Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum.
Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini.
“Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.
“Hei, apa kamu harus mengumumkan ke semua orang yang ada di taman ini kalau saya seorang duda?” bisik Senja. Meskipun Mentari adalah sekretarisnya yang sangat tengil dan menyebalkan, tapi dia tetaplah seorang cowok dewasa yang bisa merasa tergoda karena aroma parfum milik lawan jenis.
Mentari yang tidak menduga dia akan berada sedekat ini dengan Senja, atasannya, hingga bisa merasakan hela napas hangat milik bosnya tersebut, mematung. Debaran jantungnya mulai sedikit tidak terkontrol, namun dia bisa mengendalikannya lagi hanya dalam waktu beberapa detik. Dia hanya perlu mengingat hal-hal menyebalkan yang sudah dilakukan oleh Senja kepadanya selama ini.
“Saya kan kaget, Pak,” sahut Mentari polos. “Masa kalau orang kaget suaranya kecil? Itu nggak mungkin, Pak. Orang kaget itu jelas-jelas bakalan berteriak. Oh, atau Bapak mau saya ngomong lebih kencang lagi?”
Senja menarik napas panjang. Cowok itu melepaskan lengan Mentari, kemudian mendekati Gerhana yang sejak tadi hanya diam. Namun, Senja tahu kalau kedua mata Gerhana itu tidak pernah berhenti untuk menatapnya dengan tajam dan dingin. Kemudian, Senja berkata, “Kamu kakaknya Mentari, kan?”
“So?” tantang Gerhana. Dia mengerutkan kening. Makin ke sini, cowok itu makin tidak menyukai Senja yang katanya seumuran dengannya itu.
Senja langsung menyerahkan Angelica yang berada dalam gendongannya ke dalam gendongan Gerhana. Meskipun tidak siap, tapi Gerhana refleks membuka kedua tangannya dan mengambil alih tubuh mungil anak dari Senja tersebut. Dengan wajah dan tatapan bingung, dia bertanya melalui tatapan matanya apa maksud dari sikap Senja saat ini.
Setelah memberikan Angelica pada Gerhana, Senja tersenyum lembut ke arah anaknya dan membungkuk sedikit agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah Angelica. Malaikat kecilnya yang cantik itu sudah berhenti menangis dan kini terlihat anteng di dalam gendongan Gerhana. Senja bersyukur karena Angelica bukanlah anak yang gampang merengek dan tidak takut dengan orang lain. Meskipun begitu, Senja juga harus berhati-hati dan mengajari Angelica untuk tidak sembarangan mengikuti orang asing.
“Angel, Papa mau ke sana dulu,” tunjuknya ke arah bangku taman yang tidak terlalu jauh dari tempatnya mereka saat ini. “Sama tante ini. Ini namanya tante Mentari—“
“Bapak! Saya masih dua puluh lima tahun dan saya nggak mau dipanggil tante! Panggil saya kakak!” rengek Mentari. Tapi, Senja tidak menggubrisnya.
“Papa mau ngomong sebentar sama tante Mentari. Ada urusan. Angel nggak apa-apa kan sama om ini dulu? Om ini orangnya baik, kok. Namanya....” Senja menaikkan satu alis, kemudian mendongak untuk menatap Gerhana. Dari sorot matanya, Gerhana tahu apa yang sedang Senja lakukan, karenanya dia menyebutkan namanya dengan ogah-ogahan. “Namanya om Gerhana. Nanti, om Gerhana bakalan beliin Angel es krim. Angel harus jadi anak yang penurut dan jangan bikin om Gerhana susah, oke?”
Angelica tersenyum lebar ketika mendengar kata es krim dan mengangguk. Lalu, dia langsung mengalungkan kedua tangan mungilnya ke leher Gerhana, menyembunyikan wajahnya dengan riang di leher cowok tersebut.
“Saya titip anak saya sebentar,” kata Senja dengan nada tegas sambil menegakkan punggung. “Saya mau bahas masalah pekerjaan sama adik kamu.”
“Tapi—“
Senja tidak memedulikannya. Cowok itu langsung meraih pergelangan tangan Mentari, lalu menariknya menjauh dari Gerhana dan Angelica. Mentari yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bisa pasrah dibawa pergi oleh bos galaknya itu. Ketika hanya ada mereka berdua dan jauh dari kerumunan taman, barulah Senja berhenti melangkah dan melepaskan tangan Mentari.
“Bapak... nggak mau berbuat mesum sama saya di sini, kan?” tanya Mentari ragu dan takut.
“Kamu pikir saya ini sebejat apa?” gerutu Senja. Dia menyentil kening Mentari, hingga cewek itu mengaduh keras dan mengusap keningnya yang terasa perih itu. “Saya mau kamu rahasiakan masalah ini dari orang-orang di kantor. Nggak ada yang tau kalau saya udah pernah menikah dan sekarang memiliki satu orang anak. Hanya beberapa orang kepercayaan saya di kantor yang tau mengenai hal ini, termasuk kamu yang nggak sengaja tau barusan.”
Mendengar itu, senyuman jahil langsung muncul di bibir Mentari. Dia merasa di atas angin, memiliki kartu AS mengenai bosnya tersebut. Kartu AS ini nanti pasti bisa berguna untuk Mentari, jika Senja berani macam-macam dan membuatnya marah. Cewek itu pun memiringkan kepala sambil bersedekap, membuat Senja bersikap waspada.
Pasti ada hal-hal aneh yang muncul di kepalanya saat ini, batin Senja.
“Heh. Jadi, saya memegang kartu AS Bapak, nih, sekarang?” Cewek itu tertawa pelan, kemudian mendekati Senja. Mentari terpaksa mendongak agar bisa menatap mata Senja. “Kalau saya nggak mau rahasiain ini dari orang-orang kantor, Bapak bakalan ngapain saya? Hm?”
Senja diam. Cewek di hadapannya ini benar-benar selalu bisa menguji kesabarannya. Apa dia harus memecatnya? Tidak, itu bukan opsi. Kinerja Mentari di kantor sangatlah bagus. Jika dia memecat Mentari, maka pekerjaannya akan keteteran. Belum tentu dia mendapatkan sekretaris baru yang sebagus Mentari. Karena itulah, Senja mengambil cara lain. Cowok itu menyeringai, membuat Mentari yang tadinya merasa menang, kini menelan ludah dan mulai melangkah mundur.
Sayangnya, gerak tubuhnya itu kalah cepat dibandingkan dengan Senja. Begitu melihat Mentari yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menciptakan jarak, Senja langsung mengulurkan sebelah tangan dan melingkarinya di pinggang Mentari. Lalu, Senja membawa tubuh Mentari ke dalam dekapannya.
Sementara di tempatnya Gerhana terbelalak ketika melihat hal itu, Mentari pun demikian. Dia menyentak napas dan refleks menahan napasnya di detik berikutnya. Mata bulatnya semakin membulat dan anehnya terlihat lucu di kedua mata Senja. Mentari meronta, mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan erat Senja. Cewek itu sudah seperti ulat yang menggeliat. Seperti kupu-kupu yang tersangkut di jaring laba-laba. Dia memundurkan kepalanya sebisanya, tapi percuma saja karena Senja semakin menarik tubuh Mentari ke dalam pelukannya.
“Ba—Bapak! Bapak mau ngapain?!” seru Mentari tertahan. Dia melirik ke sekitarnya dan untungnya saja, selain kakaknya, tidak ada yang memerhatikan mereka berdua.
Kemudian, Senja mendekatkan wajahnya ke telinga Mentari dan berbisik, “Kalau kamu sampai berani membocorkan masalah ini di kantor, saya tidak akan segan-segan membuat anak kedua. Bedanya, kali ini saya akan membuatnya dengan kamu, Mentari Chrysalis.”
Mentari terkesiap. Dia sudah siap untuk memaki Senja, ketika Senja mendekatkan bibir mereka berdua. Langsung saja Mentari memejamkan kedua matanya erat-erat dan berteriak.
“Arrrgh! Saya nggak mau dicium sama Pak Senja!”
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&
“Honeymoon?!” seru Mentari, ketika kekagetannya sudah mereda. Sungguh, mereka hanya akan menjadi pasangan suami-istri pura-pura di hadapan Surya Sanjaya. Lantas, kenapa bos galaknya ini justru membicarakan masalah bulan madu segala? Apa... apa sebenarnya Senja Abimana ingin memiliki tubuhnya? Menggerayanginya? Benar-benar ingin menaruh janin di dalam rahimnya?! Serius?! Bos galaknya itu punya hasrat seksual terpendam untuknya?! Sadar jika pikiran di dalam kepala mungil Mentari itu sudah melantur ke mana-mana, ditambah pula dengan tatapan bak pisau yang dilemparkan oleh cowok bernama Samudra yang mengaku sahabat dari Mentari, Senja buru-buru berdeham. Dia juga tahu, dia sudah salah mengucapkan kalimat, hingga membuat Mentari salah paham. Tapi, Senja juga tidak ingin memperbaiki ucapannya atau menjelaskan maksud perkat
“Gini-gini, Pak, saya juga tau soal teknik-teknik bikin anak dari novel-novel romansa dewasa yang saya baca!” Alis Samudra terangkat satu ketika dia mendengar hal tersebut. Kemudian, Mentari sadar jika dia sudah mengucapkan rahasia gelapnya. Bahwa dia senang membaca novel romansa dewasa. Wajahnya memanas dengan cepat dan rona merah itu mulai menguasai wajah cantiknya. “Hm....” Senja bergumam. Wajahnya menunjukkan betapa dia sangat serius memikirkan kalimat Mentari barusan. Cowok itu mengusap dagunya dan memberikan tatapan ingin tahu kepada sekretarisnya tersebut. “Berarti, kalau saya mau bikin anak sama kamu dan minta dengan teknik—“ “Don’t you dare, Sir,” geram Mentari, memotong ucapan Senja yang
Demi Dewa Kronos! Mentari ingin sekali waktu berhenti detik ini juga, membekukan semua orang, sehingga dirinya bisa kabur dari tempat ini. Dia sedang mencium bibir bos galak garis miring tampannya itu. Kekenyalan bibir Senja Abimana membuat Mentari terlena, tapi dia buru-buru mengembalikan kewarasannya lagi. Dengan satu gerakan cepat, Mentari menjauhkan tubuhnya dan berdiri tegak. Panas menjalar di wajahnya dan jantungnya kemungkinan besar sebentar lagi akan meledak saking kencangnya dia berdetak. Sementara itu, Senja berdeham. Dia bangkit dan membersihkan tepung terigu yang ada di pakaiannya. Cowok itu melirik Mentari yang sudah berubah menjadi boneka rusak di tempatnya, sibuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Senyum simpul itu muncul di bibir Senja, kemudian dia menarik napas panjang dengan berlebihan. Tentu saja hal itu menarik p
“Oke. Ini sandiwara yang udah gue siapin buat lo dan sekretaris aneh lo itu.” Kalimat Awan membuat Senja menaikkan satu alisnya. Cowok itu melempar beberapa lembar kertas ke atas meja, di hadapan Senja. Dia memeriksa semua hasil tulisan Awan, lalu mengulum senyum. Lalu, terdengar suara langkah kaki dan ketika Senja serta Awan menoleh, Mentari muncul dari arah dapur sambil membawa sekotak es krim di tangannya. Wajahnya terlihat kesal, begitu juga dengan tatapan matanya. Dia menyuapkan sesendok penuh es krim ke dalam mulutnya, lalu duduk di sofa terjauh dari Senja dan Awan. “Siapa yang ngebolehin kamu ambil es krim di kulkas saya?” tanya Senja dengan nada geli sambil menaikkan satu alisnya lagi. “Bapak lupa kalau barusan Bapak baru aja n
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken