Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali.
Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya.
“Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.”
“Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak sengaja ketemu dia di supermarket dan dia juga yang nganterin gue pulang barusan.”
Samudra mengikuti Mentari masuk ke dalam rumah bagaikan anak anjing yang mengekori majikannya. Sesampainya di dalam, Mentari melempar jaket milik Senja ke sofa dan langsung menuju ke arah kulkas. Dia mengambil jus jeruk dalam kemasan kotak dan langsung meminumnya.
“Mentari, lagi hujan-hujan begini kamu malah minum minuman dingin,” tegur Gerhana Quill, kakak dari Mentari. Cowok berusia tiga puluh lima tahun itu menggeleng dan melanjutkan kembali pekerjaannya di laptop. Orang tua Gerhana dan Mentari memang menyukai nama-nama yang berbau alam.
“Haus, Kak,” sahut Mentari kalem. Dia lantas membuang jus kemasan tersebut ke tempat sampah dan menatap Samudra yang sedang mengeluarkan belanjaan dari dalam kantung plastik, kemudian merapikannya di atas meja. Senyuman tengilnya muncul, membuat Samudra menaikkan satu alis. “Lo cocok buat jadi asisten rumah tangga, Sam. Berniat untuk jadi ART di rumah gue?”
“Sialan,” gerutu Samudra. Dia hampir saja melemparkan salah satu bungkusan camilan ke arah Mentari kalau saja tidak mengingat keberadaan Gerhana yang memang sangat protektif terhadap adik ceweknya itu. “Udah gue bantuin gratis, bukannya bilang terima kasih, malah ngatain gue.”
“Hehe. Maaf.”
“Omong-omong, Kak Gerhana,” panggil Samudra, membuat Gerhana mendongak dari laptopnya. Tujuan Samudra ke rumah Mentari, selain karena ini weekend dan rumah sahabatnya itu dekat dari rumahnya, Samudra juga ingin menanyakan sesuatu mengenai game sekaligus ingin mengajak kakak dari Mentari itu untuk bermain game online. “Kak Gerhana tau nggak kalau barusan Mentari diantar pulang sama om-om? Tuh, itu juga jaketnya si om-om, loh.”
Mendengar itu, singa di dalam diri Gerhana langsung terbangun. Cowok itu menoleh cepat ke arah Mentari yang mengerjap dan melongo. Dia memberikan tatapan tajam sekaligus menuntut, meminta penjelasan. Sementara itu, Mentari mengutuk Samudra di dalam hati karena tidak menyangka sahabatnya itu akan membalasnya dengan cara seperti ini.
“Can you explain that, little sister?” tanya Gerhana dengan nada tegas. Dia berdiri dari sofa dan bersedekap, kemudian mendekati Mentari yang langsung menggeleng sambil menggoyangkan kedua tangannya.
“Bohong, Kak! Itu tadi bukan om-om! Dia bos aku di kantor. Nggak sengaja ketemu di supermarket dan berbaik hati nganterin aku pulang karena hujan deras tadi.” Mentari kemudian menunjuk Samudra yang menyembunyikan senyuman gelinya sambil memalingkan wajah. “Emang sialan lo, ya!”
“Bos? Itu berarti dia udah om-om, kan?” kejar Gerhana, tidak mau kalah. “Bos kamu pastinya udah tua, kan? Mentari Chrysalis! Berani-beraninya kamu main api sama om-om yang udah tua—“
“Whoa! Whoa! Kak!” Mentari memotong kalimat Gerhana dengan berapi-api. “Don’t go there! Kakak pikir aku ini cewek apaan mainannya sama om-om tua bangka? Enak aja! Meskipun dia bos aku, tapi dia belum setua itu. Dia masih tiga puluh lima tahun, sama kayak Kak Gerhana. Masih muda, kan?” Mentari kini meminjam kata-kata Senja Abimana, di saat cowok tersebut membalas ucapannya di supermarket tadi.
“Tiga puluh lima tahun itu udah tua, Mentari! Dia udah mau kepala empat!” gerutu Gerhana. Kali ini, Gerhana meminjam kata-kata Mentari yang tadi cewek itu gunakan untuk menyerang Senja.
Mentari mengerang dalam hati. Memang ya si Samudra Pratama ini minta dirajam! Bisa-bisanya cowoknya itu membuatnya berada dalam posisi tidak mengenakkan seperti ini. Sudah begitu, sampai membuat kakak tersayangnya itu marah-marah karena salah paham, pula. Karena tenaganya sudah habis terkuras akibat berdebat dengan Senja di supermarket tadi, Mentari jadi tidak punya kekuatan lagi untuk berdebat dengan sang kakak. Pokoknya, dia akan meminta pertanggungjawaban Samudra nanti.
“Bodo ah, Kak. Aku pusing! Aku ke kamar dulu, ya. Mau mandi air hangat.” Mentari memberikan tatapan betenya untuk Samudra, sebelum akhirnya dia berlari meninggalkan ruangan tersebut. Tak lupa, Mentari membawa serta jaket milik Senja. Karena, kalau tidak begitu, kemungkinan besar jaket itu akan berakhir di tempat sampah, atau yang lebih parah lagi, dibakar oleh sang kakak.
“Mentari! Mentari, kamu dengar Kakak, ya! Sampai kapan pun, Kakak nggak akan kasih restu kalau kamu sama bos kamu menjalin hubungan! Pokoknya nggak boleh sama orang yang udah tua, Mentari! Nanti kamu masih umur tiga puluhan, dia udah jadi kakek-kakek peyot!”
Mentari menanggapinya dengan membanting pintu kamarnya. Heran, deh. Bisa-bisanya Gerhana berpikir dirinya akan menjalin hubungan dengan bos galaknya itu? Sampai neraka berubah dingin pun, Mentari ogah banget kalau harus terikat sama Senja Abimana.
###
Minggu pagi.
Setiap hari Minggu pagi, Mentari akan lari pagi di sekitar kompleks perumahannya, kemudian berakhir di taman kompleks, tempat di mana banyak penjual makanan berjejer rapi. Di taman kompleks itu pula, banyak anak-anak bermain bersama orang tua mereka. Dan, Mentari tentunya ditemani oleh kakaknya yang selalu memiliki tulisan tanpa wujud di keningnya, namun berhasil dibaca dengan sangat baik oleh cowok-cowok yang punya niat untuk mendekati Mentari.
‘Awas kakak galak’.
“Kamu mau sarapan apa, Tar? Biar aku beliin.” Gerhana menyeka keringat di keningnya dengan menggunakan handuk kecil yang memang selalu dibawanya jika sedang olahraga. “Aku mau ketoprak.”
Mentari menatap jejeran makanan di tepi taman. Dan pilihannya jatuh pada bubur ayam.
“Kayak biasa, kan? Cuma bubur, pakai cakwe yang banyak, daun bawang, sama kerupuk?”
Kening Mentari mengerut. “Sambalnya?” tanyanya dengan nada dan tatapan memelas. Mentari pecinta pedas. Sudah sejak kecil dia menyukai makanan tersebut. Hidup tanpa makanan pedas adalah hal yang membuat Mentari bersedih.
“Kamu baru aja kena maag seminggu yang lalu. Jadi, berhenti dulu makan makanan pedas. Kamu juga tentunya nggak mau aku laporin ke bunda, kan?” ancam Gerhana, membuat Mentari cemberut. Cowok itu kemudian tersenyum dan mengacak rambut sang adik. “Ingat, Mentari, jangan pernah mengikuti orang asing, oke?”
Setelah Gerhana pergi untuk membeli sarapan, Mentari yang bete karena diperlakukan seperti anak kecil barusan, menunggu di bangku taman sambil memainkan ponselnya. Sedang asyik bermain, tiba-tiba dia merasakan lututnya dipegang. Otomatis, Mentari mengerjap dan mengalihkan pandangannya dari ponsel, dan menemukan sesosok anak kecil berjenis kelamin perempuan yang sangat cantik, lucu dan menggemaskan sedang berdiri di hadapannya sambil memegangi lututnya. Senyuman Mentari pun langsung terbit.
“Halo, anak manis,” sapanya. Dia mengusap pipi si anak yang terlihat gembil dan putih. Sangat menggemaskan. “Siapa nama kamu? Hm?”
Bukannya menjawab, mata bulat besar si anak mendadak berkaca. Kemudian, air mata itu mengalir, diikuti dengan isak tangisnya.
“Hiks. Mama....”
Seketika itu juga, Mentari memucat di tempatnya.
Mati! Kenapa dia nangis?! Gimana kalau gue disangka mau nyulik ini bocah?!
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&
“Honeymoon?!” seru Mentari, ketika kekagetannya sudah mereda. Sungguh, mereka hanya akan menjadi pasangan suami-istri pura-pura di hadapan Surya Sanjaya. Lantas, kenapa bos galaknya ini justru membicarakan masalah bulan madu segala? Apa... apa sebenarnya Senja Abimana ingin memiliki tubuhnya? Menggerayanginya? Benar-benar ingin menaruh janin di dalam rahimnya?! Serius?! Bos galaknya itu punya hasrat seksual terpendam untuknya?! Sadar jika pikiran di dalam kepala mungil Mentari itu sudah melantur ke mana-mana, ditambah pula dengan tatapan bak pisau yang dilemparkan oleh cowok bernama Samudra yang mengaku sahabat dari Mentari, Senja buru-buru berdeham. Dia juga tahu, dia sudah salah mengucapkan kalimat, hingga membuat Mentari salah paham. Tapi, Senja juga tidak ingin memperbaiki ucapannya atau menjelaskan maksud perkat
“Gini-gini, Pak, saya juga tau soal teknik-teknik bikin anak dari novel-novel romansa dewasa yang saya baca!” Alis Samudra terangkat satu ketika dia mendengar hal tersebut. Kemudian, Mentari sadar jika dia sudah mengucapkan rahasia gelapnya. Bahwa dia senang membaca novel romansa dewasa. Wajahnya memanas dengan cepat dan rona merah itu mulai menguasai wajah cantiknya. “Hm....” Senja bergumam. Wajahnya menunjukkan betapa dia sangat serius memikirkan kalimat Mentari barusan. Cowok itu mengusap dagunya dan memberikan tatapan ingin tahu kepada sekretarisnya tersebut. “Berarti, kalau saya mau bikin anak sama kamu dan minta dengan teknik—“ “Don’t you dare, Sir,” geram Mentari, memotong ucapan Senja yang
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken