Victor menghela napas, setelah mendengarkan perkataan Leon, Victor tahu kalau Leon baru saja diserang. Luka di lengannya yang masih diperban. Luka juga ada pada tangan kanan Leon, Gabriel.
Victor menghela napas lelahnya. "Coba ceritakan yang sebenarnya, maka aku akan mendengarkan dan aku akan mengerti apa yang terjadi, selain kau diserang dan emasmu hilang, kau sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan." Victor duduk di kursi dan menatap Leon dengan tenang, berbanding terbalik dengan Leon yang menggebu-gebu dengan emosi yang sangat kentara jelas di depan matanya. Leon memejamkan matanya mencoba mengontrol emosi yang menyeruak. "Jadi kau minta dijelaskan, ya? Kau tahu kalau aku ke pelabuhan sesuai dengan perintahmu, tapi belum sempat aku sampai di sana, pihakmu menyerangku sampai aku mendapatkan luka ini." Leon menunjuk tangannya. "Lanjutkan ...," kata Victor mencoba tenang. "Lalu emas yang sudah aku siaDerap sepatu Victor bergema di dalam mobil yang tertutup rapat. Tangannya terangkat, melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya sejak tadi. Di kursi kemudi, Raphael mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, menavigasi jalanan kota yang mulai sepi di tengah malam. Victor menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya, ia bergumam, berharap saat tiba di rumah nanti, Camila tidak lagi mencurigainya. Semoga saja wanita itu mulai percaya padanya—percaya bahwa ia benar-benar menyayanginya, bukan hanya sekadar alasan untuk memiliki pewaris. "Sial, sejak kapan aku jadi seperti ini?" pikirnya. Satu hal yang Victor benci adalah perasaan yang membuatnya kehilangan kendali. Tapi, sejak mengetahui Camila mengandung anaknya, segala sesuatu di dalam dirinya mulai berubah. Dia mulai peduli. Mulai takut kehilangan. Dan yang paling parah—mulai mencintai Camila sepenuh hati. Mobil melaju stabil di jala
Camila membelalakkan mata. Nathan mengangkat dagunya dengan satu tangan, membuatnya tak bisa menghindar dari tatapan pria itu. “Dengan begitu, kau bisa bebas dari Victor. Bebas dari siksaan dan kekejamannya. Dan lebih penting lagi—bebas dari nama keluarga Wibisana yang selama ini hanya menyakitimu.” Selama beberapa detik, Camila tidak bisa berkata apa-apa. Ia mencoba mencerna kata-kata Nathan, mencoba mencari celah apakah pria ini sedang bermain-main atau benar-benar serius. Tapi kemudian, ketakutannya berubah menjadi kemarahan. Dengan tangan yang masih gemetar, Camila menampar Nathan dengan sekuat tenaga. Suara tamparan itu menggema di dalam kamar yang sunyi. Camila menatap Nathan dengan napas tersengal, dadanya naik turun karena amarah. “Serendah apa pun aku, aku tidak akan mengkhianati keluargaku sendiri!” suaranya bergetar. “Aku tidak akan berpaling ke pria sepertimu!” Nathan
Victor merasakan darahnya berdesir lebih cepat. Jika benar ini ulah Nathan, maka ancamannya tidak hanya ditujukan padanya. Keluarga Wibisana pasti juga menjadi target—dan itu berarti Camila dalam bahaya. Sial. Victor berdiri dengan cepat, matanya menatap jalan yang membentang di depan mereka. Malam semakin larut, dan jalanan tidak terlalu ramai. Mereka harus segera sampai ke mansion sebelum sesuatu yang buruk terjadi. “Raphael, kita harus cepat,” desaknya dengan suara tegang. Raphael mengangguk, lalu mengangkat tangannya, melambaikan ke arah sebuah mobil yang datang dari kejauhan. Victor ikut melambaikan tangan, berharap pengendara mobil itu mau berhenti dan memberikan mereka tumpangan. Mobil sedan hitam itu melambat, kemudian berhenti tepat di depan mereka. Jendela turun, memperlihatkan seorang pria dengan wajah yang tenang dan ramah. “Kalian kenapa?” tanyanya, suaranya terdengar waspada.
Victor tidak menambahkan apa-apa lagi. Panggilan pun berakhir. Baru saja Julian hendak turun dari ranjang, suara lembut namun penuh rasa penasaran terdengar di belakangnya. “Julian … mau ke mana pagi-pagi begini?” Julian menoleh. Sophia sudah bangun. Wanita itu duduk di ranjang dengan rambut panjangnya yang tergerai berantakan, matanya masih setengah tertutup, tapi ada kecurigaan yang jelas di dalam tatapannya. Julian menarik napas panjang. “Aku harus pergi sebentar. Kau tetap di sini.” Mata Sophia menyipit. “Kenapa? Aku mau ikut.” Julian menggeleng, memasang ekspresi tegas. “Tidak bisa. Ini berbahaya.” Seperti yang sudah diduganya, Sophia merajuk. Wanita itu menyilangkan tangan di dada dan menatap Julian dengan bibir yang mengerucut. “Aku tidak suka ditinggal.” Julian mendesah, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan Sophia. “Aku harus menyelamatkan
Darah segar mengalir dari hidung Nathan, tapi pria itu tetap tersenyum dengan bibir berdarah. “Kenapa?” desis Nathan. “Karena aku ingin memiliki istrimu?” Victor menghentikan pukulannya sejenak, napasnya memburu. Camila hanya bisa menatap ketakutan dari atas ranjang, tubuhnya masih gemetar hebat. Nathan menyeringai, lalu berbisik. “Atau karena aku mengatakan hal yang sebenarnya? Kau sudah melupakan Selena.” Victor menegang. Kata-kata Nathan menancap tajam di hatinya, tetapi ia segera mengusir keraguan itu. Camila adalah istrinya, dan ia tahu perasaannya padanya bukan sekadar kewajiban. Dengan suara rendah, Victor berkata. “Aku sudah memberimu kesempatan untuk pergi, Nathan. Tapi kau malah melakukan hal ini.” Nathan menyeringai lemah. “Karena aku tahu kau tidak akan pernah menangkap sahabatmu sendiri dan kau akan melepaskanku.” Victor menatapnya dingin, lalu melirik ke luar jendel
Victor tidak menggubris ejekan itu. Ia hanya menatap Nathan dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kerja samaku dengan keluarga Wibisana adalah bukti bahwa aku menerima Camila sebagai istriku,” katanya pelan namun tegas. “Keluarga Wibisana sudah menjadi bagian dari keluarga Aryasena. Itu urusan pribadiku, dan kau tidak berhak mengatur dengan siapa aku bekerja sama.” Nathan mendecak sinis. “Jadi kau benar-benar memilih mereka dibanding aku?” Victor menatapnya dengan dingin. “Aku memilih istriku.” Nathan tertawa pendek, meski jelas ada rasa sakit di balik tawanya. “Bagus, Victor. Sangat bagus .…” Di sudut ruangan, Julian yang sejak tadi diam kini meraih ponselnya. Dengan ekspresi tanpa emosi, ia menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya. Dalam hitungan detik, panggilannya tersambung. Lucas Ardhana. Suara pria tua itu terdengar dari seberang. “Julian? Kenapa kau menelepon di jam segi
Camila menarik tangannya dari genggaman Victor. Hatinya bergejolak, pikirannya penuh dengan keraguan yang tak kunjung sirna. Tatapan Victor yang penuh ketulusan terasa begitu asing baginya, seolah pria itu adalah orang yang berbeda dari lelaki yang dulu menyiksanya tanpa ampun. Victor menghela napas, tetapi tak sedikit pun ekspresinya berubah. Sekali lagi, dengan suara dalam dan tenang, ia berkata. “Aku mencintaimu, Camila.” Camila menggigit bibirnya, merasa bimbang. "Bagaimana aku bisa percaya?" tanyanya lirih, kepalanya sedikit menunduk. Victor mengangkat alis. "Apa semua yang kulakukan selama ini tidak cukup untuk membuktikan kalau aku peduli?" Camila terdiam. Ia tak bisa memungkiri bahwa Victor memang telah berubah. Tidak ada lagi pukulan atau siksaan. Tatapan pria itu kini lebih lembut, perlindungan yang diberikannya terasa nyata. Victor bahkan mempertaruhkan nyawanya tadi malam untuk menyelamatkannya. T
Semua orang di ruangan terdiam. Victor mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang. “Pengkhianatan? Maksudmu, karena aku bekerja sama dengan keluarga Wibisana?” Nathan mengepalkan tangan yang terborgol. “Seharusnya kau lebih dulu setia kepada keluargaku! Kau malah menjalin hubungan dengan keluarga lain! Kau menghancurkan persahabatan kita!” Suasana di ruangan semakin tegang. Victor melangkah maju. “Dengarkan baik-baik, Nathan. Aku sudah bilang sebelumnya, kau tidak punya hak untuk mengatur siapa yang boleh bekerja sama denganku atau tidak. Camila adalah istriku, dan keluarga Wibisana sudah menjadi bagian dari keluarga Aryasena. Semua orang di sini tahu bahwa bekerja sama dengan pihak lain bukan bentuk pengkhianatan. Justru kaulah yang berkhianat.” Nathan menggertakkan giginya. “Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.” “Kau menginginkan istriku,” Victor menegaskan dengan nada ding
Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar