Air mata mulai mengalir di pipi Camila, meski ia mencoba menahannya. Ia benci terlihat lemah di hadapan Nathan, tetapi situasi itu benar-benar membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.
Nathan menurunkan cengkramannya sedikit, lalu mengangkat wajah Camila dengan jarinya. Matanya yang gelap memandang wajahnya dengan intens.“Tapi kau cukup cantik,” katanya pelan, nadanya berubah menjadi menggoda. “Jika Victor memutuskan untuk membuangmu, aku mungkin akan mengambilmu.”Camila membelalakkan matanya, terkejut dengan pernyataan itu. “Kau gila,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.Nathan hanya tersenyum, lalu dengan santai males pipi Camila. Tiba-tiba saja rasa menginginkan Camila jadi bersemayam di hati Nathan yang melihat wanita itu ketakutan.“Camila, aku hanya datang untuk mengingatkanmu sesuatu,” katanya sebelum berbalik menuju pintu. “Dunia ini tidak adil. Jadi, sebaiknya kau belajar untuk bertahan.”Nathan mengeraskHujan deras menghantam kaca-kaca besar di mansion megah kediaman Aryasena. Di bawah cahaya remang lampu kristal yang tergantung di langit-langit aula utama, Camila berlari panik menyusuri lorong-lorong panjang. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdegup kencang seiring ketakutan yang menggema di dalam dadanya.“Camila! Jangan berpikir kau bisa kabur!” suara Nathan bergema keras, memantul di dinding-dinding besar mansion itu.Camila menoleh sekilas, melihat sosok Nathan yang semakin dekat dengan tatapan penuh amarah. Kakinya semakin cepat melangkah, melewati koridor berhias lukisan-lukisan keluarga Aryasena. Namun, pelariannya terhenti mendadak saat lututnya menghantam keras kaki meja marmer besar di sudut aula.Ia hampir jatuh, tapi berhasil menahan tubuhnya dengan tangan. Sebuah vas bunga kristal berisi bunga mawar putih yang ada di atas meja bergoyang-goyang, nyaris jatuh. Dengan reflek, Camila menangkap vas itu. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, ta
Para pelayan dan penjaga langsung bergerak tanpa berani membantah. Dua penjaga memegangi Nathan yang masih mencoba melawan, namun tenaganya sudah habis. Mereka menariknya keluar dengan paksa, tubuh Nathan diseret tanpa belas kasihan melewati pintu utama.Saat Nathan akhirnya lenyap dari pandangan, Julian mengalihkan perhatiannya ke sudut aula. Di sana, Camila terduduk di lantai, tubuhnya lemas, pakaian robek, dan air matanya terus mengalir. Julian tertegun sejenak, rasa bersalah dan perlindungan bercampur di dalam hatinya.Ia berjalan mendekati menantunya, lalu melepas jaket hitam panjang yang ia kenakan. Dengan lembut, ia memakaikan jaket itu ke tubuh Camila yang gemetar. “Camila, kau aman sekarang,” ucap Julian, suaranya lebih lembut namun masih penuh otoritas.Camila mengangguk pelan, namun tidak berkata apa-apa. Matanya terus menatap lantai, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.Julian berdiri kembali, kali ini menatap para pe
Evelyn menatap Victor dengan ekspresi terluka, tapi Victor tidak peduli. Ia meraih jasnya dan berjalan cepat keluar dari ruangan, meninggalkan Evelyn yang masih terduduk di lantai.Saat melangkah menuju parkiran, Victor mengeluarkan ponselnya dan segera menelpon Julian. Setelah beberapa dering, suara berat ayahnya terdengar di ujung telepon.“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa aku harus segera pulang?” tanya Victor tanpa basa-basi.“Victor.” Suara Julian terdengar dingin, berbeda dari biasanya. “Kau akan tahu semuanya saat sampai di sini. Aku sudah terlalu lama membiarkanmu bertindak sesuka hati. Sekarang, waktunya aku memberimu pelajaran.” Nada bicara Julian membuat Victor terdiam sejenak. Ia tahu betul ayahnya adalah orang yang tenang dan jarang marah. Namun, kali ini, suaranya penuh amarah yang terkontrol, seperti badai yang siap meledak.“Ayah, pelajaran apa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Victor lagi, suaranya m
Victor baru saja melangkahkan kakinya ke ruang tamu mansion keluarga Aryasena ketika sebuah pukulan keras menghantam wajahnya. Ia tersentak mundur, hampir kehilangan keseimbangan."Ayah!" serunya, memegangi rahangnya yang mulai memerah. Ia menatap Julian, dengan tatapan bingung dan marah. "Apa-apaan ini? Kenapa Ayah memukulku?"Julian berdiri tegak di hadapannya, wajahnya tegang dan penuh amarah. “Itu untuk kehormatan keluarga ini yang kau injak-injak, Victor,” katanya dingin.Victor mengerutkan kening, masih belum mengerti. “Aku bahkan tidak tahu apa yang Ayah bicarakan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Julian mendekat, menunjuk tepat ke dada Victor dengan telunjuknya yang tegas. “Nathan, teman yang begitu kau percayai, datang ke rumah ini saat kau tidak ada dan mencoba melecehkan Camila. Kalau aku tidak datang tepat waktu, kau tahu apa yang mungkin terjadi?”Victor tertegun. “Nathan? Melecehkan Camila? Itu tidak mungkin!”“Tidak m
“Kau sudah mengatakan sendiri, Victor. Menikah denganmu akan membuat hidupku seperti di neraka. Jadi kenapa aku harus menghubungimu?”Jawaban itu membuat Victor terdiam, seperti dihantam oleh kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Ia memang pernah mengatakan hal itu, di hari-hari awal pernikahan mereka. Pernikahan yang tidak pernah ia inginkan, yang dipaksakan oleh keluarganya. Dan sekarang, kata-katanya kembali pada dirinya sendiri.Victor menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Kalau kau sakit, aku bisa mengantarmu ke dokter. Atau aku bisa memanggilkan dokter pribadi untuk datang ke sini.”Camila menggeleng pelan. “Aku tidak butuh dokter, Victor. Aku hanya ingin sendiri.”Victor menatap Camila yang berbaring dengan lemah di depannya. Wajahnya terlihat begitu lelah dan tertekan, seolah-olah seluruh energi dan semangat hidupnya telah terkuras habis.Untuk pertama kalinya, Victor merasa tidak berdaya. Ia tidak tah
Victor duduk di kursi kerjanya, memandangi layar ponsel dengan tatapan dingin. Amarahnya masih membara, bukan hanya kepada Nathan yang telah berbuat lancang, tetapi juga kepada dirinya sendiri karena membiarkan situasi itu terjadi. Dengan tangan yang mantap, ia menekan nomor Lucas, ayah Nathan. Panggilan itu hanya berbunyi dua kali sebelum suara Lucas yang berat dan tegas terdengar. “Victor,” sapa Lucas, meskipun nada suaranya tidak terdengar ramah. “Ada apa kau menelepon begini? Sebenarnya aku juga ingin mengatakan sesuatu.” Victor menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku ingin bicara tentang putramu. Nathan,” katanya langsung to the point. Lucas tertawa kecil, nada suaranya penuh sindiran. “Oh? Apa yang dia lakukan kali ini? Atau lebih tepatnya, apa yang menurutmu dia lakukan?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Tuan Lucas,” balas Victor dingin. “Nathan tadi datang
Mata Nathan membelalak, begitu juga Lucas. Keduanya saling pandang, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. "Dicambuk?" tanya Lucas, nadanya setengah berbisik namun penuh kejutan. "Ya, Tuan," jawab pelayan itu dengan kepala tertunduk. "Hukuman itu langsung diperintahkan oleh Victor Aryasena. Mereka dianggap lalai dalam menjalankan tugas." Nathan tidak tahu harus merasa apa. Jika Victor benar-benar tidak mencintai Camila, mengapa dia menghukum orang-orang itu? "Ayah." Suara Nathan akhirnya keluar, lemah tapi penuh kebencian. "Apa sebenarnya yang direncanakan Victor? Kenapa dia bertindak seperti ini? Apa dia sudah lupa dia berada di pihak mana?" Lucas memegang bahu Nathan dengan erat, mencoba menenangkan putranya. "Aku tidak tahu pasti, Nathan. Tapi satu hal yang jelas, Victor tidak akan bertindak tanpa alasan. Kita hanya perlu bersabar. Kita akan menemukan jawabannya, dan saat itu
Camila membuka matanya perlahan. Dunia tampak berputar sejenak sebelum akhirnya fokus. Ruangan itu dingin, sunyi, dan asing, tetapi wajah di sampingnya langsung membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Victor, suaminya, duduk dengan tenang di kursi kayu di dekat tempat tidur, memandangnya dengan mata dingin yang sulit diterjemahkan. Tatapan itu membuat tubuhnya menggigil, bukan karena udara ruangan, melainkan karena dinginnya suasana di antara mereka. “Kau sudah bangun?” Suara Victor terdengar datar, namun mengandung ketegasan yang sulit diabaikan. “Kenapa kau tidak makan sesuai jadwal?” lanjutnya tanpa basa-basi, membuat Camila sedikit terkejut. Camila terkekeh pelan, hampir seperti gumaman penuh ironi. "Sekarang kau peduli, Victor? Atau ini hanya basa-basi agar aku bisa hidup lebih lama untuk kau siksa?" jawabnya dengan nada yang tajam, namun tidak meninggalkan sisa-sisa kelemahan di suaranya. Victor mengangkat alis, bib
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak
Jeritan Camila menggema di antara pepohonan hutan yang gelap gulita. Tangisnya pecah saat Nathan mengarahkan pistol ke arah wajahnya, jemarinya sudah di pelatuk, seolah tak ada lagi ampun bagi perempuan yang selama ini menjadi obsesinya. Camila mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat, satu tangannya memeluk erat perutnya yang membesar, mencoba melindungi kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalamnya.Tiba-tiba.Sebuah suara keras menghantam udara. Kepala Nathan tersentak ke samping, tubuhnya limbung sesaat. Sebuah batu besar jatuh ke tanah, sementara di belakangnya berdiri sosok rapuh namun penuh keberanian—Sophia. Nafasnya memburu, tangan yang sudah keriput itu masih gemetar memegang batu lain sebagai pertahanan terakhir."Jangan sentuh menantuku," suara Sophia serak, namun jelas.Nathan mendesis marah, tangannya memegang sisi kepalanya yang mulai berdarah. Perlahan ia berbalik, matanya menyala penuh dendam. Wajahnya penuh amarah saat melihat siapa yang berani menyakitinya.“Bagus,
Langkah-langkah kaki terdengar remang di tengah pekatnya hutan, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat oleh cahaya bulan. Liam berjalan paling depan dengan tubuh siaga meski lelah mulai tampak dari gerak-geriknya. Di belakangnya, Camila memapah Sophia yang terus gemetar, napas wanita paruh baya itu sesak karena ketegangan dan usia.Camila terus memegangi perutnya yang kian membesar, mencoba menahan kecemasan yang menari-nari dalam pikirannya. Ia menoleh sesekali, memastikan tak ada siapa pun mengikuti mereka, tak ada suara asing selain hembusan angin malam dan gemerisik dedaunan. Namun harapan akan ketenangan itu hanya bertahan beberapa langkah saja.Suara tembakan memecah kesunyian seperti halilintar di malam hari.Camila tersentak dan langsung menoleh ke depan. Liam terduduk dengan satu lutut di tanah. Darah mengucur dari kakinya yang tertembak. Camila membelalakkan mata, menyusul tatapan Sophia yang membeku dalam ketakutan.“Nathan ...,” lirih Camila, suaranya bergetar.D
Udara segar menyambut mereka begitu pintu besi bawah tanah berhasil terbuka. Liam menggulirkan pintu itu dengan sekuat tenaga, menciptakan celah yang cukup lebar untuk dilalui. Sinar matahari senja menyusup masuk ke dalam lorong gelap, mengusir asap dan bayangan kematian yang sempat menyelimuti mereka. Camila mengerjapkan mata, seolah tidak percaya bahwa mereka berhasil keluar. Dengan gerakan perlahan, Liam naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan pada Camila."Ayo, aku bantu," ucapnya pelan.Camila mengangguk, menggenggam tangan Liam erat. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha naik, satu tangan tetap menjaga perutnya yang membesar. Setelah Camila berhasil keluar, Liam segera membantu Sophia yang terlihat sangat lelah dan gemetar hebat. Wanita paruh baya itu masih sempat menoleh ke belakang, seakan takut ada sesuatu di belakang.Mereka kini berdiri di tengah-tengah hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling mereka, menciptakan keteduhan yang kontras dengan panas dan sesak dari
Asap mulai memenuhi lorong sempit yang menghubungkan ruang belakang villa menuju pintu darurat bawah tanah. Cahaya remang dari lentera kecil yang dibawa Liam menjadi satu-satunya penerang mereka. Camila berjalan sambil menutup hidung dan mulut dengan lengan bajunya, matanya berair karena sesak dan kepanikan yang menggerogoti napasnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, tubuhnya lemah, dan setiap langkah terasa seperti menapaki ujung jurang."Liam ... aku tidak kuat," ucap Camila lirih, tubuhnya hampir roboh.Liam, yang terus memapahnya dengan tangan tegap, merapatkan posisi Camila di sisinya. “Kau harus kuat. Ini demi keselamatanmu,” ujarnya cepat namun tetap tenang, meskipun raut wajahnya menegang karena waktu yang kian menipis.Sophia yang berada di belakang mereka tampak kelelahan, namun matanya masih tajam. Joee berjalan paling akhir, sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Namun ketika suara tembakan dan ledakan mulai bersahutan di kejauhan, se
Liam membuka pintu kamar dengan tergesa, napasnya berat setelah mendengar tembakan di luar rumah. Sorot matanya langsung mencari satu sosok yang paling ia khawatirkan. Camila.Gadis itu terbangun dengan tubuh bergetar dan wajah panik. Matanya membesar saat melihat Liam masuk dengan ekspresi genting. “Apa yang terjadi? Suara apa itu barusan?” tanyanya tergesa, suaranya nyaris pecah karena cemas.Liam mendekat dan meraih bahu Camila, menatapnya dalam-dalam. “Kita harus pergi dari sini, sekarang juga. Keadaan sudah tidak aman.”Namun Camila tidak langsung bergerak. Matanya berkaca-kaca, dan yang pertama keluar dari bibirnya justru pertanyaan yang tak disangka Liam, “Di mana Ibu?”Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nyonya Sophia sedang bersama Joee, mereka sudah bersiap untuk menyusul. Kita harus keluar duluan—”Camila menggeleng cepat, matanya menatap Liam penuh keteguhan. “Aku tidak akan pergi tanpanya. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu. Aku tahu ... aku tahu mungkin ini berbahaya, t
Udara malam begitu hening, seolah waktu berhenti berputar di dalam kamar itu. Hanya suara napas lembut Camila yang terdengar, teratur dan tenang, pertanda tubuhnya akhirnya mendapatkan jeda dari kecemasan yang menggerogoti selama berjam-jam. Liam duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya sedikit condong ke depan sambil terus mengamati wajah Camila dengan seksama. Sesekali matanya berpindah ke alat pengukur detak jantung portable di meja kecil di dekat ranjang, memastikan semuanya tetap stabil.Belum ada kabar apa pun dari Victor sejak ledakan terakhir yang mengakhiri percakapan mereka. Tapi Liam tahu, jika Victor adalah seseorang yang bisa bertahan dari pertempuran sebelumnya, maka kali ini pun dia akan kembali. Hidup-hidup. Dan menang.“Aku hanya perlu menjaganya … sampai Victor datang,” gumam Liam dalam hati, hampir seperti doa.Tiba-tiba suara engsel pintu berderit pelan, membuyarkan lamunannya. Liam menoleh cepat. Sosok wanita paruh baya dengan gaun tidur berwarna putih pucat b
Begitu suara ledakan menggema dari seberang telepon, Victor segera memutuskan sambungan. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah dan kekhawatiran yang menyeruak di dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel mengepal kuat, sebelum ia menyelipkannya ke dalam saku celana.Tidak ada waktu lagi untuk terjebak dalam emosi. Perang telah benar-benar dimulai, dan dirinya tidak boleh goyah, tidak saat ini.Victor berbalik cepat, mengambil sebuah ransel besar yang telah disiapkannya sejak dua hari lalu—penuh dengan senjata dan peralatan bertahan hidup. Ia melangkah tegas menuju batas barat hutan, lalu berlari masuk ke dalam lebatnya pepohonan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Hutan itu sunyi, hanya suara langkah kaki Victor yang memecah kesunyian, bersama desau angin yang menggoyang dedaunan. Ia berhenti di sebuah titik yang tampak biasa saja—hamparan tanah berlumpur dengan semak belukar dan dedaunan kering. Namun, bagi Victor, tempat ini adalah benteng rahasia yang tidak pernah diketahu
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang, seperti turut menyembunyikan maksud yang tersembunyi di balik keheningan malam itu. Di sepanjang jalan menuju kediaman William, deru mesin kendaraan terdengar teratur. Puluhan mobil melaju dengan lampu yang diredam, nyaris tanpa suara selain deru pelan ban yang menggilas aspal.Nathan duduk di kursi belakang mobil utamanya, pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi penuh perhitungan. Di kendaraan lain yang berada tepat di sampingnya, Dominic terlihat mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut dengan tidak sabar, lalu ia mengaktifkan radio komunikasi."Kenapa jalan ini sangat sepi?" suara Dominic terdengar dalam alat komunikasi. "Tidak ada penjagaan, tidak ada blokade, bahkan jejak pergerakan pun tidak ada."Nathan mengangkat radio yang sama di tangannya, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin saja mereka hanya memusatkan pertahanan mereka di dalam mansion. Ini bisa menjadi taktik untuk menipu kita agar lengah."Namun, tatapan mata N