Bunyi roda koper yang menyeret lantai marmer memenuhi ruang tamu megah itu, menggema di antara dinding-dinding besar yang dipenuhi lukisan keluarga. Camila menggenggam erat pegangan koper hitamnya, wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan ribuan perasaan yang sulit dijelaskan. Langkahnya mantap menuju pintu, namun suara berat yang sudah ia kenal sepanjang hidupnya menghentikan gerakannya.
"Camila!" Damien memanggil dengan nada keras, penuh wibawa, seperti seorang raja yang tak bisa dibantah. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau harus pergi malam ini? Bukankah ini malam pertama pernikahanmu dengan Victor?" Camila berhenti, namun tidak menoleh. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi suaranya keluar dengan nada datar yang menantang. "Malam pertama itu sudah tidak ada artinya lagi, Ayah." Kening Damien berkerut dalam. Ia berjalan mendekat, suaranya melemah namun penuh ketegasan. "Apa maksudmu? Kamar pengantin sudah dihias sedemikian rupa. Semuanya sempurna. Ini adalah awal baru untukmu, untuk keluarga kita." Camila akhirnya berbalik, menatap ayahnya dengan mata penuh kebencian yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. "Sempurna? Apa Ayah lupa? Malam pertama itu sudah tidak ada sejak Ayah membiarkan Victor masuk ke kamarku sesuka hatinya. Ayah yang menyerahkan aku kepadanya jauh sebelum ini." Damien tersentak. Kata-kata Camila menghujam seperti belati yang memotong harga dirinya sebagai seorang ayah. Namun, ia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup. "Camila, sampai kapan kau akan terus mengungkit hal itu? Semuanya sudah terjadi. Dan kau tidak akan pernah menjadi nona muda Aryasena jika bukan karena aku." Camila menelan ludah, merasa tubuhnya gemetar oleh emosi yang bergejolak. Kata-kata ayahnya itu, kata-kata penuh penegasan bahwa hidupnya adalah utang, membuatnya teringat pada kakaknya. Lelaki itu selalu mengatakan hal yang sama, bahwa ia harus bersyukur karena mereka telah memberinya kehidupan yang lebih dari cukup. "Ayah selalu bilang aku harus berterima kasih, tapi apa Ayah pernah bertanya apa yang aku rasakan? Pernahkah Ayah peduli dengan kehormatanku? Tidak, Ayah hanya peduli pada nama Wibisana," balas Camila dengan suara yang semakin meninggi. Damien menatap putrinya dengan penuh amarah. "Jaga bicaramu, Camila! Kau tidak tahu apa yang aku korbankan untuk memastikan kau mendapatkan tempat di keluarga Victor." Camila mendengus, tawanya penuh sindiran. "Apa yang Ayah korbankan? Harga diriku? Hidupku? Itu bukan pengorbanan, Ayah, itu penjualan!" Damien melangkah maju, meraih lengan Camila dengan keras. "Kau tidak ke mana-mana malam ini. Kau akan tetap di sini sampai Victor datang menjemputmu." Camila menepis tangan ayahnya dengan kasar. "Victor tidak akan datang, Ayah. Dia tidak ingin menjemputku. Dia hanya menunggu aku menyerahkan diriku padanya di rumahnya. Seperti biasa, bukan? Itu yang Ayah katakan padanya, bahwa aku ini hanya barang yang bisa dia atur sesuka hati." Damien terlihat semakin geram, namun ada sesuatu di matanya yang retak, seperti batu besar yang mulai retak di tengah tekanan. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, Camila sudah menarik kopernya dan melangkah menuju pintu. "Camila! Aku bertanya sekali lagi, ke mana kau akan pergi?" suara Damien terdengar putus asa, hampir seperti permohonan. Camila berhenti di ambang pintu, menoleh sebentar. "Ke tempat di mana Victor menginginkanku. Ke rumah Aryasena, untuk menyerahkan diri pada suamiku." Suaranya dingin, tanpa emosi, tapi setiap kata itu adalah tamparan keras bagi Damien. Pintu besar itu tertutup dengan keras, meninggalkan Damien berdiri sendirian di ruang tamu yang tiba-tiba terasa begitu kosong. Ia menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk—antara marah, terluka, dan sedikit penyesalan yang tidak akan pernah ia akui. *** Kediaman Aryasena yang megah berdiri dengan angkuh di tengah taman yang luas dan sepi, memancarkan aura kekuasaan yang tak tertandingi. Di dalam ruang kerja yang besar dan penuh dengan rak-rak buku antik, Julian Aryasena duduk di kursinya yang tinggi, menghadap putranya, Victor. Wajah Julian terlihat tenang, namun matanya menyimpan ketajaman seorang pria yang telah menghabiskan hidupnya memimpin keluarga dengan tangan besi. Victor berdiri di dekat jendela besar, menatap keluar ke arah taman yang gelap. Dia menggenggam gelas anggur di tangannya, tapi tidak sedikit pun menyentuh isinya. Hawa di ruangan itu begitu tegang, seperti percakapan mereka adalah perang tanpa senjata. "Kasus Selena masih menggantung." Julian membuka pembicaraan dengan nada dingin. "Tidak ada bukti lebih lanjut, Victor. Tidak ada jasad. Hanya potongan pakaian robek dan darah Selena yang ditemukan di tempat terakhir dia terlihat." Victor mendengus pelan, menolehkan pandangannya ke arah ayahnya. "Tentu saja tidak akan ada bukti lebih lanjut, Ayah. Keluarga Wibisana tidak meninggalkan jejak sama sekali. Mereka pintar dalam menyingkirkan semuanya, memastikan Camila bisa menjadi istriku tanpa ada penghalang." Nada suara Victor penuh kebencian, seolah-olah setiap kata adalah tuduhan yang langsung menusuk keluarga Wibisana. Matanya memancarkan api dendam yang tak kunjung padam sejak hilangnya Selena. Julian mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kayu di depannya, berusaha tetap tenang. "Victor, kau terlalu cepat menyimpulkan. Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Tidak ada keuntungan bagi kita jika kau bertindak terlalu kejam pada Camila. Ingat, dia sekarang adalah bagian dari keluarga kita. Kau harus bisa menahan diri sampai bukti nyata ditemukan." Victor mendekati meja, menaruh gelas anggur itu dengan keras. "Ayah tidak mengerti. Aku tidak perlu bukti untuk tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini. Hanya ada satu keluarga yang memiliki motif, kekuatan, dan kecerdikan untuk menghilangkan Selena seperti ini. Keluarga Wibisana." Julian menghela napas berat, mencoba meredam emosi putranya. "Kau bisa yakin sesuka hatimu, Victor. Tapi dunia tidak bekerja hanya berdasarkan keyakinan. Kita harus berhati-hati. Tuduhan tanpa dasar hanya akan merusak posisi dan reputasi kita." Sebelum Victor sempat membalas, pintu ruang kerja terbuka perlahan, membuat keduanya menoleh. Sesosok wanita tua masuk ke dalam ruangan, memegang boneka lusuh di tangannya. Penampilannya acak-acakan, dengan rambut kusut yang menjuntai hingga ke bahunya. Bajunya terlihat kusam dan sedikit terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Wanita itu menatap Victor dengan mata yang kosong namun penuh tuntutan. "Victor," suaranya serak, nyaris seperti bisikan. "Di mana boneka yang kau janjikan akan sampai?" Victor berdiri diam, wajahnya berubah sedikit lebih lembut. Ia tidak menunjukkan amarah atau kejengkelan seperti sebelumnya. "Sebentar lagi," jawabnya dengan nada rendah. "Boneka itu akan segera sampai dalam beberapa menit." Julian berdiri dari kursinya, berjalan mendekati wanita itu. "Sophia, kembali ke kamarmu. Akan ada tamu sebentar lagi. Kau tidak boleh ada di sini," katanya dengan nada tegas, namun tidak terlalu kasar. Wanita itu tidak merespons Julian. Matanya tetap terpaku pada Victor, seolah dia satu-satunya orang yang bisa ia percayai. Setelah beberapa detik, Sophia akhirnya mengangguk pelan dan berbalik menuju pintu, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata lagi. Setelah pintu tertutup, Julian menatap Victor dengan tatapan penuh makna. "Kau terlalu memanjakannya, Victor. Sophia seharusnya tidak ada di sini, apalagi dengan keadaannya yang seperti itu." Victor hanya mengangkat bahu. "Dia tidak menyusahkan siapa pun. Lagipula, kita tidak bisa begitu saja mengabaikannya." Julian mendesah, mengusap wajahnya. "Kita sudah cukup banyak masalah, Victor. Jangan tambahkan lagi dengan hal-hal yang tidak perlu." Victor kembali menatap ke luar jendela, ekspresinya berubah menjadi dingin. "Ayah, masalah sebenarnya bukan Ibu. Tidak masalah aku menjadikan Camila sebagai boneka untuk Ibu." *** Langit malam di atas kediaman Aryasena tampak gelap pekat, hanya diterangi cahaya bulan yang samar-samar terhalang awan. Camila berdiri di depan gerbang besar yang terbuat dari besi hitam berornamen rumit. Di balik gerbang itu, terlihat bangunan megah dan mencekam. Setiap jengkal dari tempat itu membuat bulu kuduknya merinding. Tangannya yang menggenggam pegangan koper sedikit bergetar, tapi ia memaksakan dirinya untuk melangkah lebih dekat. Namun, sebelum kakinya mencapai gerbang, suara keras dan dingin menghentikannya. "Berhenti di sana!" Camila tersentak ketika seorang penjaga muncul dari bayangan, mengenakan seragam hitam dengan senjata yang terangkat, langsung diarahkan padanya. Laras pistol itu mengarah tepat ke dadanya, membuat tubuhnya membeku. "Siapa kau? Apa tujuanmu di sini?" suara penjaga itu dingin, tanpa emosi. Camila menelan ludah, mencoba meredakan rasa paniknya. Ia mengangkat tangan sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki niat buruk. "Aku … aku Camila Wibisana. Aku istri Victor Aryasena," jawabnya dengan suara yang hampir bergetar. Penjaga itu menyipitkan mata, tampaknya tidak percaya begitu saja. "Buktikan. Berikan alasan kenapa aku harus percaya padamu." Camila dengan cepat melepas cincin pernikahannya. Ia mengangkat cincin itu, memperlihatkan ukiran lambang keluarga Aryasena di bagian dalamnya. "Ini cincin pernikahan kami. Lambang keluarga Aryasena ada di sini. Aku tidak berbohong." Penjaga itu memperhatikan cincin itu dengan seksama, lalu akhirnya menurunkan senjatanya. "Baiklah. Kau bisa masuk. Tapi ingat, kami akan selalu mengawasi." Camila mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, kemudian menyeret kopernya melewati gerbang yang terbuka perlahan. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada ribuan mata yang mengawasinya dari kegelapan. Ketika ia akhirnya sampai di pintu utama yang besar dan menjulang, tangannya ragu-ragu memegang gagang pintu. Baru saja ia ingin membukanya, pintu itu tiba-tiba terbuka dari dalam, memperlihatkan Victor yang berdiri di sana. Pria itu mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dihiasi seringai dingin yang membuat darah Camila hampir membeku. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—antara kesenangan dan ancaman. "Selamat datang," kata Victor, suaranya rendah namun tajam. "Masuklah, Camila. Aku sudah menunggumu." Camila tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menundukkan kepalanya sedikit dan melangkah masuk. Victor berjalan di depannya tanpa menoleh, memintanya untuk mengikutinya dengan isyarat tangan. Camila menyeret kopernya, mencoba mengimbangi langkah cepat Victor di lorong panjang yang terasa seperti labirin. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah pintu besar yang terukir indah. Victor berhenti, memutar tubuhnya, dan menatap Camila. Kemudian, tanpa peringatan, ia menarik tangan Camila dengan kasar, membuat tubuh wanita itu terhuyung ke depan. Victor membuka pintu itu, memperlihatkan kamar yang luar biasa mewah. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilauan. Tempat tidur raksasa dengan kain sutra putih bersih berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh furnitur berukir yang mahal. Segalanya terlihat sempurna, namun hawa dingin dan keheningan yang mencekam membuat keindahan itu terasa seperti jebakan. Victor mendorong tubuh Camila hingga ia berada di posisi depan, membuat wanita itu menatap langsung ke dalam kamar. Ia kemudian meletakkan kedua tangannya di bahu Camila, memegangnya dengan erat. Camila bisa merasakan napas Victor yang hangat namun penuh ancaman di telinganya. "Selamat datang," bisik Victor, suaranya rendah namun menembus hingga tulang. "Selamat datang di neraka yang akan kau hadapi, Camila." Camila terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya dipenuhi dengan ketakutan dan pertanyaan. Apa yang sebenarnya menunggunya di tempat ini? Victor melepaskan tangannya dari bahu Camila, melangkah menjauh sambil tetap menyeringai. "Istirahatlah, Camila. Besok, semuanya akan dimulai."Cahaya matahari menembus celah gorden yang berwarna krem keemasan, menyentuh wajah Camila yang terbaring di atas ranjang besar berlapis satin putih. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya kabur, lalu mengerjap-ngerjap, mencoba memahami di mana ia berada. Semua terasa asing. Dinding-dinding tinggi berlapis wallpaper elegan, lampu gantung kristal yang menggantung megah, dan aroma mawar yang samar menguar dari sudut ruangan. Tidak, ini bukan rumahnya.Camila segera bangkit, tubuhnya kaku dan lelah. Pikirannya penuh tanda tanya. Tapi setelahnya dia baru ingat kalau dia sudah menikah dengan Victor yang terasa seperti mimpi buruk dan dia berada di kediaman Aryasena.Suara langkah pelan namun berat terdengar mendekat. Ketika ia menoleh, seorang wanita tua berdiri di ambang pintu. Rambutnya kusut, berantakan seperti tidak pernah disisir, dan pakaiannya lusuh, seolah tidak cocok dengan keindahan ruangan ini. Matanya yang cekung menatap Camila tajam, dan senyum aneh menghiasi wajahnya
Ruangan itu sunyi ketika Julian menatap putranya dengan tatapan tajam. Duduk di kursi besar di ruang keluarga, Julian memutar cangkir tehnya dengan tenang, tetapi pikirannya jauh dari kata damai. Di hadapannya berdiri Victor, putra sulungnya, dengan ekspresi keras kepala.“Victor.” Julian memulai, suaranya dalam dan tenang. “Aku tidak bisa mengabaikan hal ini. Jangan bawa Camila ke perkumpulan itu.”Victor mendengus sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Ayah, aku tahu apa yang kulakukan. Aku sudah dewasa, aku bisa mengatur hidupku sendiri. Camila adalah istriku, dan aku tahu apa yang aku lakukan untuknya.”Julian menghela napas panjang. Ia sudah menduga jawaban seperti ini, tapi hatinya tetap berat mendengarnya. “Victor,” katanya dengan suara yang lebih tegas. “Ibumu menyukai Camila. Dia mempercayakan gadis itu padamu, dan aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Jangan ulangi apa yang terjadi sebelumnya.”Victor terdiam sejenak, tetapi Julian bisa melihat rahangnya mengeras.
Victor melangkah ke ruangan pribadi yang tenang dan jauh dari keramaian. Di dalam, Raphael sudah menunggunya dengan setumpuk dokumen dan tablet di atas meja. Raphael adalah orang kepercayaannya, seseorang yang tahu semua sisi gelap dari kekuasaan bisnis Victor.Victor langsung duduk tanpa basa-basi. “Bagaimana perkembangan bisnis senjata di pasar gelap? Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” tanyanya, suaranya tegas dan tanpa emosi.Raphael mengangguk pelan. “Permintaan terus meningkat, terutama dari wilayah timur. Namun, sekutu kita meminta akses lebih besar untuk memperluas koneksi mereka. Mereka juga ingin kita mempercepat pengiriman.”Victor mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpikir sejenak. “Itu bukan masalah besar. Tapi kita membutuhkan modal tambahan. Keluarga Wibisana sudah menunjukkan minat. Pastikan mereka mengeluarkan dana yang cukup besar. Tawarkan mereka kesepakatan yang menjanjikan, meski sebenarnya tidak ada keuntungan nyata untuk mere
Victor melangkah masuk ke dalam mobil dengan langkah tegas. Wajahnya yang selalu tampak dingin dan tanpa emosi memperlihatkan sekilas ekspresi tidak sabar. Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh dengan elegan sambil melonggarkan dasi hitamnya. Tanpa menoleh, ia memberi perintah singkat kepada Raphael yang duduk di kursi pengemudi."Antar kami pulang. Sekarang," katanya datar namun penuh tekanan.Raphael, yang sudah terbiasa dengan perintah tanpa kompromi dari Victor, hanya mengangguk patuh. Mesin mobil menyala, dan kendaraan meluncur keluar dari parkiran dengan halus.Di sebelah Victor, Camila duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya memancarkan keteguhan kini menyiratkan kelelahan dan luka yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Jejak memar samar di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari apa yang baru saja terjadi.Victor menoleh ke arahnya, pandangannya tajam seperti bilah pisau. Ia memperhatikan luka di wajah Cam
Dari jendela lantai dua, Julian memperhatikan pekarangan rumah yang mulai gelap, diterangi lampu jalan yang temaram. Sorot matanya tajam, seperti seseorang yang selalu waspada terhadap setiap detail kecil di sekitarnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan putranya, Victor, melangkah keluar, diikuti oleh Camila.Mata Julian segera tertuju pada Camila. Meskipun jaraknya cukup jauh, ia dapat melihat sesuatu yang mengganggu. Ada luka di sudut bibir Camila, dan tampaknya luka itu kembali basah, seperti baru saja berdarah lagi. Hatinya mencelos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi tanpa perlu mendengar cerita langsung.Julian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada Camila yang berjalan lebih cepat meninggalkan Victor dan langsung masuk ke dalam rumah. Langkah Camila terburu-buru, seperti ingin menghindari sesuatu. Sementara itu, Victor tetap berada di ruang tengah, melepas dasi dengan santa
Camila membuka matanya perlahan. Cahaya mentari yang menembus tirai tipis kamar membelai wajahnya dengan lembut, namun kehangatan itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur, menemukan tempat itu kosong dan rapi. Victor tidak tidur di situ semalam.Ada rasa lega sekaligus getir yang bercampur menjadi satu. Pernikahan mereka, sebuah ikatan yang dibentuk bukan karena cinta, melainkan kewajiban keluarga, terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Mereka tidak pernah saling menginginkan, dan ketidakhadiran Victor di sisi tempat tidur adalah semacam pelarian kecil yang Camila syukuri.Ketika ia tengah melamun, suara pintu kamar yang berderit perlahan membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan sosok Sophia, ibu mertuanya, muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu, seperti biasa, dihiasi senyum ceria namun penuh ketegasan."Duduklah di depan kursi rias," kata Sophia tanpa banyak basa-basi.Camil
Camila menelan ludah. Ia berusaha keras menjaga ketenangannya, tetapi kata-kata Victor mengiris hatinya. “Aku melakukannya karena aku ingin bertahan hidup, Victor. Tidak lebih dari itu. Kau sendiri yang berkata kalau aku adalah bonekanya, aku hanya menuruti perkataannya saja.”“Tapi sekarang kau menolak melayaniku?” Victor mengangkat alis, nadanya tajam. “Bukankah ini bagian dari kesepakatan tak tertulis kita, Camila?”“Kesepakatan apa? Aku tidak pernah setuju untuk menyerahkan diriku padamu! Aku hanya setuju menjadi istri yang baik, itu juga kali kau menerimaku.” Camila memotong. Suaranya bergetar lagi, tapi kali ini ada nada keberanian di baliknya.Victor berdiri, tubuhnya yang tinggi mendominasi ruangan. Ia berjalan perlahan mendekati Camila, setiap langkahnya terasa berat. “Camila, aku tidak peduli apa yang ada di kepalamu sekarang. Tapi aku ingin kau ingat satu hal—aku tahu segalanya tentangmu. Termasuk bagaimana kau mencoba mencari cara aga
Matahari semakin naik ketika Victor mengenakan jas hitam kebanggaannya. Sepatu kulitnya yang mengkilap terdengar berderap di atas lantai marmer ruang tamu. Para pelayan telah bersiap sejak dini hari, mengantar kepergian pria itu dengan penuh rasa hormat. Camila berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang membuat kulitnya terlihat sehalus porselen. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang Victor dengan tatapan datar yang sulit ditebak.Victor berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapan istrinya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat ke telinga Camila. Bisikannya nyaris tak terdengar, namun setiap kata membawa ancaman yang tajam.“Jangan pernah membuat ibuku dalam bahaya, Camila. Jika itu terjadi, kau tahu apa yang akan terjadi padamu.” Suaranya dingin, seperti bilah pisau yang menusuk langsung ke inti.Camila menatapnya tanpa gentar. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar, tapi senyum itu penuh arti.
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu
Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k
Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j
Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang
Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes
Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus