“Kau sudah mengatakan sendiri, Victor. Menikah denganmu akan membuat hidupku seperti di neraka. Jadi kenapa aku harus menghubungimu?”
Jawaban itu membuat Victor terdiam, seperti dihantam oleh kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Ia memang pernah mengatakan hal itu, di hari-hari awal pernikahan mereka.Pernikahan yang tidak pernah ia inginkan, yang dipaksakan oleh keluarganya. Dan sekarang, kata-katanya kembali pada dirinya sendiri.Victor menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Kalau kau sakit, aku bisa mengantarmu ke dokter. Atau aku bisa memanggilkan dokter pribadi untuk datang ke sini.”Camila menggeleng pelan. “Aku tidak butuh dokter, Victor. Aku hanya ingin sendiri.”Victor menatap Camila yang berbaring dengan lemah di depannya. Wajahnya terlihat begitu lelah dan tertekan, seolah-olah seluruh energi dan semangat hidupnya telah terkuras habis.Untuk pertama kalinya, Victor merasa tidak berdaya. Ia tidak tahVictor duduk di kursi kerjanya, memandangi layar ponsel dengan tatapan dingin. Amarahnya masih membara, bukan hanya kepada Nathan yang telah berbuat lancang, tetapi juga kepada dirinya sendiri karena membiarkan situasi itu terjadi. Dengan tangan yang mantap, ia menekan nomor Lucas, ayah Nathan. Panggilan itu hanya berbunyi dua kali sebelum suara Lucas yang berat dan tegas terdengar. “Victor,” sapa Lucas, meskipun nada suaranya tidak terdengar ramah. “Ada apa kau menelepon begini? Sebenarnya aku juga ingin mengatakan sesuatu.” Victor menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku ingin bicara tentang putramu. Nathan,” katanya langsung to the point. Lucas tertawa kecil, nada suaranya penuh sindiran. “Oh? Apa yang dia lakukan kali ini? Atau lebih tepatnya, apa yang menurutmu dia lakukan?” “Jangan pura-pura tidak tahu, Tuan Lucas,” balas Victor dingin. “Nathan tadi datang
Mata Nathan membelalak, begitu juga Lucas. Keduanya saling pandang, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. "Dicambuk?" tanya Lucas, nadanya setengah berbisik namun penuh kejutan. "Ya, Tuan," jawab pelayan itu dengan kepala tertunduk. "Hukuman itu langsung diperintahkan oleh Victor Aryasena. Mereka dianggap lalai dalam menjalankan tugas." Nathan tidak tahu harus merasa apa. Jika Victor benar-benar tidak mencintai Camila, mengapa dia menghukum orang-orang itu? "Ayah." Suara Nathan akhirnya keluar, lemah tapi penuh kebencian. "Apa sebenarnya yang direncanakan Victor? Kenapa dia bertindak seperti ini? Apa dia sudah lupa dia berada di pihak mana?" Lucas memegang bahu Nathan dengan erat, mencoba menenangkan putranya. "Aku tidak tahu pasti, Nathan. Tapi satu hal yang jelas, Victor tidak akan bertindak tanpa alasan. Kita hanya perlu bersabar. Kita akan menemukan jawabannya, dan saat itu
Camila membuka matanya perlahan. Dunia tampak berputar sejenak sebelum akhirnya fokus. Ruangan itu dingin, sunyi, dan asing, tetapi wajah di sampingnya langsung membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Victor, suaminya, duduk dengan tenang di kursi kayu di dekat tempat tidur, memandangnya dengan mata dingin yang sulit diterjemahkan. Tatapan itu membuat tubuhnya menggigil, bukan karena udara ruangan, melainkan karena dinginnya suasana di antara mereka. “Kau sudah bangun?” Suara Victor terdengar datar, namun mengandung ketegasan yang sulit diabaikan. “Kenapa kau tidak makan sesuai jadwal?” lanjutnya tanpa basa-basi, membuat Camila sedikit terkejut. Camila terkekeh pelan, hampir seperti gumaman penuh ironi. "Sekarang kau peduli, Victor? Atau ini hanya basa-basi agar aku bisa hidup lebih lama untuk kau siksa?" jawabnya dengan nada yang tajam, namun tidak meninggalkan sisa-sisa kelemahan di suaranya. Victor mengangkat alis, bib
Victor mengerutkan kening, tapi tidak menjawab. Ia tahu Julian tidak main-main. “Sekarang keluar,” perintah Julian. “Aku punya urusan yang lebih penting untuk diselesaikan.” Victor menatap ayahnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Setelah pintu tertutup, Julian menghela napas panjang, mencengkeram gelas anggurnya dengan erat. Ia berjalan ke jendela, memandang langit malam yang gelap. Dalam pikirannya, ada kekhawatiran besar yang bahkan Victor tidak perlu tahu. Kehamilan Camila memang penting untuk menjaga garis keturunan Aryasena, tetapi itu bukan salah satu bagian dari rencana besar yang sedang ia jalankan. Suara dering telepon membuyarkan lamunan Victor. Victor melihat nama yang tertera di layar ponselnya, nama bawahannya, Raphael. Suara di ujung sana langsung menjawab, terdengar berat dan penuh kehati-hatian. “Keluarga Wibisana sudah setuju?” tanya Victor tanpa bas
Meja makan keluarga Julian yang biasanya menjadi tempat kehangatan dan canda tawa, kini dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucapkan. Malam itu, suasana agak berbeda. Di tengah meja makan yang penuh dengan hidangan, Sophia, tampak duduk dengan sikap yang gelisah, matanya terpaku pada Camila. Camila duduk dengan anggun di sampingnya, namun ada sedikit kerutan di dahinya saat dia merasakan pandangan intens dari Sophia. Hidangan di piring Camila hampir tak tersentuh, sementara Sophia tampak sibuk menyuapkan makanan ke arah Camila, seperti seorang ibu kepada anak kecilnya. “Camila, buka mulutmu. Ayolah, makan ini. Kau pasti lapar, kan?” suara Sophia terdengar penuh semangat, tetapi ada nada yang aneh, seperti memaksa. Di tangannya, sebuah sendok penuh sup ayam mengarah ke mulut Camila. Camila, yang sudah beberapa kali menolak dengan lembut, mencoba tersenyum sambil mengangkat tangannya untuk menghentikan Soph
Camila merasakan jantungnya berdegup lebih kencang mendengar penjelasan Victor. Kekhawatiran itu membuatnya mengerti, meskipun ia belum sepenuhnya memahami dunia keluarga Aryasena yang penuh bahaya. "Victor, kau terlalu berlebihan," balas Julian, suaranya meninggi. "Kita selalu hidup di bawah ancaman. Namun, itu tidak berarti kita harus terus bersembunyi. Menyambut pewaris keluarga adalah tradisi! Kau tidak bisa mengabaikannya begitu saja." "Tidak, Ayah," Victor menjawab, tetap tenang namun tak kalah tegas. "Ini bukan soal tradisi. Ini soal keselamatan Camila dan bayi kami. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain. Yang penting sekarang adalah melindungi keluargaku. Aku tidak akan mengambil risiko sekecil apa pun." Julian menghela napas panjang, frustrasi dengan pendirian Victor. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa putranya memiliki poin yang kuat. Sebagai kepala keluarga Aryasena, Julian tahu betapa kejamnya dunia yang mereka jal
Angin sore bertiup lembut, mengantarkan daun-daun kering yang beterbangan di halaman depan rumah Victor dan Camila. Di depan pintu, Julian berdiri, sementara tangan memegang lengan istrinya, yang tampak resah dan gelisah. Di sebelah mereka, Camila, dengan senyum yang lembut, berusaha menenangkan ibu mertuanya yang terus-menerus memegangi tangannya. "Aku benar-benar harus pergi kali ini," ujar Julian dengan nada tegas namun penuh kehangatan. "Ini kedua kalinya aku pamit. Camila, kau sedang mengandung, dan aku tidak ingin menambah bebanmu. Sophia sudah cukup merepotkan kalian di sini." "Julian," Sophia menyela dengan suara bergetar. Matanya memerah, dan air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak ingin pergi. Aku ingin tetap di sini dengan Camila." Camila menghela napas panjang, lalu berdiri di hadapan ibu mertuanya, menggenggam kedua tangannya erat. "Ibu, tidak apa-apa. Kita memang harus berpisah untuk sementara, tapi aku janji, aku akan mene
Gabriel membungkuk sedikit, menatap layar laptop itu dengan penuh perhatian. Setelah beberapa menit membaca, ia mengangguk. Leon tersenyum puas. “Dan sekarang saatnya kita bertindak. Aku ingin kau mempersiapkan semuanya. Pastikan para anak buah kita sudah siap untuk bergerak. Kita akan segera mengirim dana itu ke wilayah utara. Aku tidak ingin ada penundaan.” Gabriel mengangguk tanpa ragu. “Berapa banyak dana yang perlu kita kirim?” “Semua yang sudah kita sepakati. Kau tahu apa yang harus dilakukan.” Gabriel menegakkan tubuhnya, wajahnya serius. “Saya akan mengatur semuanya segera, Tuan. Anak buah kita di utara sudah berada di bawah kendali saya. Dana akan dikirimkan dalam waktu tiga hari.” Leon menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi, merasa lebih tenang. Gabriel memang selalu bisa diandalkan. Ia tahu, dengan Gabriel yang memimpin pengiriman itu, segala sesuatu akan berjalan lancar. “Bagus. Pa
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak
Jeritan Camila menggema di antara pepohonan hutan yang gelap gulita. Tangisnya pecah saat Nathan mengarahkan pistol ke arah wajahnya, jemarinya sudah di pelatuk, seolah tak ada lagi ampun bagi perempuan yang selama ini menjadi obsesinya. Camila mundur selangkah, tubuhnya gemetar hebat, satu tangannya memeluk erat perutnya yang membesar, mencoba melindungi kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalamnya.Tiba-tiba.Sebuah suara keras menghantam udara. Kepala Nathan tersentak ke samping, tubuhnya limbung sesaat. Sebuah batu besar jatuh ke tanah, sementara di belakangnya berdiri sosok rapuh namun penuh keberanian—Sophia. Nafasnya memburu, tangan yang sudah keriput itu masih gemetar memegang batu lain sebagai pertahanan terakhir."Jangan sentuh menantuku," suara Sophia serak, namun jelas.Nathan mendesis marah, tangannya memegang sisi kepalanya yang mulai berdarah. Perlahan ia berbalik, matanya menyala penuh dendam. Wajahnya penuh amarah saat melihat siapa yang berani menyakitinya.“Bagus,
Langkah-langkah kaki terdengar remang di tengah pekatnya hutan, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat oleh cahaya bulan. Liam berjalan paling depan dengan tubuh siaga meski lelah mulai tampak dari gerak-geriknya. Di belakangnya, Camila memapah Sophia yang terus gemetar, napas wanita paruh baya itu sesak karena ketegangan dan usia.Camila terus memegangi perutnya yang kian membesar, mencoba menahan kecemasan yang menari-nari dalam pikirannya. Ia menoleh sesekali, memastikan tak ada siapa pun mengikuti mereka, tak ada suara asing selain hembusan angin malam dan gemerisik dedaunan. Namun harapan akan ketenangan itu hanya bertahan beberapa langkah saja.Suara tembakan memecah kesunyian seperti halilintar di malam hari.Camila tersentak dan langsung menoleh ke depan. Liam terduduk dengan satu lutut di tanah. Darah mengucur dari kakinya yang tertembak. Camila membelalakkan mata, menyusul tatapan Sophia yang membeku dalam ketakutan.“Nathan ...,” lirih Camila, suaranya bergetar.D
Udara segar menyambut mereka begitu pintu besi bawah tanah berhasil terbuka. Liam menggulirkan pintu itu dengan sekuat tenaga, menciptakan celah yang cukup lebar untuk dilalui. Sinar matahari senja menyusup masuk ke dalam lorong gelap, mengusir asap dan bayangan kematian yang sempat menyelimuti mereka. Camila mengerjapkan mata, seolah tidak percaya bahwa mereka berhasil keluar. Dengan gerakan perlahan, Liam naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan pada Camila."Ayo, aku bantu," ucapnya pelan.Camila mengangguk, menggenggam tangan Liam erat. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha naik, satu tangan tetap menjaga perutnya yang membesar. Setelah Camila berhasil keluar, Liam segera membantu Sophia yang terlihat sangat lelah dan gemetar hebat. Wanita paruh baya itu masih sempat menoleh ke belakang, seakan takut ada sesuatu di belakang.Mereka kini berdiri di tengah-tengah hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling mereka, menciptakan keteduhan yang kontras dengan panas dan sesak dari
Asap mulai memenuhi lorong sempit yang menghubungkan ruang belakang villa menuju pintu darurat bawah tanah. Cahaya remang dari lentera kecil yang dibawa Liam menjadi satu-satunya penerang mereka. Camila berjalan sambil menutup hidung dan mulut dengan lengan bajunya, matanya berair karena sesak dan kepanikan yang menggerogoti napasnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, tubuhnya lemah, dan setiap langkah terasa seperti menapaki ujung jurang."Liam ... aku tidak kuat," ucap Camila lirih, tubuhnya hampir roboh.Liam, yang terus memapahnya dengan tangan tegap, merapatkan posisi Camila di sisinya. “Kau harus kuat. Ini demi keselamatanmu,” ujarnya cepat namun tetap tenang, meskipun raut wajahnya menegang karena waktu yang kian menipis.Sophia yang berada di belakang mereka tampak kelelahan, namun matanya masih tajam. Joee berjalan paling akhir, sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Namun ketika suara tembakan dan ledakan mulai bersahutan di kejauhan, se
Liam membuka pintu kamar dengan tergesa, napasnya berat setelah mendengar tembakan di luar rumah. Sorot matanya langsung mencari satu sosok yang paling ia khawatirkan. Camila.Gadis itu terbangun dengan tubuh bergetar dan wajah panik. Matanya membesar saat melihat Liam masuk dengan ekspresi genting. “Apa yang terjadi? Suara apa itu barusan?” tanyanya tergesa, suaranya nyaris pecah karena cemas.Liam mendekat dan meraih bahu Camila, menatapnya dalam-dalam. “Kita harus pergi dari sini, sekarang juga. Keadaan sudah tidak aman.”Namun Camila tidak langsung bergerak. Matanya berkaca-kaca, dan yang pertama keluar dari bibirnya justru pertanyaan yang tak disangka Liam, “Di mana Ibu?”Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nyonya Sophia sedang bersama Joee, mereka sudah bersiap untuk menyusul. Kita harus keluar duluan—”Camila menggeleng cepat, matanya menatap Liam penuh keteguhan. “Aku tidak akan pergi tanpanya. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu. Aku tahu ... aku tahu mungkin ini berbahaya, t
Udara malam begitu hening, seolah waktu berhenti berputar di dalam kamar itu. Hanya suara napas lembut Camila yang terdengar, teratur dan tenang, pertanda tubuhnya akhirnya mendapatkan jeda dari kecemasan yang menggerogoti selama berjam-jam. Liam duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya sedikit condong ke depan sambil terus mengamati wajah Camila dengan seksama. Sesekali matanya berpindah ke alat pengukur detak jantung portable di meja kecil di dekat ranjang, memastikan semuanya tetap stabil.Belum ada kabar apa pun dari Victor sejak ledakan terakhir yang mengakhiri percakapan mereka. Tapi Liam tahu, jika Victor adalah seseorang yang bisa bertahan dari pertempuran sebelumnya, maka kali ini pun dia akan kembali. Hidup-hidup. Dan menang.“Aku hanya perlu menjaganya … sampai Victor datang,” gumam Liam dalam hati, hampir seperti doa.Tiba-tiba suara engsel pintu berderit pelan, membuyarkan lamunannya. Liam menoleh cepat. Sosok wanita paruh baya dengan gaun tidur berwarna putih pucat b
Begitu suara ledakan menggema dari seberang telepon, Victor segera memutuskan sambungan. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah dan kekhawatiran yang menyeruak di dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel mengepal kuat, sebelum ia menyelipkannya ke dalam saku celana.Tidak ada waktu lagi untuk terjebak dalam emosi. Perang telah benar-benar dimulai, dan dirinya tidak boleh goyah, tidak saat ini.Victor berbalik cepat, mengambil sebuah ransel besar yang telah disiapkannya sejak dua hari lalu—penuh dengan senjata dan peralatan bertahan hidup. Ia melangkah tegas menuju batas barat hutan, lalu berlari masuk ke dalam lebatnya pepohonan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Hutan itu sunyi, hanya suara langkah kaki Victor yang memecah kesunyian, bersama desau angin yang menggoyang dedaunan. Ia berhenti di sebuah titik yang tampak biasa saja—hamparan tanah berlumpur dengan semak belukar dan dedaunan kering. Namun, bagi Victor, tempat ini adalah benteng rahasia yang tidak pernah diketahu
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang, seperti turut menyembunyikan maksud yang tersembunyi di balik keheningan malam itu. Di sepanjang jalan menuju kediaman William, deru mesin kendaraan terdengar teratur. Puluhan mobil melaju dengan lampu yang diredam, nyaris tanpa suara selain deru pelan ban yang menggilas aspal.Nathan duduk di kursi belakang mobil utamanya, pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi penuh perhitungan. Di kendaraan lain yang berada tepat di sampingnya, Dominic terlihat mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut dengan tidak sabar, lalu ia mengaktifkan radio komunikasi."Kenapa jalan ini sangat sepi?" suara Dominic terdengar dalam alat komunikasi. "Tidak ada penjagaan, tidak ada blokade, bahkan jejak pergerakan pun tidak ada."Nathan mengangkat radio yang sama di tangannya, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin saja mereka hanya memusatkan pertahanan mereka di dalam mansion. Ini bisa menjadi taktik untuk menipu kita agar lengah."Namun, tatapan mata N