Meja makan keluarga Julian yang biasanya menjadi tempat kehangatan dan canda tawa, kini dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucapkan. Malam itu, suasana agak berbeda.
Di tengah meja makan yang penuh dengan hidangan, Sophia, tampak duduk dengan sikap yang gelisah, matanya terpaku pada Camila. Camila duduk dengan anggun di sampingnya, namun ada sedikit kerutan di dahinya saat dia merasakan pandangan intens dari Sophia. Hidangan di piring Camila hampir tak tersentuh, sementara Sophia tampak sibuk menyuapkan makanan ke arah Camila, seperti seorang ibu kepada anak kecilnya. “Camila, buka mulutmu. Ayolah, makan ini. Kau pasti lapar, kan?” suara Sophia terdengar penuh semangat, tetapi ada nada yang aneh, seperti memaksa. Di tangannya, sebuah sendok penuh sup ayam mengarah ke mulut Camila. Camila, yang sudah beberapa kali menolak dengan lembut, mencoba tersenyum sambil mengangkat tangannya untuk menghentikan SophCamila merasakan jantungnya berdegup lebih kencang mendengar penjelasan Victor. Kekhawatiran itu membuatnya mengerti, meskipun ia belum sepenuhnya memahami dunia keluarga Aryasena yang penuh bahaya. "Victor, kau terlalu berlebihan," balas Julian, suaranya meninggi. "Kita selalu hidup di bawah ancaman. Namun, itu tidak berarti kita harus terus bersembunyi. Menyambut pewaris keluarga adalah tradisi! Kau tidak bisa mengabaikannya begitu saja." "Tidak, Ayah," Victor menjawab, tetap tenang namun tak kalah tegas. "Ini bukan soal tradisi. Ini soal keselamatan Camila dan bayi kami. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain. Yang penting sekarang adalah melindungi keluargaku. Aku tidak akan mengambil risiko sekecil apa pun." Julian menghela napas panjang, frustrasi dengan pendirian Victor. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa putranya memiliki poin yang kuat. Sebagai kepala keluarga Aryasena, Julian tahu betapa kejamnya dunia yang mereka jal
Angin sore bertiup lembut, mengantarkan daun-daun kering yang beterbangan di halaman depan rumah Victor dan Camila. Di depan pintu, Julian berdiri, sementara tangan memegang lengan istrinya, yang tampak resah dan gelisah. Di sebelah mereka, Camila, dengan senyum yang lembut, berusaha menenangkan ibu mertuanya yang terus-menerus memegangi tangannya. "Aku benar-benar harus pergi kali ini," ujar Julian dengan nada tegas namun penuh kehangatan. "Ini kedua kalinya aku pamit. Camila, kau sedang mengandung, dan aku tidak ingin menambah bebanmu. Sophia sudah cukup merepotkan kalian di sini." "Julian," Sophia menyela dengan suara bergetar. Matanya memerah, dan air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak ingin pergi. Aku ingin tetap di sini dengan Camila." Camila menghela napas panjang, lalu berdiri di hadapan ibu mertuanya, menggenggam kedua tangannya erat. "Ibu, tidak apa-apa. Kita memang harus berpisah untuk sementara, tapi aku janji, aku akan mene
Gabriel membungkuk sedikit, menatap layar laptop itu dengan penuh perhatian. Setelah beberapa menit membaca, ia mengangguk. Leon tersenyum puas. “Dan sekarang saatnya kita bertindak. Aku ingin kau mempersiapkan semuanya. Pastikan para anak buah kita sudah siap untuk bergerak. Kita akan segera mengirim dana itu ke wilayah utara. Aku tidak ingin ada penundaan.” Gabriel mengangguk tanpa ragu. “Berapa banyak dana yang perlu kita kirim?” “Semua yang sudah kita sepakati. Kau tahu apa yang harus dilakukan.” Gabriel menegakkan tubuhnya, wajahnya serius. “Saya akan mengatur semuanya segera, Tuan. Anak buah kita di utara sudah berada di bawah kendali saya. Dana akan dikirimkan dalam waktu tiga hari.” Leon menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi, merasa lebih tenang. Gabriel memang selalu bisa diandalkan. Ia tahu, dengan Gabriel yang memimpin pengiriman itu, segala sesuatu akan berjalan lancar. “Bagus. Pa
Camila menatap Victor dengan tatapan penuh kebingungan, bercampur ketakutan dan amarah yang tak mampu ia sembunyikan. Kata-kata Victor barusan seolah menghantamnya dengan keras, membawa kembali kenangan akan luka-luka yang belum sembuh. Pria itu berdiri di hadapannya, dengan wajah yang tampak serius, namun bagi Camila, sikapnya terasa terlalu dibuat-buat. “Aku akan melindungimu, Camila. Dari apa pun. Mulai sekarang,” ujar Victor dengan nada tegas. Matanya menatap langsung ke arah Camila, namun tatapan itu tak lagi mampu membuat wanita itu percaya. Camila mengerutkan kening, suaranya terdengar pelan namun penuh kepahitan. “Kenapa aku harus percaya padamu? Setelah semua yang kau lakukan?” Victor menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam dirinya yang tampak gusar, tapi ia berusaha menyembunyikannya. “Aku tahu, aku telah banyak menyakitimu. Tapi sekarang situasinya berbeda. Kau mengandung, Camila. Itu artinya aku harus memasti
“Dimengerti, Tuan,” jawab Gabriel. Ia membungkuk sedikit sebelum berbalik untuk pergi. Namun, sebelum ia mencapai pintu, Leon memanggilnya lagi. “Gabriel.” “Ya, Tuan?” “Jika ada tanda-tanda bahaya, segera laporkan padaku. Aku tidak ingin kejadian seperti dulu terulang lagi.” Nada suara Leon merendah, hampir seperti sebuah peringatan yang penuh dengan kenangan pahit. Gabriel menatap Leon sejenak, memahami sepenuhnya apa yang dimaksudkan oleh sang pemimpin. “Saya tidak akan mengecewakan Anda, Tuan.” Setelah Gabriel pergi, Leon kembali duduk sendirian di ruangan itu. Ia memandangi teleponnya lagi, berharap ada pesan atau panggilan dari Camila. Namun, layar itu tetap kosong, seolah-olah menambah kesunyian yang sudah membebani pikirannya. Ia meraih segelas bourbon di meja dan meneguknya dalam-dalam. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia terlalu keras terhadap Camila. Mungkin ia harus memberikan ad
Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar monitor yang menampilkan gambar konvoi keluarga Wibisana. Di tengah kegelapan, Nathan duduk di kursi kulitnya, senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum yang menyimpan dendam yang mendalam, senyum yang seolah-olah mengejek nasib. Di tangannya, ia memegang sebuah cangkir kopi yang sudah dingin, isinya tak tersentuh. "Victor ... bodoh," gumamnya, suaranya serak dan berat, seperti batu yang digiling oleh waktu. "Harusnya dia mengajakku bekerja sama. Kekuatan kita, digabungkan, akan menghancurkan keluarga Wibisana. Tapi tidak, dia memilih untuk bersekutu dengan ular berbisa itu." Ia menggelengkan kepala, amarah bergelora di dalam dadanya. Pengkhianatan Victor adalah pil pahit yang sulit ditelan. Nathan mengusap layar monitor, jari-jarinya menyentuh gambar Camila yang terlihat samar. Bayangan wanita itu, yang sedang menangis ketakutan, membangkitkan api dendam yang lebih besar. Dia tidak hanya aka
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Kegelapan malam menyelimuti kamar Camila dan Victor. Camila tertidur pulas, dadanya naik turun dengan teratur. Victor, yang terjaga, menatap wajah istrinya dengan lembut. Namun, di balik kelembutan itu, tersimpan rencana yang penuh teka-teki. Dengan hati-hati, Victor bangkit dari tempat tidur. Camila terbangun, matanya masih sayu karena kantuk. "Kau mau ke mana, Victor?" tanyanya, suaranya masih parau karena baru bangun tidur. "Aku harus pergi sebentar," jawab Victor, berusaha agar suaranya terdengar tenang. "Aku akan ke pelabuhan. Aku harus menemui seseorang." "Siapa?" tanya Camila, kecurigaan mulai muncul di benaknya. "Leon," jawab Victor, singkat. "Kakakmu." Pernyataan Victor membuat Camila langsung waspada. Bayangan-bayangan buruk memenuhi pikirannya. Ia tahu hubungan antara Victor dan keluarga Wibisana masih tegang. Ia takut Victor akan mencelakai
Victor menghela napas, setelah mendengarkan perkataan Leon, Victor tahu kalau Leon baru saja diserang. Luka di lengannya yang masih diperban. Luka juga ada pada tangan kanan Leon, Gabriel. Victor menghela napas lelahnya. "Coba ceritakan yang sebenarnya, maka aku akan mendengarkan dan aku akan mengerti apa yang terjadi, selain kau diserang dan emasmu hilang, kau sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan." Victor duduk di kursi dan menatap Leon dengan tenang, berbanding terbalik dengan Leon yang menggebu-gebu dengan emosi yang sangat kentara jelas di depan matanya. Leon memejamkan matanya mencoba mengontrol emosi yang menyeruak. "Jadi kau minta dijelaskan, ya? Kau tahu kalau aku ke pelabuhan sesuai dengan perintahmu, tapi belum sempat aku sampai di sana, pihakmu menyerangku sampai aku mendapatkan luka ini." Leon menunjuk tangannya. "Lanjutkan ...," kata Victor mencoba tenang. "Lalu emas yang sudah aku sia
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak