Victor melangkah masuk ke dalam mobil dengan langkah tegas. Wajahnya yang selalu tampak dingin dan tanpa emosi memperlihatkan sekilas ekspresi tidak sabar.
Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh dengan elegan sambil melonggarkan dasi hitamnya. Tanpa menoleh, ia memberi perintah singkat kepada Raphael yang duduk di kursi pengemudi. "Antar kami pulang. Sekarang," katanya datar namun penuh tekanan. Raphael, yang sudah terbiasa dengan perintah tanpa kompromi dari Victor, hanya mengangguk patuh. Mesin mobil menyala, dan kendaraan meluncur keluar dari parkiran dengan halus. Di sebelah Victor, Camila duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya memancarkan keteguhan kini menyiratkan kelelahan dan luka yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Jejak memar samar di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari apa yang baru saja terjadi. Victor menoleh ke arahnya, pandangannya tajam seperti bilah pisau. Ia memperhatikan luka di wajah Camila dengan sorot mata yang sulit diartikan, entah marah, peduli, atau hanya terganggu karena reputasinya mungkin tercoreng. "Camila," suaranya terdengar dingin. "Seharusnya kau tidak membiarkan orang lain melukai dirimu, apalagi di depan umum. Dan lebih buruk lagi, di bagian yang mudah terlihat." Camila mengangkat kepalanya perlahan, menatap suaminya dengan sorot mata penuh emosi yang ia sembunyikan di balik sikap tenang. Bibirnya melengkung membentuk senyuman sarkastik. "Seharusnya kau senang," katanya dengan nada penuh sindiran. "Lagi pula, yang melukai aku adalah keluarga kekasihmu sebelumnya. Bukankah ini menguntungkanmu?" Victor terkekeh pelan, tawanya terdengar licik dan dingin, seperti seseorang yang menikmati permainan yang hanya ia sendiri yang tahu aturannya. "Jadi kau mulai cemburu, Camila?" tanyanya, nada suaranya penuh provokasi. Camila menggeleng dengan tegas, menahan rasa panas di matanya. "Tidak. Aku tidak peduli," jawabnya dengan nada datar, meski hatinya berkata sebaliknya. Victor menghela napas pendek, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela sejenak sebelum kembali berbicara. "Camila, dengarkan aku. Aku tahu aku tidak bisa mencintaimu meskipun kita sudah menikah. Tapi satu hal yang harus kau mengerti, aku tidak akan membiarkanmu diperlakukan seperti itu di depan umum. Itu bukan hanya soal dirimu. Itu soal martabatku sebagai suamimu. Orang lain tidak boleh melihatmu diremehkan, karena itu berarti aku yang diremehkan." Kata-katanya tajam, hampir seperti pisau yang menusuk perasaan Camila lebih dalam. Tapi Camila hanya diam, menahan napasnya agar tidak terdengar gemetar. Ia tahu itu bukan tentang dirinya, itu tentang Victor dan egonya. "Dan satu hal lagi," tambah Victor dengan nada yang lebih ringan, meskipun tetap dingin. "Ibuku menyukaimu. Itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk memastikan kau tidak direndahkan. Aku tidak ingin melihat ibuku kecewa." Kemarahan mulai membuncah di dada Camila, tetapi ia menahannya dengan sekuat tenaga. Semua yang Victor katakan hanyalah tentang dirinya dan keluarganya. Tidak ada sedikit pun yang ia ucapkan karena ia peduli pada perasaan Camila. Namun, Camila hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha menahan kesedihannya agar tidak meluap. Akhirnya, Victor melanjutkan dengan perintah terakhirnya. "Dan tentang apa yang terjadi hari ini, jangan sekali-sekali kau menceritakannya pada ayahku. Aku tidak ingin masalah ini menjadi lebih rumit." Camila mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Matanya mulai terasa panas, tetapi ia menatap ke luar jendela, berusaha menelan rasa sakitnya dalam diam. Di saat yang sama, Victor kembali bersandar, seperti tidak ada hal besar yang baru saja mereka bicarakan. Mobil terus melaju di tengah gelapnya malam, membawa dua orang yang terjebak dalam hubungan tanpa cinta, masing-masing menanggung luka yang tak terlihat di permukaan.Dari jendela lantai dua, Julian memperhatikan pekarangan rumah yang mulai gelap, diterangi lampu jalan yang temaram. Sorot matanya tajam, seperti seseorang yang selalu waspada terhadap setiap detail kecil di sekitarnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan putranya, Victor, melangkah keluar, diikuti oleh Camila.Mata Julian segera tertuju pada Camila. Meskipun jaraknya cukup jauh, ia dapat melihat sesuatu yang mengganggu. Ada luka di sudut bibir Camila, dan tampaknya luka itu kembali basah, seperti baru saja berdarah lagi. Hatinya mencelos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi tanpa perlu mendengar cerita langsung.Julian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada Camila yang berjalan lebih cepat meninggalkan Victor dan langsung masuk ke dalam rumah. Langkah Camila terburu-buru, seperti ingin menghindari sesuatu. Sementara itu, Victor tetap berada di ruang tengah, melepas dasi dengan santa
Camila membuka matanya perlahan. Cahaya mentari yang menembus tirai tipis kamar membelai wajahnya dengan lembut, namun kehangatan itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur, menemukan tempat itu kosong dan rapi. Victor tidak tidur di situ semalam.Ada rasa lega sekaligus getir yang bercampur menjadi satu. Pernikahan mereka, sebuah ikatan yang dibentuk bukan karena cinta, melainkan kewajiban keluarga, terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Mereka tidak pernah saling menginginkan, dan ketidakhadiran Victor di sisi tempat tidur adalah semacam pelarian kecil yang Camila syukuri.Ketika ia tengah melamun, suara pintu kamar yang berderit perlahan membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan sosok Sophia, ibu mertuanya, muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu, seperti biasa, dihiasi senyum ceria namun penuh ketegasan."Duduklah di depan kursi rias," kata Sophia tanpa banyak basa-basi.Camil
Camila menelan ludah. Ia berusaha keras menjaga ketenangannya, tetapi kata-kata Victor mengiris hatinya. “Aku melakukannya karena aku ingin bertahan hidup, Victor. Tidak lebih dari itu. Kau sendiri yang berkata kalau aku adalah bonekanya, aku hanya menuruti perkataannya saja.”“Tapi sekarang kau menolak melayaniku?” Victor mengangkat alis, nadanya tajam. “Bukankah ini bagian dari kesepakatan tak tertulis kita, Camila?”“Kesepakatan apa? Aku tidak pernah setuju untuk menyerahkan diriku padamu! Aku hanya setuju menjadi istri yang baik, itu juga kali kau menerimaku.” Camila memotong. Suaranya bergetar lagi, tapi kali ini ada nada keberanian di baliknya.Victor berdiri, tubuhnya yang tinggi mendominasi ruangan. Ia berjalan perlahan mendekati Camila, setiap langkahnya terasa berat. “Camila, aku tidak peduli apa yang ada di kepalamu sekarang. Tapi aku ingin kau ingat satu hal—aku tahu segalanya tentangmu. Termasuk bagaimana kau mencoba mencari cara aga
Matahari semakin naik ketika Victor mengenakan jas hitam kebanggaannya. Sepatu kulitnya yang mengkilap terdengar berderap di atas lantai marmer ruang tamu. Para pelayan telah bersiap sejak dini hari, mengantar kepergian pria itu dengan penuh rasa hormat. Camila berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang membuat kulitnya terlihat sehalus porselen. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang Victor dengan tatapan datar yang sulit ditebak.Victor berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapan istrinya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat ke telinga Camila. Bisikannya nyaris tak terdengar, namun setiap kata membawa ancaman yang tajam.“Jangan pernah membuat ibuku dalam bahaya, Camila. Jika itu terjadi, kau tahu apa yang akan terjadi padamu.” Suaranya dingin, seperti bilah pisau yang menusuk langsung ke inti.Camila menatapnya tanpa gentar. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar, tapi senyum itu penuh arti.
Air mata mulai mengalir di pipi Camila, meski ia mencoba menahannya. Ia benci terlihat lemah di hadapan Nathan, tetapi situasi itu benar-benar membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.Nathan menurunkan cengkramannya sedikit, lalu mengangkat wajah Camila dengan jarinya. Matanya yang gelap memandang wajahnya dengan intens. “Tapi kau cukup cantik,” katanya pelan, nadanya berubah menjadi menggoda. “Jika Victor memutuskan untuk membuangmu, aku mungkin akan mengambilmu.”Camila membelalakkan matanya, terkejut dengan pernyataan itu. “Kau gila,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.Nathan hanya tersenyum, lalu dengan santai males pipi Camila. Tiba-tiba saja rasa menginginkan Camila jadi bersemayam di hati Nathan yang melihat wanita itu ketakutan.“Camila, aku hanya datang untuk mengingatkanmu sesuatu,” katanya sebelum berbalik menuju pintu. “Dunia ini tidak adil. Jadi, sebaiknya kau belajar untuk bertahan.” Nathan mengerask
Hujan deras menghantam kaca-kaca besar di mansion megah kediaman Aryasena. Di bawah cahaya remang lampu kristal yang tergantung di langit-langit aula utama, Camila berlari panik menyusuri lorong-lorong panjang. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdegup kencang seiring ketakutan yang menggema di dalam dadanya.“Camila! Jangan berpikir kau bisa kabur!” suara Nathan bergema keras, memantul di dinding-dinding besar mansion itu.Camila menoleh sekilas, melihat sosok Nathan yang semakin dekat dengan tatapan penuh amarah. Kakinya semakin cepat melangkah, melewati koridor berhias lukisan-lukisan keluarga Aryasena. Namun, pelariannya terhenti mendadak saat lututnya menghantam keras kaki meja marmer besar di sudut aula.Ia hampir jatuh, tapi berhasil menahan tubuhnya dengan tangan. Sebuah vas bunga kristal berisi bunga mawar putih yang ada di atas meja bergoyang-goyang, nyaris jatuh. Dengan reflek, Camila menangkap vas itu. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, ta
Para pelayan dan penjaga langsung bergerak tanpa berani membantah. Dua penjaga memegangi Nathan yang masih mencoba melawan, namun tenaganya sudah habis. Mereka menariknya keluar dengan paksa, tubuh Nathan diseret tanpa belas kasihan melewati pintu utama.Saat Nathan akhirnya lenyap dari pandangan, Julian mengalihkan perhatiannya ke sudut aula. Di sana, Camila terduduk di lantai, tubuhnya lemas, pakaian robek, dan air matanya terus mengalir. Julian tertegun sejenak, rasa bersalah dan perlindungan bercampur di dalam hatinya.Ia berjalan mendekati menantunya, lalu melepas jaket hitam panjang yang ia kenakan. Dengan lembut, ia memakaikan jaket itu ke tubuh Camila yang gemetar. “Camila, kau aman sekarang,” ucap Julian, suaranya lebih lembut namun masih penuh otoritas.Camila mengangguk pelan, namun tidak berkata apa-apa. Matanya terus menatap lantai, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.Julian berdiri kembali, kali ini menatap para pe
Evelyn menatap Victor dengan ekspresi terluka, tapi Victor tidak peduli. Ia meraih jasnya dan berjalan cepat keluar dari ruangan, meninggalkan Evelyn yang masih terduduk di lantai.Saat melangkah menuju parkiran, Victor mengeluarkan ponselnya dan segera menelpon Julian. Setelah beberapa dering, suara berat ayahnya terdengar di ujung telepon.“Ayah, apa yang sebenarnya terjadi di rumah? Kenapa aku harus segera pulang?” tanya Victor tanpa basa-basi.“Victor.” Suara Julian terdengar dingin, berbeda dari biasanya. “Kau akan tahu semuanya saat sampai di sini. Aku sudah terlalu lama membiarkanmu bertindak sesuka hati. Sekarang, waktunya aku memberimu pelajaran.” Nada bicara Julian membuat Victor terdiam sejenak. Ia tahu betul ayahnya adalah orang yang tenang dan jarang marah. Namun, kali ini, suaranya penuh amarah yang terkontrol, seperti badai yang siap meledak.“Ayah, pelajaran apa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Victor lagi, suaranya m
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu
Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k
Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j
Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang
Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes
Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus