CEO Galak, Cintai Aku!

CEO Galak, Cintai Aku!

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-05
Oleh:  Andiniciput26On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
3 Peringkat. 3 Ulasan-ulasan
137Bab
7.4KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Mentari Chrysalis kena kutukan! Cewek berusia dua puluh lima tahun itu ketiban sial harus menjadi sekretaris dari seorang CEO super galak dan menyebalkan di perusahaan tempatnya bekerja. Sialnya lagi, dia mendadak tahu bahwa CEO-nya itu ternyata seorang duda beranak satu. Mentari sebal sekali dengan sifat dingin bosnya itu, sehingga setiap ada kesempatan, Mentari pasti akan mencari cara untuk melawannya. Senja Abimana, CEO tampan berusia tiga puluh lima tahun itu sangat senang apabila berhasil membuat sekretarisnya marah-marah dan sebagainya. Sifatnya memang dingin dan cuek, tapi jika sudah menyangkut Mentari, Senja merasa dirinya bisa menjadi manusia pada umumnya. Sifat Mentari yang ceria dan berani terhadapnya membuat Senja penasaran pada cewek cantik tersebut. Apalagi ketika Mentari tahu mengenai statusnya yang seorang duda beranak satu. Karena sering menghabiskan waktu bersama di kantor dan di luar kantor akibat anak Senja yang rupanya menyukai Mentari dan sangat menempel terhadapnya, perasaan baru itu pun hadir di hati Mentari. Sekretaris Senja yang tengil itu akhirnya membuat berbagai macam rencana untuk bisa menaklukan hati Senja, si CEO galak yang dulu dibencinya setengah mati. Dan rencana utamanya tentu saja agar Senja mau menikah dengannya! “Bos galak, bersiap-siaplah untuk jadi bucinnya saya!”

Lihat lebih banyak

Bab 1

#01

Sial adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Mentari Chrysalis saat ini.

            Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah satu tahun ini menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar yang terkenal. Gajinya memang lumayan besar, tapi tidak akan pernah bisa sepadan dengan kesehatan mentalnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan perusahaan dan pekerjaannya. Dia menyukai pekerjaannya tersebut. Masalahnya adalah... orang yang menjadi bosnya.

            “Gue pasti jadi gila,” gumam Mentari sambil menaruh beberapa berkas di atas meja kerjanya sendiri dengan sedikit bantingan. Tak lama, perempuan berambut panjang sepunggung yang hari ini dibiarkan tergerai itu duduk di kursinya sendiri, menopang dagu dengan sebelah tangan dan meniup poni yang menutupi keningnya. “Pasti!”

            Mellani, sahabat Mentari sejak perempuan itu diterima bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini, yang usinya dua tahun di atas Mentari, memutar kursi kerjanya agar dia bisa berhadapan dengan Mentari yang sedang cemberut hebat. Perempuan berambut pendek dan sudah menikah serta memiliki seorang anak laki-laki yang sangat tampan itu, tersenyum geli.

            “Ada apa lagi hari ini?” tanyanya dengan nada ingin tahu.

            Mentari menatap Mellani dengan tatapan merengek. “Marah-marah nggak jelas lagi, Mbak. Heran deh, gue. Padahal nih ya, dia ngeliat hasil kerjaan gue aja belum. Dia lagi telepon, pas gue masuk ke dalam ruangannya untuk nyerahin hasil kerjaan gue yang emang harus dia periksa juga. Sekalian, gue mau kasih tau jadwal dia untuk sisa hari ini. Eh, dia malah ngomelin gue dan nyuruh gue kerjain lagi semuanya. Gimana gue mau kerjain lagi, kalau yang ini aja belum diliat?”

            “Mungkin dia marah karena lo main masuk ke ruangannya seenaknya?” tanya Mellani lagi. Mencoba untuk mengutarakan pendapatnya.

            Mentari mendengus, kemudian tertawa datar. Dia menaruh keningnya di atas kedua lipatan tangannya yang berada di atas meja kerjanya. Suaranya teredam ketika berbicara dengan Mellani.

            “Gue ngetuk pintu, Mbak, dan dia udah nyuruh buat masuk.” Mentari terdiam, lalu mendadak kepalanya terangkat dan dia mengerjap. “Mungkin dia lagi menstruasi, Mbak?”

            Baru saja Mellani ingin menegur Mentari agar tidak sembarangan bicara, seseorang melewati mereka berdua. Tubuhnya tinggi tegap dengan wajah tampan. Kulitnya putih dan tatapannya begitu tegas bak seekor elang. Alis tebal itu menaungi sepasang manik hitam legam yang kini melirik ke arah Mentari. Hidung mancungnya semakin mempertegas ketampanan laki-laki tersebut. Orang yang baru saja menjadi objek pembicaraan Mentari dan Mellani. Seketika itu juga, Mellani menutup kembali mulutnya dan Mentari langsung menegakkan punggung.

            “Hanya ingin kamu tahu saja, Mentari, kalau saya nggak pernah mengalami menstruasi selama tiga puluh lima tahun saya hidup di dunia ini. Nggak pernah dan tidak akan pernah.”

            Mentari menelan ludah dan meringis sambil mengangguk. Anggukan yang menandakan kalau dirinya menyesal karena sudah berkata yang aneh-aneh. Tapi dalam hati, Mentari tentu saja tidak menyesali ucapannya tersebut. Orang sikap si bos galak ini benar-benar terlihat seperti perempuan yang sedang menstruasi, kok. Mentari sendiri lupa kalau ruangan si bos tepat berada di belakang meja kerjanya.

            “Siang, Pak Senja,” sapa Mentari, mencoba terlihat sopan dan imut. Dia berdiri dan membungkuk sebentar untuk menyapa. “Apa Pak Senja mau makan siang di luar? Atau, mau saya saja yang belikan supaya Pak Senja tidak perlu repot-repot jalan kaki keluar? Di luar sedang panas-panasnya, Pak, nanti gantengnya Bapak bisa memudar, loh.”

            Senja Abimana mendengus dan mengibaskan sebelah tangannya. Lalu, laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dibandingkan dengan Mentari itu pergi begitu saja. Meninggalkan Mentari yang memutar bola matanya karena kesal dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek Senja Abimana, si bos galak yang sudah menghilang dari pandangan.

            “Dasar sensi! Emang susah kalau berurusan sama orang yang udah tua, tuh,” gerutu Mentari. Dia baru saja mau duduk, ketika Senja kembali muncul hingga membuatnya buru-buru menegakkan tubuhnya kembali. Senyum sopan dan manis kembali muncul di wajah cantik Mentari. Mentari yang tingginya hanya sekitar 160 senti itu dan tidak sebanding dengan tinggi bosnya yang galak tersebut, kini merasa semakin kecil dan menciut karena ditatap oleh mata tajamnya tersebut. “Eh, Pak Senja balik lagi. Ada apa, Pak?”

            “Kamu bilang, kamu bersedia untuk membelikan saya makanan,” sahut Senja. “Terus, apa lagi yang kamu tunggu? Kenapa kamu belum pergi? Saya sudah lapar.”

            Mentari mengerjap. “Loh? Tapi, bukannya Bapak mau pergi cari makan sendiri?” tanya Mentari dengan nada polos.

            “Siapa yang bilang seperti itu? Apa barusan saya bilang ke kamu kalau saya mau cari makan sendiri?”

            Mentari melirik Mellani, meminta dukungan dan bantuan, karena dia yakin Mellani pun melihat apa yang barusan terjadi. Namun, seniornya itu hanya menggeleng singkat dan menyuruh Mentari untuk mengikuti saja kemauan si bos tanpa banyak omong.

            “Tapi, barusan Bapak—“

            “Saya mau ke toilet,” potong Senja langsung. Dia bersedekap dan menatap Mentari dengan tatapan menantang. “Apa kamu pikir, untuk urusan toilet, saya harus bilang ke kamu? Kamu sendiri kan yang tadi menawarkan diri untuk membelikan saya makan siang karena takut ketampanan saya memudar akibat cuaca panas di luar? Cepat belikan saya makan siang. Lima belas menit. Saya hanya akan menunggu sampai sebatas itu. Kalau dalam lima belas menit kamu belum juga kembali dan membawa makan siang untuk saya, kamu akan saya suruh untuk lembur hari ini.”

            Mentari mengerjap lagi dan melongo. Dia tidak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa mematung, membiarkan Senja Abimana kembali menghilang dari pandangannya. Lalu, Mentari berseru histeris sambil menghentak kedua kakinya ke lantai dan mengacak rambutnya gemas. Tingkahnya itu membuat Mellani meringis, pun dengan beberapa pegawai yang ada di sekitar mereka dan menyaksikan kejadian barusan.

            “Sumpah mati ya itu bos galak! Gue sumpahin dia impoten!” seru Mentari. Masa bodoh deh kalau Senja Abimana mendengar sumpah serapahnya barusan. Udah kepalang emosi sampai ke ubun-ubun soalnya. Kalau ini adalah adegan di dalam animasi, mungkin dari atas kepala Mentari sudah akan keluar asap putih, pun dengan kedua telinganya dan wajahnya akan memerah akibat emosi yang saat ini dia rasakan. “Apa gue taruh racun tikus aja di dalam makan siangnya? Ya! Ya! Kayaknya itu ide yang bagus.”

            Mellani tertawa pelan dan menggeleng. “Jangan marah-marah gitu ah, Tar. Jangan terlalu benci juga sama si bos. Lo tau kan kalau sekat antara benci dan cinta itu tipis banget? Gimana kalau nanti lo malah jatuh cinta sama si bos?”

            Mentari melongo dan detik berikutnya memperagakan adegan orang yang sedang muntah. Dia mengambil dompetnya dan bergegas turun untuk mencari makan siang bagi bos sialannya tersebut. Tak lupa, dia membalas ucapan Mellani lebih dulu.

            “Amit-amit, deh. Nggak akan mau gue jatuh cinta sama cowok tua galak model si bos. Matahari bakalan terbit dari Barat kalau sampai gue sama si bos menjalin hubungan! Gue cari makan siangnya dulu, ya, Mbak. Sekalian sama racun tikus.”

            Dan Mentari pergi sambil menggerutu entah apa, membuat teman-teman di ruangannya tersenyum geli dan kembali menyelesaikan sisa pekerjaan masing-masing sebelum memutuskan untuk makan siang.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Yen Lamour
I love this story ^o^ bikin ketagihan bacanya
2022-10-25 16:32:09
0
user avatar
Marina
ceritanya bagus kak
2022-10-16 14:31:06
0
user avatar
Marina
ceritanya bagus kak
2022-10-16 14:30:39
0
137 Bab
#01
Sial adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Mentari Chrysalis saat ini. Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah satu tahun ini menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar yang terkenal. Gajinya memang lumayan besar, tapi tidak akan pernah bisa sepadan dengan kesehatan mentalnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan perusahaan dan pekerjaannya. Dia menyukai pekerjaannya tersebut. Masalahnya adalah... orang yang menjadi bosnya. “Gue pasti jadi gila,” gumam Mentari sambil menaruh beberapa berkas di atas meja kerjanya sendiri dengan sedikit bantingan. Tak lama, perempuan berambut panjang sepunggung yang hari ini dibiarkan tergerai itu duduk di kursinya sendiri, menopang dagu dengan sebelah tangan dan meniup poni yang menutupi keningnya. “Pasti!” Mellani, sahabat Mentari sejak perempuan itu diterima bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ini, yang usinya dua tahun di atas Mentari, memutar kursi kerjanya agar dia
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-20
Baca selengkapnya
#02
Sekarang, Mentari Chrysalis berpikir kalau dirinya sudah disumpahi oleh orang lain. Kalau Mentari sampai tahu siapa orang sialan yang sudah menyumpahinya itu, Mentari akan meminta uang kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban karena sudah membuat mentalnya terguncang. Pasalnya, belum cukup Mentari harus berurusan dengan Senja Abimana lima hari dalam seminggu di kantor, kini Mentari harus bertemu dengan bosnya yang super galak dan menyebalkan serta keluaran neraka tersebut di hari Sabtu yang damai seperti ini. Senja Abimana nampak cool dengan kaus berwarna hitam lengan panjang dan celana panjang santai. Seperti celana olahraga, bukan celana jeans. Cowok itu mengenakan kacamata yang tidak pernah dilihat oleh Mentari sebelumnya. Setahunya, Senja Abimana tidak memakai kacamata saat bekerja, lantas kenapa sekarang bosnya itu memakai kacamata? “Ini cuma kacamata santai. Bukan kacamata kerja atau kacamata baca. Mata saya masih normal, meskipun saya sud
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-20
Baca selengkapnya
#03
“Ini rumah kamu?” Pertanyaan itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya dan mengangguk. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menghembuskan napas lega secara samar. Akhirnya, perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih sepuluh menit dan terasa seperti di kuburan itu berakhir juga. Bagaimana tidak seperti di kuburan, kalau suasananya sangat mencekam? Tidak ada satu pun di antara Senja dan Mentari yang saling berbicara dan aura Senja terasa menyesakkan dada bagi Mentari. Terlebih, hujan juga masih turun dengan derasnya. “Kenapa gitu, Pak?” Mentari balas bertanya. Hujan saat ini sudah berkurang intensitasnya, sehingga Mentari merasa tidak masalah jika harus menerobos dari tempatnya saat ini menuju ke dalam rumah. Sesampainya di rumah nanti, dia akan berendam air panas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. “Ya, mungkin dibandingin sama rumah Bapak, rumah saya emang nggak ada apa-apanya.” “Saya nggak bilang kalau rumah k
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-20
Baca selengkapnya
#04
Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali. Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya. “Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.” “Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak seng
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-20
Baca selengkapnya
#05
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-20
Baca selengkapnya
#06
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum.            Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini.            “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu. &n
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-26
Baca selengkapnya
#07
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung.            Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya.            Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak.            Ciuma
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-27
Baca selengkapnya
#08
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-28
Baca selengkapnya
#09
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-29
Baca selengkapnya
#10
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu.            Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci.            Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.          &
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-08-30
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status