebalkan. Mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya."Maaf, Pak. Sebelum saya bekerja, apa boleh saya tau apa pekerjaan saya?" tanya Cia hati-hati."Febi sudah bilang?""Sudah, Pak.""Ya sudah kalau gitu, kenapa tanya lagi?"Cia menarik napas dalam dan menggigit bibirnya ke
Entah sudah berapa kali Cia menghela napas kasar dalam beberapa jam terakhir ini. Dia mengedipkan matanya beberapa kali karena rasa panas yang ia rasakan. Menghadap layar laptop sejak tadi membuatnya mulai lelah. Bukan hanya mata melainkan punggung juga. Dia tidak menyangka jika bekerja menjadi sekretaris akan serepot ini. Bahkan hal kecil pun harus ia kerjakan.Seperti saat ini. Dia baru saja melakukan konfirmasi ulang ke restoran yang akan menjadi tempat rapat mereka nanti. Secara mendadak, sekretaris dari salah satu peserta rapat memberi kabar jika tidak menyukai daun bawang. Mau tidak mau Cia harus menghubungi restoran untuk mengganti menu makanan yang aman.Dering telepon kembali berbunyi. Cia dengan segera mengangkat telepon kantor itu dengan sigap. Ternyata dari pihak keamanan di lantai bawah."Selamat siang. Saya dari keamanan lantai satu. Ini ada kiriman bunga untuk Pak Agam. Mau diambil atau diantar saja, Bu?"Cia melirik jam tangannya sebentar. Terlalu lama jika ia yang men
Tubuh yang lelah tak bisa lagi terhindarkan. Jam kerja sudah berakhir jam lima sore, tetapi Cia baru bisa keluar kantor jam delapan malam. Dia tidak menyangka jika menjadi sekretaris akan seberat ini. Atau hanya sekretaris Agam yang seperti ini? Cia tahu jika perusahaan keluarga Febi bukanlah perusahaan kecil, tetapi Cia tidak menyangka jika akan sesibuk ini.Oh, ayolah. Tidak banyak kesan baik yang ia rasakan di hari pertama bekerja. Dari awal Cia juga sudah terpaksa. Oleh karena itu dia tidak terlalu menikmatinya.Langit sudah sangat gelap. Di luar kantor, Cia sudah bersiap untuk memesan ojek online untuk pulang. Namun tiba-tiba suara berat memanggilnya. Matanya terpejam erat untuk menenangkan diri. Setelah itu dia berbalik dan tersenyum tipis."Iya, Pak?""Pesenin saya taksi," perintah Agam yang lagi-lagi tanpa menatapnya. Pria itu fokus pada ponsel di tangannya."Bukannya Pak Agam tadi bawa mobil?""Saya ngantuk, nggak bisa nyetir sendiri," jawabnya singkat dan mulai menatap Cia,
Permintaan Agam adalah sebuah perintah wajib yang harus dipatuhi. Baru hari pertama, tetapi kalimat itu sudah tertanam di benak Cia. Selain karena Agam adalah atasannya, Cia juga paham dengan sifat pria itu. Percuma jika ia membantah karena ini memang bagian dari pekerjaannya.Dengan langkah mantap, Cia berjalan memasuki rumah sakit dengan kantong plastik di tangannya. Sesuai permintaan Agam. Cia harus mengantar makan malam pria itu ke rumah sakit, lebih tepatnya ke ruang inap Dika. Hal itu juga yang membuat Cia menahan emosinya karena Agam yang tengah menjaga Dika saat ini."Permisi, Pak." Cia membuka pintu pelan.Agam yang tengah duduk di sofa menatap kedatangannya sebentar dan kembali fokus pada laptopnya."Kamu telat dua menit.""Cuma dua menit, Pak. Saya naik ke ke sini kan jalan bukan terbang.""Tetap saja waktu saya terbuang."Dih! Waktu gue yang habis buat lo doang!Cia mencibir dalam hati. Tingkah perfeksionis Agam benar-benar menjengkelkan."Kok Kak Dika pindah kamar, Pak?"
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat