Agam menatap wanita di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Terpaksa dia mengurungkan acara mandinya agar bisa mengetahui apa tujuan wanita paruh baya itu datang ke apartemennya. Tak salah jika Agam curiga, ibunya jarang sekali berkunjung ke apartemennya. Namun tidak ada angin dan hujan, di pagi hari yang cerah ini ibunya tiba-tiba datang tanpa kabar. Seperti sidak dadakan. "Mama ngapain?" tanya Agam saat melihat ibunya tengah mengawasi keadaan apartemennya dengan teliti. Bahkan wanita itu juga mengecek debu di rak buku. "Kok bersih? Kamu tau ya kalau Mama mau dateng?" Agam menggelengkan kepalanya pasrah dan berlalu ke kamarnya. Dia akan mandi sebelum terlambat berangkat ke kantor. Dia akan membiarkan ibunya melakukan apa pun yang ia suka. Toh, Agam tidak menyembunyikan apa pun. Tak butuh waktu lama untuk Agam siap dengan pakaian rapinya. Dia keluar kamar dan mencium aroma sedap dari dapur. Sambil memasang jam tangannya, Agam duduk di meja makan, menunggu ibunya menyiapka
Dengan mendorong trolinya, Cia berjalan pelan mengitari rak-rak besar di sekelilingnya. Tubuh yang lelah tidak menghentikannya untuk membeli kebutuhan asupan gizinya. Keadaan dapurnya yang sudah sepi akan bahan makanan membuatnya gelisah. Makanan adalah salah satu hal yang tak bisa dipisahkan darinya. Satu hal lainnya adalah Agam. "Gue udah selesai." Febi datang dengan troli yang penuh dengan makanan ringan. Cia menghela napas melihat apa saja yang Febi beli. "Mana sayur sama buahnya?" "Kan lo udah beli." Febi tersenyum lebar. Cia menggelengkan kepalanya dan kembali mengambil beberapa sayur dan buah lagi. Sudah menjadi rahasia umum jika Febi hampir menguasai semua isi kulkasnya. Gadis itu jarang sekali memasak dan lebih sering menumpang di tempat Cia. Cia tidak masalah, toh bahan makanan yang ia beli juga dibayar dengan kartu kredit milik Agam. "Lo tunggu sebentar, jangan ke kasir dulu. Gue mau beli masker." Febi dengan cepat berlari menuju rak kecantikan. Saat menungg
Perasaan bahagia muncul ketika satu-persatu impian mulai tercapai. Tangis darah yang pernah keluar dari mata seolah terbayar sudah. Meskipun bukan sebuah prestasi, tetapi impian tetaplah keinginan. Sulit untuk menggapainya sehingga manusia menyebutnya sebagai impian. Bagi Cia, Agam adalah salah satu impian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Fakta jika dia pernah ditolak dengan begitu menyedihkan membuat harapannya pupus. Namun Tuhan sepertinya ingin memberi sedikit kebahagiaan di hidupnya. Beberapa tahun kemudian, Cia berhasil mendapatkan apa yang ia impikan, yaitu Agam Mahawira. Bahkan tanpa ada usaha seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tatapan mata Cia masih terpaku. Menatap lekat wajah pria yang masih terlelap dalam tidurnya. Pagi telah datang, tetapi matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinar indahnya. Di remang-remang kamar, Cia sudah terbangun dengan segar. Dia seolah mendapat suntikan vitamin dari pria yang berada di sampingnya itu. Semakin lekat menatap w
Makanan yang dipesan mulai berdatangan. Aroma lezat juga sudah beterbangan memasuki indera penciuman. Namun sayang, itu tak membuat Agam berselera. Dia malah menghitung waktu kapan jam makan siang akan selesai dengan segera. Saat ini Agam benar-benar terjebak. Di kelilingi oleh dua wanita yang salah satunya adalah orang yang ia sayangi tidak bisa membuatnya menolak. Ada rasa tak enak yang bergejolak. Ingatannya tertuju pada tatapan Cia yang sedih tanpa bisa berontak. "Agam ini suka sayur, loh, Nadira," ujar Sang Ibu. "Saya tau, Tante. Kalau lagi rapat sekaligus makan siang, Agam sering pesan lalapan." "Makanya badannya bagus." Tante Nana tertawa sambil memijat lengan keras anaknya. Agam hanya bisa pasrah dan menghela napas lelah. Tidak ada lagi rasa lapar yang ia rasakan. Satu-satu hal yang ingin Agam lakukan saat ini adalah melarikan diri. "Lain kali kalian makan berdua aja, tanpa ada embel-embel pekerjaan." Saran yang menyesatkan, setidaknya bagi Agam. Agam bersikap
Seragam SMA yang melekat di tubuh seorang remaja pria itu terlihat basah karena keringat. Di tangannya terdapat bola basket yang ia genggam dengan erat. Mencoba menyalurkan rasa tak nyaman karena percakapan yang ia dengar dari dekat. Agam berada di sana, berdiri dengan telinga yang mendengar kedua orang tuanya berdebat. Topiknya masih sama, yaitu ke mana dia harus melanjutkan pendidikan setelah tamat SMA? "Kalau bukan jurusan bisnis, dia mau ke mana lagi?" "Tapi Agam tertarik dengan kedokteran, Ma." Benar, itu yang Agam inginkan. Dia ingin menjadi dokter spesialis. "Terus siapa yang terusin perusahaan kamu?" Hening. Agam tidak lagi mendengar balasan dari ayahnya. Pria itu pasti bingung akan dibawa ke mana nasib perusahaannya nanti. Agam menatap langit-langit ruangan dengan hembusan napas kasar. Setelah itu, dia keluar dari persembunyiannya sambil memantulkan bola basket. "Aku akan ambil jurusan manajemen bisnis." Ucapannya bagaikan angin segar, ibunya langsung ters
Suara deru napas yang terengah tak menghentikan lari dari seorang gadis. Melihat lift yang jauh di hadapannya bergerak tertutup membuat Febi berteriak. Semua kepala di sekitarnya menoleh mendadak. Namun saat tahu siapa yang membuat kehebohan, mereka semua kembali berpaling santai. Adik Pak Bos, itu pikir mereka semua. "Jangan tutup dulu! Tunggu!" teriak Febi lagi. Dia bernapas lega saat sebuah tangan menahan pintu lift untuk tertutup. Begitu sampai, senyumnya merekah melihat siapa yang membantunya. Dika. Namun Febi segera sadar dan menghilangkan senyumnya. Apa lagi saat tahu jika pria itu tidak sendiri. Ada Jihan di sampingnya. "Pagi, Febi," sapa Dika tersenyum manis. Ah, pria itu memang selalu ramah pada semua orang. "Pagi juga, Kak," balas Febi singkat tanpa menatap Dika. "Pagi, Kak Febi." Febi juga mendengar suara lembut menyapa. Siapa lagi jika bukan Jihan? "Pagi," balasnya mengangguk singkat. Setelah berpikir selama beberapa hari, Febi memutuskan untuk mun
Selama tiga hari terakhir, Cia hidup tanpa gairah. Entah kenapa dia merasa ada yang berubah. Kebahagiaan yang pernah ia rasakan dulu seolah sirna. Tergantian rasa asing yang bernama lelah. Benar, Cia merasa lelah dengan semua hal yang menimpa hidupnya. Dimulai dari kesedihan, kemudian kebahagiaan, lalu kembali ke kesedihan. Cia seolah dipermainkan oleh semesta. Namun dia manusia yang hanya bisa berdoa. Berharap jika keresahan yang ia rasakan agar pergi dengan segera. Agam, pria itu yang membuat hidup Cia dihiasi oleh rasa khawatir. Pria itu sedikit berubah. Cia merasa jika mereka tak sedekat dulu. Perubahan ini terjadi setelah acara makan siang Agam dan Nadira yang berhasil ia gagalkan. Pria itu beranjak menjauh. Seperti saat ini. Cia mendengarkan perintah Agam dengan seksama dan menulisnya di catatan kecil. Pria itu memberi perintah tanpa menatapnya. Membuat Cia kembali gelisah. Sebenarnya ada apa? "Itu saja, Pak?" Agam mengangguk. "Itu saja. Kamu boleh keluar." Begitu
Pemandangan asing di depan mata membuat tubuh tak bergeming. Mulut yang terbuka karena rasa terkejut tidak lagi peduli dengan perut yang lapar. Febi, gadis itu masih terdiam berusaha untuk tenang. Apa yang ia lihat saat ini membuat perasaannya campur aduk. Bahkan menurut Febi tujuh keajaiban dunia tidak ada apa-apanya dari pemandangan yang ada di depan mata. Di sofa ruang tengah villa mereka, Febi bisa melihat dua orang tengah tertidur pulas sambil berpelukan. Mereka adalah Cia dan Agam. Febi pikir Cia tidak ada di sampingnya karena bangun terlebih dulu untuk menikmati udara segar. Namun ternyata sahabatnya itu justru menikmati pelukan dari seorang Agam. Febi tidak pernah berpikir sebelumnya jika akan melihat pemandangan ini. Baginya, Agam adalah sosok yang dingin dan tak tersentuh. Namun apa yang ada di lihat saat ini seolah menghempaskan semua pikiran negatifnya. Ternyata seorang Agam Mahawira memiliki sisi hangat yang tak bisa dinikmati oleh banyak orang. Febi masih berdir