Share

5. Bagian Aryasena

Author: AeStar's Ruby
last update Last Updated: 2025-03-07 14:41:17

Ruangan itu sunyi ketika Julian menatap putranya dengan tatapan tajam. Duduk di kursi besar di ruang keluarga, Julian memutar cangkir tehnya dengan tenang, tetapi pikirannya jauh dari kata damai. Di hadapannya berdiri Victor, putra sulungnya, dengan ekspresi keras kepala.

“Victor.” Julian memulai, suaranya dalam dan tenang. “Aku tidak bisa mengabaikan hal ini. Jangan bawa Camila ke perkumpulan itu.”

Victor mendengus sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Ayah, aku tahu apa yang kulakukan. Aku sudah dewasa, aku bisa mengatur hidupku sendiri. Camila adalah istriku, dan aku tahu apa yang aku lakukan untuknya.”

Julian menghela napas panjang. Ia sudah menduga jawaban seperti ini, tapi hatinya tetap berat mendengarnya. “Victor,” katanya dengan suara yang lebih tegas. “Ibumu menyukai Camila. Dia mempercayakan gadis itu padamu, dan aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Jangan ulangi apa yang terjadi sebelumnya.”

Victor terdiam sejenak, tetapi Julian bisa melihat rahangnya mengeras. “Baik,” kata Victor singkat sambil menganggukkan kepala, namun ekspresi wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar mendengarkan.

Julian memandang putranya dengan cermat. Ia tahu, jauh di dalam hati Victor, ada kegelapan yang belum sepenuhnya hilang.

“Victor,” katanya lagi, kali ini dengan nada peringatan yang lebih lembut. “Camila adalah bagian dari keluarga Aryasena sekarang. Dia istrimu. Perlakukan dia dengan baik. Jika dia tidak terlibat, jangan menyeretnya ke dalam dunia ini.”

Victor hanya menatap Julian dengan dingin sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa berkata apa-apa. Julian memejamkan matanya sejenak, berharap kata-katanya tadi mampu menembus hati keras putranya.

Victor masuk ke kamarnya, di mana Camila duduk diam di tepi tempat tidur, mengenakan gaun hitam yang terlihat terlalu elegan untuk suasana hatinya yang kelam. Wajahnya pucat, dan matanya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh.

“Keluar,” kata Victor dingin, suaranya tajam dan memotong udara.

Camila berdiri tanpa berkata apa-apa. Langkahnya pelan dan terukur, seperti boneka yang digerakkan oleh tali yang tak terlihat. Begitu ia berdiri di hadapan Victor, lelaki itu memandangnya lama.

Sesuatu di dalam dirinya bergetar. Biasanya, Victor menikmati melihat wajah murung Camila, ia tahu itu tanda bahwa perempuan itu tunduk padanya. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa tak nyaman yang menyelinap di dalam dadanya, sebuah rasa yang tak bisa ia jelaskan.

“Kita pergi sekarang,” ucap Victor singkat. Camila hanya mengangguk pelan, tidak ada tanda perlawanan di wajahnya.

Mereka meninggalkan rumah menuju perkumpulan mingguan. Malam itu dingin, dan bulan menggantung rendah di langit. Camila duduk di samping Victor di dalam mobil, matanya menatap ke luar jendela, menolak bertemu dengan tatapan suaminya.

Sesampainya di tempat perkumpulan, Victor menggandeng tangan Camila dengan erat. Ia tahu perkumpulan itu bukan tempat yang aman, bahkan untuk seseorang seperti istrinya.

Meski begitu, Victor tetap keras kepala membawa Camila ke sini. Ia merasa itu cara untuk menunjukkan bahwa ia masih memegang kendali penuh atas hidupnya, meskipun ia sendiri mulai meragukan keputusannya.

Di dalam ruangan perkumpulan yang mewah dan gelap, suara-suara rendah dari para pria berdasi dan wanita berpakaian glamor memenuhi udara.

Victor memperkenalkan Camila kepada beberapa anggota yang lebih tua, sementara Camila tetap diam, hanya memberikan senyum sopan yang dipaksakan. Tatapannya tidak pernah meninggalkan lantai, seperti mencoba menghindari semua mata yang memandang.

“Camila adalah bagian dari keluarga Aryasena. Kamu baru saja menikah seperti yang kalian tahu.”

***

Beberapa saat kemudian, Victor meminta izin untuk berbicara dengan rekan bisnisnya. “Tinggallah di sini, Camila. Nikmati suasana. Aku tidak akan lama,” katanya sebelum pergi.

Kini, Camila dikelilingi oleh orang-orang asing. Ia memegang gelas minumannya dengan gugup, berharap waktu berjalan lebih cepat. Namun, Lucas dan Nathan, dua pria dengan aura mencolok, tiba-tiba mendekatinya.

“Kami tidak bisa membiarkan wanita cantik sendirian, bukan?” ujar Nathan dengan nada menggoda. Ia mengambil posisi di sisi kanan Camila, sementara Lucas berdiri di sisi kirinya.

Camila mencoba tersenyum sopan, meski ia merasa tidak nyaman. “Terima kasih, tapi aku baik-baik saja.”

Nathan mendekat sedikit, menatapnya dengan mata yang menilai. “Kau cukup cantik untuk ukuran istri yang tidak diinginkan Victor. Aku tidak menyangka dia akan membawa seseorang sepertimu.”

Lucas, yang sejak tadi diam, tersenyum tipis. “Nathan, jangan membuatnya takut. Kau ini selalu terlalu berlebihan.” Lalu ia menoleh ke Camila. “Maafkan putraku. Dia memang suka bicara tanpa berpikir.”

Camila hanya mengangguk kecil, tetapi Lucas melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Perkenalkan, aku Lucas. Ayah dari Selena.”

Pernyataan itu membuat tubuh Camila menegang. Nama Selena seperti lonceng peringatan yang menggema di kepalanya. Ia menatap Lucas dengan mata yang sedikit membesar, menyadari sesuatu yang menakutkan. "Jadi ini alasannya Victor membawaku ke sini," pikirnya.

Camila berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. “Selena …?” Ia mencoba bertanya dengan nada setenang mungkin.

“Ya, Selena. Gadis yang seharusnya menjadi bagian dari keluarga Victor,” jawab Lucas sambil mengamati ekspresi Camila dengan tajam. “Sayang sekali, dia sudah tiada.”

Camila tidak bisa menjawab. Tiba-tiba, suasana ruangan terasa semakin sempit dan panas. Ia harus keluar dari sini sebelum semua menjadi lebih buruk.

“Permisi, aku ingin ke kamar kecil sebentar,” kata Camila sambil berusaha bangkit. Namun, Nathan dengan cepat menangkap pergelangan tangannya.

“Jangan pergi dulu,” ujarnya sambil tersenyum penuh maksud. “Kami belum selesai mengenalmu.”

Camila mencoba menarik tangannya, tetapi Nathan mempererat genggamannya. “Lepaskan aku!" ucapnya tegas.

Namun, Nathan justru mengambil gelas lain dari meja di dekatnya dan menyodorkannya ke arah Camila. “Ayo, minumlah. Kau tidak bisa menolak tuan rumah.”

“Aku tidak minum alkohol,” jawab Camila dengan nada dingin.

Nathan tersenyum sinis. “Semua orang minum di sini. Jangan membuatku terlihat buruk di depan yang lain.”

Ketika Camila tetap menolak, Nathan mulai kehilangan kesabaran. Ia memaksa gelas itu ke arahnya, tetapi Camila menahan tangannya dengan kuat. Dalam perjuangan kecil itu, gelas di tangan Nathan terlepas dan isinya tumpah ke celananya.

Nathan langsung berdiri dengan marah. “Apa yang kau lakukan?! Kau membuatku terlihat bodoh di depan semua orang!” teriaknya keras.

Keributan itu membuat para tamu lain menoleh. Camila merasa semua mata tertuju padanya, membuatnya semakin canggung. “Aku tidak sengaja. Kau yang memaksaku,” jawabnya dengan suara yang bergetar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   6. Jangan Sentuh Istriku

    Victor melangkah ke ruangan pribadi yang tenang dan jauh dari keramaian. Di dalam, Raphael sudah menunggunya dengan setumpuk dokumen dan tablet di atas meja. Raphael adalah orang kepercayaannya, seseorang yang tahu semua sisi gelap dari kekuasaan bisnis Victor.Victor langsung duduk tanpa basa-basi. “Bagaimana perkembangan bisnis senjata di pasar gelap? Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” tanyanya, suaranya tegas dan tanpa emosi.Raphael mengangguk pelan. “Permintaan terus meningkat, terutama dari wilayah timur. Namun, sekutu kita meminta akses lebih besar untuk memperluas koneksi mereka. Mereka juga ingin kita mempercepat pengiriman.”Victor mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpikir sejenak. “Itu bukan masalah besar. Tapi kita membutuhkan modal tambahan. Keluarga Wibisana sudah menunjukkan minat. Pastikan mereka mengeluarkan dana yang cukup besar. Tawarkan mereka kesepakatan yang menjanjikan, meski sebenarnya tidak ada keuntungan nyata untuk mere

    Last Updated : 2025-03-07
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   7. Menelan Rasa Sakit

    Victor melangkah masuk ke dalam mobil dengan langkah tegas. Wajahnya yang selalu tampak dingin dan tanpa emosi memperlihatkan sekilas ekspresi tidak sabar. Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh dengan elegan sambil melonggarkan dasi hitamnya. Tanpa menoleh, ia memberi perintah singkat kepada Raphael yang duduk di kursi pengemudi."Antar kami pulang. Sekarang," katanya datar namun penuh tekanan.Raphael, yang sudah terbiasa dengan perintah tanpa kompromi dari Victor, hanya mengangguk patuh. Mesin mobil menyala, dan kendaraan meluncur keluar dari parkiran dengan halus.Di sebelah Victor, Camila duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya memancarkan keteguhan kini menyiratkan kelelahan dan luka yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Jejak memar samar di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari apa yang baru saja terjadi.Victor menoleh ke arahnya, pandangannya tajam seperti bilah pisau. Ia memperhatikan luka di wajah Cam

    Last Updated : 2025-03-08
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   8. Melampaui Batas

    Dari jendela lantai dua, Julian memperhatikan pekarangan rumah yang mulai gelap, diterangi lampu jalan yang temaram. Sorot matanya tajam, seperti seseorang yang selalu waspada terhadap setiap detail kecil di sekitarnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan putranya, Victor, melangkah keluar, diikuti oleh Camila.Mata Julian segera tertuju pada Camila. Meskipun jaraknya cukup jauh, ia dapat melihat sesuatu yang mengganggu. Ada luka di sudut bibir Camila, dan tampaknya luka itu kembali basah, seperti baru saja berdarah lagi. Hatinya mencelos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi tanpa perlu mendengar cerita langsung.Julian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada Camila yang berjalan lebih cepat meninggalkan Victor dan langsung masuk ke dalam rumah. Langkah Camila terburu-buru, seperti ingin menghindari sesuatu. Sementara itu, Victor tetap berada di ruang tengah, melepas dasi dengan santa

    Last Updated : 2025-03-08
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   9. Melayaniku

    Camila membuka matanya perlahan. Cahaya mentari yang menembus tirai tipis kamar membelai wajahnya dengan lembut, namun kehangatan itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur, menemukan tempat itu kosong dan rapi. Victor tidak tidur di situ semalam.Ada rasa lega sekaligus getir yang bercampur menjadi satu. Pernikahan mereka, sebuah ikatan yang dibentuk bukan karena cinta, melainkan kewajiban keluarga, terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Mereka tidak pernah saling menginginkan, dan ketidakhadiran Victor di sisi tempat tidur adalah semacam pelarian kecil yang Camila syukuri.Ketika ia tengah melamun, suara pintu kamar yang berderit perlahan membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan sosok Sophia, ibu mertuanya, muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu, seperti biasa, dihiasi senyum ceria namun penuh ketegasan."Duduklah di depan kursi rias," kata Sophia tanpa banyak basa-basi.Camil

    Last Updated : 2025-03-08
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   10. Tanggung Jawab Baru

    Camila menelan ludah. Ia berusaha keras menjaga ketenangannya, tetapi kata-kata Victor mengiris hatinya. “Aku melakukannya karena aku ingin bertahan hidup, Victor. Tidak lebih dari itu. Kau sendiri yang berkata kalau aku adalah bonekanya, aku hanya menuruti perkataannya saja.”“Tapi sekarang kau menolak melayaniku?” Victor mengangkat alis, nadanya tajam. “Bukankah ini bagian dari kesepakatan tak tertulis kita, Camila?”“Kesepakatan apa? Aku tidak pernah setuju untuk menyerahkan diriku padamu! Aku hanya setuju menjadi istri yang baik, itu juga kali kau menerimaku.” Camila memotong. Suaranya bergetar lagi, tapi kali ini ada nada keberanian di baliknya.Victor berdiri, tubuhnya yang tinggi mendominasi ruangan. Ia berjalan perlahan mendekati Camila, setiap langkahnya terasa berat. “Camila, aku tidak peduli apa yang ada di kepalamu sekarang. Tapi aku ingin kau ingat satu hal—aku tahu segalanya tentangmu. Termasuk bagaimana kau mencoba mencari cara aga

    Last Updated : 2025-03-08
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   11. Tidak Penting

    Matahari semakin naik ketika Victor mengenakan jas hitam kebanggaannya. Sepatu kulitnya yang mengkilap terdengar berderap di atas lantai marmer ruang tamu. Para pelayan telah bersiap sejak dini hari, mengantar kepergian pria itu dengan penuh rasa hormat. Camila berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang membuat kulitnya terlihat sehalus porselen. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang Victor dengan tatapan datar yang sulit ditebak.Victor berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapan istrinya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat ke telinga Camila. Bisikannya nyaris tak terdengar, namun setiap kata membawa ancaman yang tajam.“Jangan pernah membuat ibuku dalam bahaya, Camila. Jika itu terjadi, kau tahu apa yang akan terjadi padamu.” Suaranya dingin, seperti bilah pisau yang menusuk langsung ke inti.Camila menatapnya tanpa gentar. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar, tapi senyum itu penuh arti.

    Last Updated : 2025-03-08
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   12. Melepaskan Diri

    Air mata mulai mengalir di pipi Camila, meski ia mencoba menahannya. Ia benci terlihat lemah di hadapan Nathan, tetapi situasi itu benar-benar membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.Nathan menurunkan cengkramannya sedikit, lalu mengangkat wajah Camila dengan jarinya. Matanya yang gelap memandang wajahnya dengan intens. “Tapi kau cukup cantik,” katanya pelan, nadanya berubah menjadi menggoda. “Jika Victor memutuskan untuk membuangmu, aku mungkin akan mengambilmu.”Camila membelalakkan matanya, terkejut dengan pernyataan itu. “Kau gila,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.Nathan hanya tersenyum, lalu dengan santai males pipi Camila. Tiba-tiba saja rasa menginginkan Camila jadi bersemayam di hati Nathan yang melihat wanita itu ketakutan.“Camila, aku hanya datang untuk mengingatkanmu sesuatu,” katanya sebelum berbalik menuju pintu. “Dunia ini tidak adil. Jadi, sebaiknya kau belajar untuk bertahan.” Nathan mengerask

    Last Updated : 2025-03-09
  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   13. Mansion Aryasena

    Hujan deras menghantam kaca-kaca besar di mansion megah kediaman Aryasena. Di bawah cahaya remang lampu kristal yang tergantung di langit-langit aula utama, Camila berlari panik menyusuri lorong-lorong panjang. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdegup kencang seiring ketakutan yang menggema di dalam dadanya.“Camila! Jangan berpikir kau bisa kabur!” suara Nathan bergema keras, memantul di dinding-dinding besar mansion itu.Camila menoleh sekilas, melihat sosok Nathan yang semakin dekat dengan tatapan penuh amarah. Kakinya semakin cepat melangkah, melewati koridor berhias lukisan-lukisan keluarga Aryasena. Namun, pelariannya terhenti mendadak saat lututnya menghantam keras kaki meja marmer besar di sudut aula.Ia hampir jatuh, tapi berhasil menahan tubuhnya dengan tangan. Sebuah vas bunga kristal berisi bunga mawar putih yang ada di atas meja bergoyang-goyang, nyaris jatuh. Dengan reflek, Camila menangkap vas itu. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, ta

    Last Updated : 2025-03-09

Latest chapter

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   85. Bersembunyi

    Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   84. Datang Padamu

    Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   83. Entah Akhirnya

    Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   82. Abu dan Penyesalan

    "Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   81. Bukan Karena Cinta

    Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   80. Bertemu Selena

    Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   79. Pembalasan

    Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   78. Perkiraan Meleset

    "Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes

  • Boneka Tawanan Sang Penguasa   77. Keluarga dan Ambisi

    Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status