Dengan tanpa kasihan, Camila dipaksa menikah dengan Victor sebagai peredam kebencian oleh keluarganya. Victor membenci keluarga Camila karena mereka telah membunuh calon istrinya. Bisakah Camila meredakan kemarahan dan memenangkan hati Victor? Ataukah Camila akan merasakan api neraka dalam rumah tangganya bersama Victor? "Meski kau sujud memohon aku tidak akan pernah mengampuni keluargamu!" Mari kita saksikan kisah menarik ini di Goodnovel
View More"Akh ...!"
Satu tamparan melayang di pipi Camila dengan kuat. Darah mengalir dari sudut bibir Camila yang meringis kesakitan, tapi tidak begitu dengan pelaku. Pria itu malah tersenyum senang melihat Camila kesakitan. Victor Aryasena menjambak rambut Camila dan membuat wanita itu terus mengerang kesakitan, memperhatikan luka merah yang dia lukis di wajah Camila, seketika Victor langsung merasa kelegaan yang teramat setelah menyakiti calon mempelainya. "Astaga, maafkan aku. Harusnya aku tidak melukai wajahmu karena besok hari pernikahan kita," ledeknya. "Tuan, aku mohon jangan lakukan ini. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang apa yang Anda bicarakan itu ...," ringis Camila memegangi tangan Victor yang menjambak rambutnya di belakang. Bukannya iba, Victor malah terkekeh melihat pembelaan dari Camila yang dia yakini hanya sebuah alasan kosong. Bagi Victor, Camila terlihat seperti gadis yang sedang berpura-pura lugu. "Bahkan mereka membiarkan aku menyicipimu sebelum pernikahan denganku." Victor mendongak ke atas, menatap langit-langit kamar dan tangannya masih setia menggenggam kuat rambut Camila. "Bagaimana? Bukankah kita bisa memulai ini, Camila? Tanggalkan seluruh pakaianmu, agar aku bisa melihat apakah kau cocok untuk bersanding denganku!" pinta Victor yang terdengar seperti perintah paksaan tanpa penolakan. Camila gemetar memegangi gaun bagian dadanya. Takut jika tiba-tiba Victor membuka pakaiannya dengan paksa dengan tangan satunya memegangi tangan Victor yang menjambak rambutnya. "Tuan ... aku mohon jangan lakukan ini. Jika hanya karena itu, aku bisa menjadi istri yang baik untuk Anda, tapi tidak sekarang dan lagi, aku tidak pernah tahu soal Selena, akh ...!" Victor menguatkan juga menarik rambut Camila semakin ke belakang membuatnya berkali-kali meringis kesakitan. Camila tidak kuat lagi, pertahannya pecah dengan air mata yang mulai mengalir. Berharap semua cepat berlalu dan dia tidak menerima rasa sakit lebih dari yang dia rasakan sekarang. "Jangan berani-beraninya kau menyebut nama Selena dengan mulut kotormu itu, aku akan membuatmu menyesal jika melakukannya lagi." Victor menatap tajam Camila membuat nyali wanita itu semakin menciut. Camila menundukkan kepalanya, dia berharap bisa pingsan saat itu juga. Namun sayangnya adrenalin terus memacu jantungnya untuk berdetak dikelilingi rasa takut yang membuatnya selalu merasa orang yang disalahkan. "Aku bilang tanggalkan pakaianmu!" teriak Victor menggelegar. Camila bergetar, takut, juga cemas hingga membuatnya membeku tanpa bisa mencerna dengan baik perintah dari Victor. Melihat Camila yang tidak kunjung melakukan perintahnya, dengan inisiatif, Victor menarik pakaian Camila hingga tubuh ringkih di hadapannya ikut tersungkur ke arah tarikan. Camila jatuh di ranjang dengan gaun yang sudah terobek setengah, barulah Camila sadar dan berusaha untuk mencegah Victor menelanjanginya lebih. Tangan Camila meraih tangan Victor yang bergerak lancar merusak semua penghalang. "Aku mohon hentikan, aku bersalah! Maafkan aku, maafkan keluargaku. Maafkan semua yang terjadi jika menyakitimu!" Akhirnya kata itu muncul sebagai bentuk perlindungan diri Camila. Victor terkekeh meledek. "Kau bilang tidak tahu, tapi sekarang kau meminta maaf seakan sudah tahu apa yang telah keluargamu lakukan pada calon pengantinku sebelumnya," katanya sambil menyeringai. Sungguh bukan itu maksud Camila. Dia hanya tidak memiliki jalan lain selain meminta maaf dan menerima semua yang Victor tuduhkan padanya, walau dia tidak tahu apa-apa, sekarang perkataan itu justru memakan dirinya. "Bu-bukan begitu. Aku hanya mencoba untuk membuatmu tidak marah karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi," kilah Camila. Victor menggeleng disertai senyuman meledek. "Tidak, Camila. Kau, keluargamu, semua orang yang ada di dekatmu, aku sama sekali tidak mempercayai kalian. Kau hanya beralasan saat aku bertanya dan kau akhirnya memberikan pengakuan saat aku menyakitimu," ucap Victor penuh penekanan. Sekarang Camila benar-benar tanpa sehelai benangpun membuat Victor bisa melihat semuanya dengan jelas. Tubuhnya, luka di sudut bibirnya dan air mata yang membasahi pipi, serta ketakutan yang terlancar jelas di mata Camila, membuat Victor ... bergairah. "Layani aku, puaskan aku. Aku akan memberi keluargamu bonus jika kau berhasil melakukan itu." Victor menatap kedua bola mata yang sendu juga bergetar. "Tuan ... kita belum menikah, jadi aku mohon—" "Simpan semua alasan untuk penolakanmu itu, Camila! Bukankah aku pantas mendapatnya setelah semua yang terjadi?! Aku pantas sedangkan setelah kalian melakukan hal itu padaku! Bahkan keluargamu sendiri yang menyajikanmu padaku, jadi kenapa aku tidak boleh memakan hidangan milikku?!" Setiap kata dari Victor membuat Camila tidak hanya takut, tapi juga sakit hati. Camila tidak merasa diperlakukan seperti manusia yang seharusnya dan Camila juga membenci keluarganya yang telah mendorongnya melakukan pernikahan dengan Victor. Camila bukanlah seorang manusia di mata Victor, apalagi seorang istri. Camila hanya alat untuk memuaskan dendamnya karena kehilangan kekasihnya, sebagai alat penebus dendam Victor terhadap keluarga Wibisana. Perlahan pertahanan Camila melemah karena setiap kata manipulatif dari Victor mampu menanamkan trauma, juga memanipulasi otak Camila kalau dia adalah seorang yang harus tunduk terhadap kekuasaan yang sedang Camila hadapi. Victor juga tanpa seperti Camila yang tidak mengenakan apa-apa. "Tapi, bisakah aku diperlakukan dengan lebih baik ...?" lirih Camila dengan sedih. Melihat penderitaan yang Camila alami membuat Victor merasa lega setiap kali air mata Camila tumpah. Victor merasa kalau dendamnya sedikit demi sedikit terbalaskan. "Bisa, setelah ini aku akan memperlakukanmu dengan baik, tapi di dalam mimpimu." Camila memejamkan matanya, tidak ingin melihat dirinya sendiri yang menyedihkan disentuh oleh Victor. Setiap sentuhan Victor melewati sekujur tubuhnya membuat Camila berharap ingin mati saja saat itu jika tidak bisa melarikan diri. Sudah terenggut ciuman manis dari bibir ranum Camila, sudah terenggut. Dan Victor tidak membiarkan sekecil apa pun wilayah tubuh Camila belum dia jajah, dia memastikan semuanya sudah terjamak dan puncaknya adalah merobek selaput dara. Camila terkejut, refleks membuka mata dan berteriak. Tapi justru siksaan itu membuat Victor tertawa. "Ini tidak seberapa, Camila. Tidak seberapa dengan apa yang keluargamu lakukan pada Selena. Kalian membunuhnya hanya karena ingin menjadi bagian dari Aryasena, dengan licik kalian tidak meninggalkan jejak sedikitpun dan itu tidak bisa membuatku menjatuhkan kalian. Tapi aku berbaik hati pada kalian dengan menikahimu, mewujudkan impian keluargamu yang ingin kau jadi istriku, Camila. Betapa baiknya aku membalas air tuba kalian dengan air susu. Sayangnya, dengan cepat air susu itu akan menjadi darah." Napas Camila tercekat. Dia sama sekali tidak diberitahu kalau keluarga membunuh kekasih Victor. Camila hanya diberitahu dia harus menikah dan menjadi bagian dari Aryasena. Victor merasakan sensasi aneh dan melihat ke bawah, dia melihat noda kemerahan di area miliknya. Suatu hal yang tidak pernah dia sangka sebelumnya karena Camila masih seorang perawan. "Kau masih perawan rupanya? Setidaknya ini harga yang sepadan untukku. Aku jadi mempunyai alasan untuk tetap menikahimu dengan alibi bertanggung jawab karena merengut mahkotamu," bisik Victor membuat Camila merinding. Sekali lagi Victor mencium Camila, merasa sebuah ciuman itu bukanlah cinta melainkan penghinaan terhadapnya dengan dalih akan menikah dan bertanggung jawab. Camila membuang tatapannya ke arah lain karena tidak sanggung beradu pandang dengan Victor, apalagi melihat pria itu menyentuhnya. "Sakit ...," rintih Camila. "Wajar saja, kau terasa sangat sempit." Victor memainkan temponya. Bukan kenikmatan yang Camila rasakan, melainkan sebuah siksaan menyakitkan yang dilakukan calon suaminya sendiri. Tanpa ampun, tanpa belas kasih. "Tuan, aku mohon berhenti! Ini sakit ... lepaskan aku. Tolong!" jerit Camila meronta-ronta. "Tidak. Jikapun kau bersujud setelah ini, atau mati. Aku tidak akan berhenti hanya karena kau memintanya. Aku akan berhenti sesuai kemauanku dan itu tidak berdasar atas keinginanmu. Ingat, Camila. Kau hanya alat agar aku bisa menyiksamu, aku harus membalas apa yang dirasakan Selena dan Selena akan tenang setelah aku puas membalas dendam." Camila sudah tidak bisa merasa apa-apa selain rasa sakit juga panas. Suara penyatuan antara mereka terdengar hingga memenuhi ruangan. Camila bisa mendengar Victor sesekali menggeram dan mendesah, tapi juga sesekali mengejeknya dengan seringai licik. "Berhenti ... akan aku lakukan apa pun agar aku bisa diperlakukan dengan baik. Anda salah paham, Tuan Victor. Semua tidak seperti yang Anda kira. Beri waktu aku menjelaskan semuanya." Napas Camila sudah terengah, tapi dia berusaha mengatakannya. "Tuan ...," lirih Camila lagi. "Jangan mengaturku, Camila! Kau tidak punya hak apa pun untuk meminta waktuku agar mendengarkanmu! Tidak ada hak dan tak ada kapasitasmu memintaku untuk menuruti kemauanmu, jadi terima saja takdirmu. Tidak, bukan takdir, tapi permintaan keluargamu yang sukarela menyerahkanmu padaku dan aku hanya memungutmu!" ucap Victor dengan nada tegas dan tatapan tajam. "Tuan, aku mohon. Sakit ...." Air mata sudah menderai, bahkan rasa sakit, perih, bercampur malu sudah menjadi satu. Victor mencium kembali, mencoba memberikan tanda kepemilikan dengan brutal di leher Camila. Victor menatap reaksi Camila setelah memberi tanda, ekspresi terluka Camila membuat Victor menjadi lega. "Beritahu perias pengantin nanti untuk menutupi bekas tamparan itu dan jangan perlihatkan wajah buruk seperti itu dihari pernikahan kita," kata Victor sambil menyambar pakaiannya di bawah dan memakai di depan Camila. Camila masih diam membeku seakan masih tidak bisa menerima apa yang terjadi barusan. Victor beringsut untuk mendekat ke Camila lagi, masih tidak ada reaksi dari Camila yang tatapannya kosong. Victor menangkup kasar wajah Camila dengan satu tangannya dan membisikan sesuatu. "Besok harusnya pernikahanku dengan Selena, tapi dengan lancang keluargamu mengusahakan pernikahan denganmu, jadi jangan bersikap selayaknya korban, Camila." Victor menghempas wajah Camila, kemudian. Beranjak dari ranjang dan melangkahkan kakinya menuju ke arah luar kamar. Victor membuka pintu perlahan, kemudian berbalik lagi menatap Camila. "Jaga tubuhmu baik-baik sampai besok, sebelum aku menyakitinya lagi."Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments