Hari yang tak disangka-sangka telah tiba. Ini yang Cia takutkan sejak dulu, yaitu kemarahan Febi. Dia tidak menyangka jika gadis itu akan menangkap basah dirinya malam ini. Beruntung Febi tidak melihat hal yang lebih parah dari sekedar pelukan. Harusnya Cia dan Agam bisa lebih berhati-hati. Saat ini keadaan benar-benar terasa mencekam. Di bangku pinggir danau ini, Febi memisahkan Cia dan Agam dengan jarak yang sangat lebar. Cia duduk di sisi sebelah kanan dan Agam duduk di sisi sebelah kiri. Di depan mereka ada Febi yang berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya begitu tajam seolah bisa membunuh Cia dan Agam saat ini juga. "Jelasim semuanya!" ujar Febi tegas. "Febi, kamu tena—" "Kak Dika, diem!" Dika langsung menutup mulutnya rapat. Dia mundur selangkah dengan teratur. Matanya tertuju pada Agam dengan tangan terangkat. Bermaksud mengatakan jika ia tidak bisa banyak membantu saat ini. "Jelasin, Cia!" Kali ini Febi merengek sambil menghentakkan kakinya. Ci
Cia menatap rumah besar di hadapannya dengan perasaan campur aduk, antara senang dan sedih. Entah sudah berapa tahun dia tidak mengunjungi rumah itu. Meskipun begitu, Cia tidak merasa asing. Di tempat ini lah terdapat kenangan masa lalu yang membuatnya teringat kembali. Ingatan akan kebahagiaan dan juga rasa trauma. "Ayo, masuk." Cia tersadar dan menarik napas dalam. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Cia tahu tidak seharusnya dia terus teringat dengan masa lalu. Toh hidupnya sudah bahagia sekarang. Namun kenangan pahit itu seolah tidak bisa hilang. Cia takut jika kesenangan yang ia rasakan ini hanyalah mimpi dan dia kembali terbangun di mimpi buruknya. "Duh, lama!" Febi menarik Cia cepat untuk masuk ke dalam rumahnya. Malam ini, secara mendadak Tante Nana mengundang Cia untuk makan malam. Awalnya Cia pikir Febi memberitahu orang tuanya tentang hubungannya dengan Agam. Namun ternyata tidak. Sahabatnya itu tidak memberi tahu siapa pun sesuai dengan perintah Cia. Artinya ma
Ramainya warung makan tidak menghentikan Cia untuk terus maju. Dia harus lincah jika tidak mau kembali terdorong mundur. Jangan anggap remeh tubuhnya yang kecil. Di dalam sana terdapat banyak tenaga dan mental yang kuat. "Saya mau telur balado, tumis sayur, sama ayam kecap, Buk." Cia menunjuk etalase makanan seperti layar tablet. Setelah makanannya siap, Cia membawanya ke meja di mana Febi dan Ridho berada. Mereka sudah memulai makan siang terlebih dahulu. "Pelan-pelan," tegur Cia saat Febi makan dengan lahap. "Gue harus siapin banyak tenaga sebelum disemprot Bu Linda lagi." Cia menatap Ridho bingung meminta penjelasan. "Biasa, salah input data," bisik Ridho. Cia mengangguk mengerti. Dia memahami posisi Febi. Dia juga pernah mengalami kesalahan dalam bekerja dan ditegur habis-habisan. Namun apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Mengangguk dan menurut tanpa membantah adalah pilihan terbaik. "Feb, lo udah masukin anak baru tadi ke grup chat belum?" tanya Ridho. "Jihan
Malam minggu adalah malam yang dinantikan oleh banyak orang. Manusia dari berbagai usia dan golongan memilih malam ini sebagai hari yang tepat untuk melepas penat. Meskipun jalanan ramai, tetapi tak menghentikan banyak orang untuk bersenang-senang. Sayangnya, kesenangan malam minggu tidak dirasakan oleh Febi. Dia seperti terjebak di lautan pasangan yang membuatnya iri. Saat ini, ia tengah duduk sendirian menunggu sate pesanannya siap. Di sekelilingnya banyak pasangan yang menikmati hidangan sate berdua. Lagi-lagi Febi mencibir penuh rasa dengki. Di dalam hati ia menyadari betapa menyedihkannya dirinya saat ini. "Tau gini gue pesen online. Cia sialan!" gerutunya. Jika tahu acara belanja dan jalan-jalan kemarin lusa adalah bentuk suap Cia agar rencana akhir pekan mereka gagal, tentu Febi akan menolak. Lihat sekarang, dia terlihat menyedihkan di tengah para pasangan yang tengah di mabuk asmara. "Mbak, ini satenya." Febi menghela napas lega saat pesanannya sudah jadi. "Berapa, Pak?"
Agam menatap wanita di hadapannya dengan tatapan menyelidik. Terpaksa dia mengurungkan acara mandinya agar bisa mengetahui apa tujuan wanita paruh baya itu datang ke apartemennya. Tak salah jika Agam curiga, ibunya jarang sekali berkunjung ke apartemennya. Namun tidak ada angin dan hujan, di pagi hari yang cerah ini ibunya tiba-tiba datang tanpa kabar. Seperti sidak dadakan. "Mama ngapain?" tanya Agam saat melihat ibunya tengah mengawasi keadaan apartemennya dengan teliti. Bahkan wanita itu juga mengecek debu di rak buku. "Kok bersih? Kamu tau ya kalau Mama mau dateng?" Agam menggelengkan kepalanya pasrah dan berlalu ke kamarnya. Dia akan mandi sebelum terlambat berangkat ke kantor. Dia akan membiarkan ibunya melakukan apa pun yang ia suka. Toh, Agam tidak menyembunyikan apa pun. Tak butuh waktu lama untuk Agam siap dengan pakaian rapinya. Dia keluar kamar dan mencium aroma sedap dari dapur. Sambil memasang jam tangannya, Agam duduk di meja makan, menunggu ibunya menyiapka
Dengan mendorong trolinya, Cia berjalan pelan mengitari rak-rak besar di sekelilingnya. Tubuh yang lelah tidak menghentikannya untuk membeli kebutuhan asupan gizinya. Keadaan dapurnya yang sudah sepi akan bahan makanan membuatnya gelisah. Makanan adalah salah satu hal yang tak bisa dipisahkan darinya. Satu hal lainnya adalah Agam. "Gue udah selesai." Febi datang dengan troli yang penuh dengan makanan ringan. Cia menghela napas melihat apa saja yang Febi beli. "Mana sayur sama buahnya?" "Kan lo udah beli." Febi tersenyum lebar. Cia menggelengkan kepalanya dan kembali mengambil beberapa sayur dan buah lagi. Sudah menjadi rahasia umum jika Febi hampir menguasai semua isi kulkasnya. Gadis itu jarang sekali memasak dan lebih sering menumpang di tempat Cia. Cia tidak masalah, toh bahan makanan yang ia beli juga dibayar dengan kartu kredit milik Agam. "Lo tunggu sebentar, jangan ke kasir dulu. Gue mau beli masker." Febi dengan cepat berlari menuju rak kecantikan. Saat menungg
Perasaan bahagia muncul ketika satu-persatu impian mulai tercapai. Tangis darah yang pernah keluar dari mata seolah terbayar sudah. Meskipun bukan sebuah prestasi, tetapi impian tetaplah keinginan. Sulit untuk menggapainya sehingga manusia menyebutnya sebagai impian. Bagi Cia, Agam adalah salah satu impian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Fakta jika dia pernah ditolak dengan begitu menyedihkan membuat harapannya pupus. Namun Tuhan sepertinya ingin memberi sedikit kebahagiaan di hidupnya. Beberapa tahun kemudian, Cia berhasil mendapatkan apa yang ia impikan, yaitu Agam Mahawira. Bahkan tanpa ada usaha seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tatapan mata Cia masih terpaku. Menatap lekat wajah pria yang masih terlelap dalam tidurnya. Pagi telah datang, tetapi matahari masih malu-malu untuk menunjukkan sinar indahnya. Di remang-remang kamar, Cia sudah terbangun dengan segar. Dia seolah mendapat suntikan vitamin dari pria yang berada di sampingnya itu. Semakin lekat menatap w
Makanan yang dipesan mulai berdatangan. Aroma lezat juga sudah beterbangan memasuki indera penciuman. Namun sayang, itu tak membuat Agam berselera. Dia malah menghitung waktu kapan jam makan siang akan selesai dengan segera. Saat ini Agam benar-benar terjebak. Di kelilingi oleh dua wanita yang salah satunya adalah orang yang ia sayangi tidak bisa membuatnya menolak. Ada rasa tak enak yang bergejolak. Ingatannya tertuju pada tatapan Cia yang sedih tanpa bisa berontak. "Agam ini suka sayur, loh, Nadira," ujar Sang Ibu. "Saya tau, Tante. Kalau lagi rapat sekaligus makan siang, Agam sering pesan lalapan." "Makanya badannya bagus." Tante Nana tertawa sambil memijat lengan keras anaknya. Agam hanya bisa pasrah dan menghela napas lelah. Tidak ada lagi rasa lapar yang ia rasakan. Satu-satu hal yang ingin Agam lakukan saat ini adalah melarikan diri. "Lain kali kalian makan berdua aja, tanpa ada embel-embel pekerjaan." Saran yang menyesatkan, setidaknya bagi Agam. Agam bersikap