Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang
Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k
Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang, seperti turut menyembunyikan maksud yang tersembunyi di balik keheningan malam itu. Di sepanjang jalan menuju kediaman William, deru mesin kendaraan terdengar teratur. Puluhan mobil melaju dengan lampu yang diredam, nyaris tanpa suara selain deru pelan ban yang menggilas aspal.Nathan duduk di kursi belakang mobil utamanya, pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi penuh perhitungan. Di kendaraan lain yang berada tepat di sampingnya, Dominic terlihat mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut dengan tidak sabar, lalu ia mengaktifkan radio komunikasi."Kenapa jalan ini sangat sepi?" suara Dominic terdengar dalam alat komunikasi. "Tidak ada penjagaan, tidak ada blokade, bahkan jejak pergerakan pun tidak ada."Nathan mengangkat radio yang sama di tangannya, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin saja mereka hanya memusatkan pertahanan mereka di dalam mansion. Ini bisa menjadi taktik untuk menipu kita agar lengah."Namun, tatapan mata N
Langkah-langkah kaki terdengar remang di tengah pekatnya hutan, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat oleh cahaya bulan. Liam berjalan paling depan dengan tubuh siaga meski lelah mulai tampak dari gerak-geriknya. Di belakangnya, Camila memapah Sophia yang terus gemetar, napas wanita paruh baya itu sesak karena ketegangan dan usia.Camila terus memegangi perutnya yang kian membesar, mencoba menahan kecemasan yang menari-nari dalam pikirannya. Ia menoleh sesekali, memastikan tak ada siapa pun mengikuti mereka, tak ada suara asing selain hembusan angin malam dan gemerisik dedaunan. Namun harapan akan ketenangan itu hanya bertahan beberapa langkah saja.Suara tembakan memecah kesunyian seperti halilintar di malam hari.Camila tersentak dan langsung menoleh ke depan. Liam terduduk dengan satu lutut di tanah. Darah mengucur dari kakinya yang tertembak. Camila membelalakkan mata, menyusul tatapan Sophia yang membeku dalam ketakutan.“Nathan ...,” lirih Camila, suaranya bergetar.D
Udara segar menyambut mereka begitu pintu besi bawah tanah berhasil terbuka. Liam menggulirkan pintu itu dengan sekuat tenaga, menciptakan celah yang cukup lebar untuk dilalui. Sinar matahari senja menyusup masuk ke dalam lorong gelap, mengusir asap dan bayangan kematian yang sempat menyelimuti mereka. Camila mengerjapkan mata, seolah tidak percaya bahwa mereka berhasil keluar. Dengan gerakan perlahan, Liam naik lebih dulu, lalu mengulurkan tangan pada Camila."Ayo, aku bantu," ucapnya pelan.Camila mengangguk, menggenggam tangan Liam erat. Dengan tenaga yang tersisa, ia berusaha naik, satu tangan tetap menjaga perutnya yang membesar. Setelah Camila berhasil keluar, Liam segera membantu Sophia yang terlihat sangat lelah dan gemetar hebat. Wanita paruh baya itu masih sempat menoleh ke belakang, seakan takut ada sesuatu di belakang.Mereka kini berdiri di tengah-tengah hutan. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling mereka, menciptakan keteduhan yang kontras dengan panas dan sesak dari
Asap mulai memenuhi lorong sempit yang menghubungkan ruang belakang villa menuju pintu darurat bawah tanah. Cahaya remang dari lentera kecil yang dibawa Liam menjadi satu-satunya penerang mereka. Camila berjalan sambil menutup hidung dan mulut dengan lengan bajunya, matanya berair karena sesak dan kepanikan yang menggerogoti napasnya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, tubuhnya lemah, dan setiap langkah terasa seperti menapaki ujung jurang."Liam ... aku tidak kuat," ucap Camila lirih, tubuhnya hampir roboh.Liam, yang terus memapahnya dengan tangan tegap, merapatkan posisi Camila di sisinya. “Kau harus kuat. Ini demi keselamatanmu,” ujarnya cepat namun tetap tenang, meskipun raut wajahnya menegang karena waktu yang kian menipis.Sophia yang berada di belakang mereka tampak kelelahan, namun matanya masih tajam. Joee berjalan paling akhir, sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengejar mereka. Namun ketika suara tembakan dan ledakan mulai bersahutan di kejauhan, se
Liam membuka pintu kamar dengan tergesa, napasnya berat setelah mendengar tembakan di luar rumah. Sorot matanya langsung mencari satu sosok yang paling ia khawatirkan. Camila.Gadis itu terbangun dengan tubuh bergetar dan wajah panik. Matanya membesar saat melihat Liam masuk dengan ekspresi genting. “Apa yang terjadi? Suara apa itu barusan?” tanyanya tergesa, suaranya nyaris pecah karena cemas.Liam mendekat dan meraih bahu Camila, menatapnya dalam-dalam. “Kita harus pergi dari sini, sekarang juga. Keadaan sudah tidak aman.”Namun Camila tidak langsung bergerak. Matanya berkaca-kaca, dan yang pertama keluar dari bibirnya justru pertanyaan yang tak disangka Liam, “Di mana Ibu?”Liam terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nyonya Sophia sedang bersama Joee, mereka sudah bersiap untuk menyusul. Kita harus keluar duluan—”Camila menggeleng cepat, matanya menatap Liam penuh keteguhan. “Aku tidak akan pergi tanpanya. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu. Aku tahu ... aku tahu mungkin ini berbahaya, t
Udara malam begitu hening, seolah waktu berhenti berputar di dalam kamar itu. Hanya suara napas lembut Camila yang terdengar, teratur dan tenang, pertanda tubuhnya akhirnya mendapatkan jeda dari kecemasan yang menggerogoti selama berjam-jam. Liam duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya sedikit condong ke depan sambil terus mengamati wajah Camila dengan seksama. Sesekali matanya berpindah ke alat pengukur detak jantung portable di meja kecil di dekat ranjang, memastikan semuanya tetap stabil.Belum ada kabar apa pun dari Victor sejak ledakan terakhir yang mengakhiri percakapan mereka. Tapi Liam tahu, jika Victor adalah seseorang yang bisa bertahan dari pertempuran sebelumnya, maka kali ini pun dia akan kembali. Hidup-hidup. Dan menang.“Aku hanya perlu menjaganya … sampai Victor datang,” gumam Liam dalam hati, hampir seperti doa.Tiba-tiba suara engsel pintu berderit pelan, membuyarkan lamunannya. Liam menoleh cepat. Sosok wanita paruh baya dengan gaun tidur berwarna putih pucat b
Begitu suara ledakan menggema dari seberang telepon, Victor segera memutuskan sambungan. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah dan kekhawatiran yang menyeruak di dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel mengepal kuat, sebelum ia menyelipkannya ke dalam saku celana.Tidak ada waktu lagi untuk terjebak dalam emosi. Perang telah benar-benar dimulai, dan dirinya tidak boleh goyah, tidak saat ini.Victor berbalik cepat, mengambil sebuah ransel besar yang telah disiapkannya sejak dua hari lalu—penuh dengan senjata dan peralatan bertahan hidup. Ia melangkah tegas menuju batas barat hutan, lalu berlari masuk ke dalam lebatnya pepohonan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.Hutan itu sunyi, hanya suara langkah kaki Victor yang memecah kesunyian, bersama desau angin yang menggoyang dedaunan. Ia berhenti di sebuah titik yang tampak biasa saja—hamparan tanah berlumpur dengan semak belukar dan dedaunan kering. Namun, bagi Victor, tempat ini adalah benteng rahasia yang tidak pernah diketahu
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang, seperti turut menyembunyikan maksud yang tersembunyi di balik keheningan malam itu. Di sepanjang jalan menuju kediaman William, deru mesin kendaraan terdengar teratur. Puluhan mobil melaju dengan lampu yang diredam, nyaris tanpa suara selain deru pelan ban yang menggilas aspal.Nathan duduk di kursi belakang mobil utamanya, pandangannya tertuju ke depan dengan ekspresi penuh perhitungan. Di kendaraan lain yang berada tepat di sampingnya, Dominic terlihat mulai gelisah. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut dengan tidak sabar, lalu ia mengaktifkan radio komunikasi."Kenapa jalan ini sangat sepi?" suara Dominic terdengar dalam alat komunikasi. "Tidak ada penjagaan, tidak ada blokade, bahkan jejak pergerakan pun tidak ada."Nathan mengangkat radio yang sama di tangannya, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin saja mereka hanya memusatkan pertahanan mereka di dalam mansion. Ini bisa menjadi taktik untuk menipu kita agar lengah."Namun, tatapan mata N
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu