Suasana pantry saat ini benar-benar canggung. Cia menggigit bibirnya resah sambil menatap punggung Ridho. Pria itu tengah mengaduk kopinya dengan gerakan yang benar-benar pelan, membuat Cia gemas dibuatnya. Di dalam otaknya saat ini banyak berlarian pikiran buruk. Bagaimana bisa dia teledor dan tertangkap basah oleh Ridho? Cia melirik Agam yang tengah duduk dengan tenang. Dia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan saat ini, yang pasti jika dilihat dari luar sepertinya hanya dirinya sendiri yang panik. Bahkan Agam seperti tidak berniat membantah isi pikiran Ridho. "Saya permisi." Ridho menunduk sebentar pada Agam sebelum beranjak keluar pantry. Sebelum benar-benar pergi, dengan cepat Cia mencegahnya. Gadis itu berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangannya lebar. Dia menatap Ridho dengan tatapan memohonnya. "Duduk dulu." Ridho ingin menolak, tetapi saat melihat Agam yang juga menatapnya membuat nyali Ridho menciut. Dia meletakkan kopinya di meja dan ikut menarik
Cia menghela napas lega ketika selesai membersihkan rumahnya. Dia melihat keadaan kamarnya dengan senyum merekah. Benar-benar bersih dan rapi. Kesibukannya dalam bekerja sering kali membuatnya mengabaikan kerapian. Namun di hari minggu ini ia beruntung karena Agam tidak mengganggunya. Namun jika pria itu mengganggunya maka Cia juga akan dengan senang hati menerimanya. Ah, cinta memang bisa merubah segalanya. Tubuh yang sudah lengket tidak membuat Cia bergegas membersihkan diri. Dia kembali ke dapur dan melihat satu kantong plastik berisi jahe. Seperti sudah menjadi kegiatan rutin, akhir-akhir ini Cia selalu membuat teh jahe. Untuk siapa lagi jika bukan Ridho. Anak berbakti itu benar-benar memikirkan kesehatan ibunya. Selagi mengeringkan tubuhnya, Cia memilih untuk mengupas jahe-jahe itu. Saat melihat jahe, entah kenapa Cia langsung teringat dengan ibunya. Bagaimana kabar wanita itu di desa? Apa ia hidup sehat bersama neneknya? Ingatkan Cia untuk menghubungi ibunya nanti saat p
Patah hati memang hal yang menyebalkan. Patah hati bisa menimbulkan efek yang tidak mengenakan untuk setiap orang. Seperti yang Cia rasakan saat ini. Dia pikir hari Senin akan menjadi hari yang menyenangkan karena bisa kembali bertemu dengan kekasihnya. Namun sayangnya karena ia melihat kejadian kemarin sore, membuat rasa semangat Cia menguap. Bak seperti orang sakit, dia tidak memiliki gairah dalam menjalani harinya. Dia kembali menjadi Cia yang dulu berhati keras. Bahkan jika bisa, dia ingin mengasingkan diri dan tak melihat Agam untuk hari ini. Sayangnya sebagai seorang karyawan yang memiliki tanggung jawab, Cia tidak bisa melakukannya. Bisa saja Cia langsung meminta kejelasan mengenai apa yang ia lihat kemarin pada Agam. Sayangnya dia tidak melakukannya. Lebih tepatnya tidak mau. Cia hanya takut mendapat jawaban yang akan semakin melukai hatinya. Sebisa mungkin dia meyakinkan diri untuk lebih sadar diri saat ini. Dering telepon kantor berbunyi. Dengan cepat Cia mengangkatn
Saat ini, punggung Cia terasa sangat panas. Seperti ada laser yang bergerak cepat menembusnya. Dia berbalik dan langsung menahan napas. Pantas saja dia merasa tidak enak sedari tadi. Ternyata Agam berdiri tepat di belakangnya, bersandar pada meja dapur tanpa suara. Menatapnya lekat tanpa melakukan apapun. Bahkan sinar laser sepertinya akan kalah dengan tatapan tajam pria itu. Cia mendekat dan meletakkan kopi instan buatannya di samping Agam. "Jadi, saya harus cari restoran baru atau gimana, Pak?" tanya Cia mencoba untuk profesional. Bukankah memang ini tujuan Agam menemuinya? "Nggak perlu." "Terus?" Cia menggaruk pelipisnya bingung. Mulai merasa tidak nyaman. "Ada yang lebih penting dari itu." Agam mulai mendekat. Dengan cepat Cia mengalihkan pandangannya dan berbalu menuju sofa ruang tengah. Dia memilih untuk duduk di sana tanpa menatap Agam. Dia tidak boleh luluh kali ini. Cia memang keras kepala. Jika tidak keras kepala tidak mungkin dia masih mencintai Agam sampai
Jalanan yang ramai membuat Febi berdecak lelah. Punggungnya yang sudah kaku ingin segera bersandar pada empuknya kasur. Namun sepertinya keinginannya kali ini harus membutuhkan sedikit kesabaran. Jam pulang kantor memang membuat jalanan padat, apalagi Febi juga pengguna mobil. Semakin terasa sudah letihnya di jalan. Ketika akan berbelok, Febi merasakan sesuatu yang tidak beres pada mobilnya. Dahinya berkerut saat rasa panik mulai menyerangnya. Akhirnya Febi memilih untuk menepi ketika jalanan cukup lenggang. Dengan cepat dia keluar dari mobil untuk melihat kondisi ban mobilnya. Seperti dugaannya, ban mobil bagian depan sebelah kiri sudah benar-benar kempes. Febi yakin jika bannya mengalami kebocoran. "Hari ini apes banget, dah!" gerutu Febi. Hari ini benar-benar menjadi hari yang melelahkan untuknya. Selain karena efek menstruasi, kewarasannya juga diuji oleh teguran dari atasannya di kantor tadi. Bukan main galaknya membuat Febi ingin menangis rasanya. Tidak peduli jika ia an
Di Jumat malam, kegiatan wanita yang sudah Febi rencanakan tidak terlaksana dengan baik. Jadwal yang sudah ia susun rapi sejak satu minggu yang lalu gagal karena dirinya sendiri. Padahal bayangan akan pijatan di kepala serta punggungnya saat spa masih membayangi pikirannya. Sayangnya, kondisi tubuhnya sedang tidak memungkinkan untuk saat ini. Cia meletakkan mangkok yang berisi sayur sop buatannya dengan lemas. Dia menarik napas dalam mencoba sabar dengan tingkah Febi yang membuatnya gila. Dia sudah kehabisan kata-kata untuk membujuk Febi. Namun Cia juga tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu. Dia tidak mau Febi mati konyol di apartemen hanya karena tak mau makan dan tak dirawat dengan baik oleh sahabatnya saat sedang sakit. Cia bergidik ngeri memikirkan hal itu. "Dikit aja ya, Feb." "Nggak mau! Mulut gue pait!" Cia memijat kepalanya lelah. Cara apa lagi yang harus ia lakukan agar Febi mau mengisi perutnya? Seharusnya mereka bersenang-senang malam ini, tetapi kenyataan pahit m
Selama perjalanan menuju Bandung, Cia tidak bisa berhenti untuk berpikir. Dari raut wajahnya, dia benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Dia merasa jika hanya dirinya satu-satunya orang bodoh di sini. Lagi-lagi Cia melirik Agam yang tengah menyetir untuk yang kesekian kalinya. Saat kalimat yang ingin ia tanyakan sudah berada di ujung bibir, Cia menggeleng dan kembali menelannya. Dia memilih untuk mencari jawaban di kepalanya sendiri. “Kenapa?" tanya Agam tanpa melihatnya. Sepertinya pria itu sadar dengan keresahan Cia sedari tadi. "Jadi alasan Kak Agam ketemu sama Mbak Nadira kemarin itu buat ini?" Cia tidak akan menahannya lagi. Agam sudah melarangnya untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Agam melirik sebentar lalu mengangguk. Hanya itu jawaban yang ia berikan, tetapi berhasil membuat Cia berdecak kesal. "Kenapa nggak bilang, sih?" "Aku tau kamu nggak nyaman sama Nadira, jadi aku suruh Dika yang urus semuanya." Cia menggigit bibirnya gelisah. Seketika dia meras
Hari yang tak disangka-sangka telah tiba. Ini yang Cia takutkan sejak dulu, yaitu kemarahan Febi. Dia tidak menyangka jika gadis itu akan menangkap basah dirinya malam ini. Beruntung Febi tidak melihat hal yang lebih parah dari sekedar pelukan. Harusnya Cia dan Agam bisa lebih berhati-hati. Saat ini keadaan benar-benar terasa mencekam. Di bangku pinggir danau ini, Febi memisahkan Cia dan Agam dengan jarak yang sangat lebar. Cia duduk di sisi sebelah kanan dan Agam duduk di sisi sebelah kiri. Di depan mereka ada Febi yang berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya begitu tajam seolah bisa membunuh Cia dan Agam saat ini juga. "Jelasim semuanya!" ujar Febi tegas. "Febi, kamu tena—" "Kak Dika, diem!" Dika langsung menutup mulutnya rapat. Dia mundur selangkah dengan teratur. Matanya tertuju pada Agam dengan tangan terangkat. Bermaksud mengatakan jika ia tidak bisa banyak membantu saat ini. "Jelasin, Cia!" Kali ini Febi merengek sambil menghentakkan kakinya. Ci