Cahaya matahari menembus celah gorden yang berwarna krem keemasan, menyentuh wajah Camila yang terbaring di atas ranjang besar berlapis satin putih. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya kabur, lalu mengerjap-ngerjap, mencoba memahami di mana ia berada.
Semua terasa asing. Dinding-dinding tinggi berlapis wallpaper elegan, lampu gantung kristal yang menggantung megah, dan aroma mawar yang samar menguar dari sudut ruangan. Tidak, ini bukan rumahnya. Camila segera bangkit, tubuhnya kaku dan lelah. Pikirannya penuh tanda tanya. Tapi setelahnya dia baru ingat kalau dia sudah menikah dengan Victor yang terasa seperti mimpi buruk dan dia berada di kediaman Aryasena. Suara langkah pelan namun berat terdengar mendekat. Ketika ia menoleh, seorang wanita tua berdiri di ambang pintu. Rambutnya kusut, berantakan seperti tidak pernah disisir, dan pakaiannya lusuh, seolah tidak cocok dengan keindahan ruangan ini. Matanya yang cekung menatap Camila tajam, dan senyum aneh menghiasi wajahnya. Camila terperanjat. "Siapa... siapa Anda?" suaranya gemetar, nyaris berbisik. Wanita tua itu hanya tertawa kecil, nada tawanya menggema dan terdengar menyeramkan. Camila yang merasa ketakutan langsung bergeser ke ujung ranjang, berusaha menjauh. "Jangan dekat-dekat!" teriaknya, suaranya melengking. Belum sempat wanita tua itu menjawab, pintu kamar terbuka lebar dengan suara keras. Victor masuk tergesa-gesa. Wajahnya datar, namun sorot matanya tajam dan dingin. "Ada apa ini?" tanyanya tegas, menatap bergantian antara Camila dan wanita tua itu. Wanita tua itu, tanpa rasa takut sedikit pun, menunjuk Camila dengan jemarinya yang kurus. "Victor, apakah ini boneka yang kau janjikan padaku?" tanyanya sambil tertawa kecil lagi. Camila yang mendengar itu hanya bisa menatap mereka berdua dengan bingung. "Apa maksudnya boneka? Siapa dia? Mengapa ia ada ke tempat ini?" Victor mendesah panjang, lalu menatap wanita tua itu. "Ibu, keluar dulu. Aku akan membereskannya," ucapnya dengan nada lembut, meski wajahnya tetap dingin. Sophia melirik Camila untuk terakhir kali, senyumnya semakin lebar. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia keluar dari kamar, meninggalkan Camila dan Victor berdua. Begitu pintu tertutup, atmosfer ruangan berubah drastis. Camila ingin bertanya, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Victor berjalan mendekat dengan langkah berat. Tanpa peringatan, tangan besarnya melayang dan mendarat keras di pipi Camila. "Beraninya kau berteriak seperti itu di depan ibuku!" bentaknya, suaranya tajam dan penuh amarah. Camila terjatuh ke lantai, memegangi pipinya yang panas. "Aku tidak tahu ... aku tidak sengaja." Suaranya tercekat karena sakit dan takut. Victor menatapnya dengan penuh kebencian. "Dengarkan aku baik-baik. Wanita tadi adalah ibuku, Sophia Aryasena. Jangan pernah memperlakukannya seperti orang gila lagi. Dia adalah segalanya bagiku! Jika kau berani bersikap tidak sopan lagi, aku tidak akan segan-segan membuatmu lebih menderita!" Air mata Camila mulai mengalir deras. "Aku tidak tahu, aku mohon ampun, aku hanya takut ...." Suaranya terputus-putus karena isak tangis. Victor memandangnya dengan tatapan dingin selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas kasar. "Jangan membuatku kehilangan kesabaran lagi, Camila. Mulai sekarang, kau harus tahu tempatmu." "Segeralah bersiap! Karena tradisi di keluarga ini adalah seorang menantu wanita harus menyapa mertua setelah tidur satu malam di kediaman Aryasena" katanya sebelum berjalan keluar, meninggalkan Camila yang tergeletak di lantai dengan tubuh gemetar. *** Camila menatap bayangan dirinya di cermin besar yang menghiasi sudut kamar. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, tidak hanya karena kelelahan, tapi juga karena luka yang masih memerah di sudut bibirnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil spons makeup dan mencoba menutupi bekas pukulan Victor. Berkali-kali ia menambahkan lapisan foundation dan bedak, berharap hasilnya bisa lebih baik, namun tetap saja guratan merah itu samar terlihat. Ia menghela napas panjang. Tidak ada waktu lagi untuk memperbaiki penampilannya. Victor sudah menyuruhnya untuk segera menemui kedua orang tuanya, dan ia tahu apa yang akan terjadi jika ia terlambat. Camila menarik napas dalam-dalam, membetulkan gaunnya, dan melangkah keluar kamar. Di ruang keluarga besar yang mewah, dua sosok sudah menunggunya. Julian Aryasena, seorang pria paruh baya dengan rambut keperakan yang tertata rapi, duduk di sofa dengan sikap tenang. Di sebelahnya, Sophia Aryasena, wanita tua yang sebelumnya masuk ke kamar Camila, duduk dengan posisi miring, senyum geli masih terpahat di wajahnya. Camila menundukkan kepala dengan sopan. "Selamat pagi, Ayah, Ibu," sapanya, suaranya lembut namun gemetar. Julian tersenyum ramah. "Selamat pagi, Camila. Silakan duduk," ucapnya, gestur tangannya menunjuk sofa di depannya. Camila melangkah mendekat dan duduk dengan hati-hati. Namun, tatapan Sophia yang terus tertuju padanya membuatnya merasa tidak nyaman. Wanita tua itu tiba-tiba terkekeh, seperti ada sesuatu yang sangat menghiburnya. "Boneka ini cantik juga, ya," kata Sophia, menunjuk Camila sambil tertawa kecil. "Tapi sayang sekali, ada lecet sedikit di sini." Ia menunjuk sudut bibirnya sendiri, tepat di tempat luka Camila berada. Sebelum ia bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari belakang. Victor muncul dengan ekspresi dingin khasnya. "Ada apa ini, Ibu?" tanyanya sambil melirik ibunya sekilas. Sophia menoleh ke Victor dengan senyum puas. "Bonekaku ini cantik, Victor. Tapi kau harus lebih hati-hati merawatnya. Jangan sampai lecet-lecet begini," ujarnya dengan nada bercanda, tapi jelas menyindir. Victor mendekat, menatap Camila sebentar sebelum menjawab. "Tenang saja, Bu. Saya akan memastikan boneka ini terawat dengan baik," katanya dingin, tatapan matanya menusuk langsung ke Camila. Camila hanya bisa menunduk. Hatinya perih, tapi ia tidak berani membantah. Ia tahu dirinya hanyalah boneka seperti yang mereka sebut. Tidak lebih. Julian, yang tampaknya menyadari suasana mulai tidak nyaman, segera berbicara. "Camila," katanya lembut, menarik perhatian semua orang di ruangan. "Selamat datang di keluarga Aryasena. Aku harap kau bisa memaklumi sikap Sophia. Dia memang ... sedikit unik," tambahnya dengan senyum tipis. "Terima kasih, Ayah," jawab Camila lirih, mencoba tersenyum walaupun hatinya penuh rasa takut dan bingung. "Baiklah," Julian berdiri, merapikan jasnya. "Mari kita nikmati makan pagi bersama. Camila, kuharap kau merasa nyaman di sini." Camila hanya mengangguk pelan. Nyaman? Kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Namun, ia tahu tidak ada pilihan lain selain bertahan. Apa pun yang terjadi, ia harus mencari cara untuk tetap bertahan di keluarga itu, meskipun itu berarti mengorbankan harga dirinya. *** Di sebuah ruangan luas bergaya klasik dengan dinding berlapis kayu mahal, Lucas Ardhana duduk di kursi berlapis kulit hitam. Tangan pria paruh baya itu memegang segelas anggur merah, sementara sorot matanya memancarkan ketenangan yang penuh perhitungan. Di hadapannya berdiri Nathan Ardhana, putranya yang berperawakan tinggi dan berwajah tajam. Meski ada kemiripan fisik antara keduanya, aura mereka berbeda. Lucas penuh dengan keegoisan dingin, sementara Nathan memancarkan energi penuh ambisi. "Jadi, Victor akan membawa istrinya ke perkumpulan nanti?" tanya Lucas, meletakkan gelas anggurnya di atas meja kecil di samping kursinya. Tatapannya menembus Nathan, seolah-olah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata. Nathan mengangguk, wajahnya serius. "Ya, Ayah. Dia sudah berjanji untuk memperkenalkannya di sana," jawabnya. Ada nada kepuasan di suaranya, seperti seseorang yang melihat rencana besar mulai berjalan sesuai harapan. Lucas menyunggingkan senyum kecil. Senyumnya tidak hangat, melainkan dingin dan penuh arti. "Bagus. Akhirnya, dendam Selena bisa kita balaskan dengan tangan kita sendiri," katanya pelan, tapi penuh tekad. Nama "Selena" terucap seperti mantra gelap yang membawa bayangan masa lalu ke dalam ruangan. Nathan menatap ayahnya sejenak, sebelum berkata, "Victor tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menyerahkan Camila ke dalam lingkaran kita. Aku yakin dia sadar apa yang akan terjadi." Lucas mengangguk pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Memang seharusnya begitu. Keluarga Aryasena punya hutang janji pada kita, dan mereka harus membayarnya," ucapnya. Matanya menyipit, seperti mengingat kembali luka lama yang belum sembuh. Setelah beberapa saat hening, Lucas bertanya lagi. "Lalu bagaimana tampang istri Victor? Apa dia sesuai dengan ekspektasi kita?" Suaranya datar, tapi jelas penuh rasa ingin tahu. Nathan mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku hanya tahu namanya saja, Camila," jawabnya santai. "Tapi mengingat Victor, kurasa dia tidak akan menerima seseorang yang tidak menarik perhatian." Lucas tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Camila, ya?" gumamnya, merenungkan nama itu. "Kita akan lihat nanti apakah dia cukup tangguh untuk bertahan di keluarga Aryasena setelah semua ini." Nathan melirik jam tangannya yang berlapis logam mahal. "Ayah, sebaiknya kita segera berangkat. Acara perkumpulan dimulai dalam satu jam, dan kita tidak boleh terlambat." Lucas mengangguk setuju. Ia bangkit dari kursinya, membetulkan kerah jasnya, lalu menatap Nathan dengan penuh arti. "Hari ini adalah hari yang besar, Nathan. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana." Nathan tersenyum tipis, matanya memancarkan ambisi yang sama dengan ayahnya. "Tentu, Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu." Keduanya kemudian berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan bayangan dendam yang menggantung di udara. Mereka tahu, itu adalah langkah awal untuk membalaskan luka lama yang telah lama terpendam. Camila, nama itu kini menjadi bagian dari permainan mereka, meski ia sendiri belum tahu betapa besar badai yang sedang menunggunya. "Aku akan membuat dia menangis darah karena keluarganya secara sukarela mendorong ke kandang singa."Ruangan itu sunyi ketika Julian menatap putranya dengan tatapan tajam. Duduk di kursi besar di ruang keluarga, Julian memutar cangkir tehnya dengan tenang, tetapi pikirannya jauh dari kata damai. Di hadapannya berdiri Victor, putra sulungnya, dengan ekspresi keras kepala.“Victor.” Julian memulai, suaranya dalam dan tenang. “Aku tidak bisa mengabaikan hal ini. Jangan bawa Camila ke perkumpulan itu.”Victor mendengus sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Ayah, aku tahu apa yang kulakukan. Aku sudah dewasa, aku bisa mengatur hidupku sendiri. Camila adalah istriku, dan aku tahu apa yang aku lakukan untuknya.”Julian menghela napas panjang. Ia sudah menduga jawaban seperti ini, tapi hatinya tetap berat mendengarnya. “Victor,” katanya dengan suara yang lebih tegas. “Ibumu menyukai Camila. Dia mempercayakan gadis itu padamu, dan aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Jangan ulangi apa yang terjadi sebelumnya.”Victor terdiam sejenak, tetapi Julian bisa melihat rahangnya mengeras.
Victor melangkah ke ruangan pribadi yang tenang dan jauh dari keramaian. Di dalam, Raphael sudah menunggunya dengan setumpuk dokumen dan tablet di atas meja. Raphael adalah orang kepercayaannya, seseorang yang tahu semua sisi gelap dari kekuasaan bisnis Victor.Victor langsung duduk tanpa basa-basi. “Bagaimana perkembangan bisnis senjata di pasar gelap? Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” tanyanya, suaranya tegas dan tanpa emosi.Raphael mengangguk pelan. “Permintaan terus meningkat, terutama dari wilayah timur. Namun, sekutu kita meminta akses lebih besar untuk memperluas koneksi mereka. Mereka juga ingin kita mempercepat pengiriman.”Victor mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpikir sejenak. “Itu bukan masalah besar. Tapi kita membutuhkan modal tambahan. Keluarga Wibisana sudah menunjukkan minat. Pastikan mereka mengeluarkan dana yang cukup besar. Tawarkan mereka kesepakatan yang menjanjikan, meski sebenarnya tidak ada keuntungan nyata untuk mere
Victor melangkah masuk ke dalam mobil dengan langkah tegas. Wajahnya yang selalu tampak dingin dan tanpa emosi memperlihatkan sekilas ekspresi tidak sabar. Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh dengan elegan sambil melonggarkan dasi hitamnya. Tanpa menoleh, ia memberi perintah singkat kepada Raphael yang duduk di kursi pengemudi."Antar kami pulang. Sekarang," katanya datar namun penuh tekanan.Raphael, yang sudah terbiasa dengan perintah tanpa kompromi dari Victor, hanya mengangguk patuh. Mesin mobil menyala, dan kendaraan meluncur keluar dari parkiran dengan halus.Di sebelah Victor, Camila duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya memancarkan keteguhan kini menyiratkan kelelahan dan luka yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Jejak memar samar di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari apa yang baru saja terjadi.Victor menoleh ke arahnya, pandangannya tajam seperti bilah pisau. Ia memperhatikan luka di wajah Cam
Dari jendela lantai dua, Julian memperhatikan pekarangan rumah yang mulai gelap, diterangi lampu jalan yang temaram. Sorot matanya tajam, seperti seseorang yang selalu waspada terhadap setiap detail kecil di sekitarnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan putranya, Victor, melangkah keluar, diikuti oleh Camila.Mata Julian segera tertuju pada Camila. Meskipun jaraknya cukup jauh, ia dapat melihat sesuatu yang mengganggu. Ada luka di sudut bibir Camila, dan tampaknya luka itu kembali basah, seperti baru saja berdarah lagi. Hatinya mencelos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi tanpa perlu mendengar cerita langsung.Julian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada Camila yang berjalan lebih cepat meninggalkan Victor dan langsung masuk ke dalam rumah. Langkah Camila terburu-buru, seperti ingin menghindari sesuatu. Sementara itu, Victor tetap berada di ruang tengah, melepas dasi dengan santa
Camila membuka matanya perlahan. Cahaya mentari yang menembus tirai tipis kamar membelai wajahnya dengan lembut, namun kehangatan itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur, menemukan tempat itu kosong dan rapi. Victor tidak tidur di situ semalam.Ada rasa lega sekaligus getir yang bercampur menjadi satu. Pernikahan mereka, sebuah ikatan yang dibentuk bukan karena cinta, melainkan kewajiban keluarga, terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Mereka tidak pernah saling menginginkan, dan ketidakhadiran Victor di sisi tempat tidur adalah semacam pelarian kecil yang Camila syukuri.Ketika ia tengah melamun, suara pintu kamar yang berderit perlahan membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan sosok Sophia, ibu mertuanya, muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu, seperti biasa, dihiasi senyum ceria namun penuh ketegasan."Duduklah di depan kursi rias," kata Sophia tanpa banyak basa-basi.Camil
Camila menelan ludah. Ia berusaha keras menjaga ketenangannya, tetapi kata-kata Victor mengiris hatinya. “Aku melakukannya karena aku ingin bertahan hidup, Victor. Tidak lebih dari itu. Kau sendiri yang berkata kalau aku adalah bonekanya, aku hanya menuruti perkataannya saja.”“Tapi sekarang kau menolak melayaniku?” Victor mengangkat alis, nadanya tajam. “Bukankah ini bagian dari kesepakatan tak tertulis kita, Camila?”“Kesepakatan apa? Aku tidak pernah setuju untuk menyerahkan diriku padamu! Aku hanya setuju menjadi istri yang baik, itu juga kali kau menerimaku.” Camila memotong. Suaranya bergetar lagi, tapi kali ini ada nada keberanian di baliknya.Victor berdiri, tubuhnya yang tinggi mendominasi ruangan. Ia berjalan perlahan mendekati Camila, setiap langkahnya terasa berat. “Camila, aku tidak peduli apa yang ada di kepalamu sekarang. Tapi aku ingin kau ingat satu hal—aku tahu segalanya tentangmu. Termasuk bagaimana kau mencoba mencari cara aga
Matahari semakin naik ketika Victor mengenakan jas hitam kebanggaannya. Sepatu kulitnya yang mengkilap terdengar berderap di atas lantai marmer ruang tamu. Para pelayan telah bersiap sejak dini hari, mengantar kepergian pria itu dengan penuh rasa hormat. Camila berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih sederhana yang membuat kulitnya terlihat sehalus porselen. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang Victor dengan tatapan datar yang sulit ditebak.Victor berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapan istrinya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat ke telinga Camila. Bisikannya nyaris tak terdengar, namun setiap kata membawa ancaman yang tajam.“Jangan pernah membuat ibuku dalam bahaya, Camila. Jika itu terjadi, kau tahu apa yang akan terjadi padamu.” Suaranya dingin, seperti bilah pisau yang menusuk langsung ke inti.Camila menatapnya tanpa gentar. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar, tapi senyum itu penuh arti.
Air mata mulai mengalir di pipi Camila, meski ia mencoba menahannya. Ia benci terlihat lemah di hadapan Nathan, tetapi situasi itu benar-benar membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.Nathan menurunkan cengkramannya sedikit, lalu mengangkat wajah Camila dengan jarinya. Matanya yang gelap memandang wajahnya dengan intens. “Tapi kau cukup cantik,” katanya pelan, nadanya berubah menjadi menggoda. “Jika Victor memutuskan untuk membuangmu, aku mungkin akan mengambilmu.”Camila membelalakkan matanya, terkejut dengan pernyataan itu. “Kau gila,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.Nathan hanya tersenyum, lalu dengan santai males pipi Camila. Tiba-tiba saja rasa menginginkan Camila jadi bersemayam di hati Nathan yang melihat wanita itu ketakutan.“Camila, aku hanya datang untuk mengingatkanmu sesuatu,” katanya sebelum berbalik menuju pintu. “Dunia ini tidak adil. Jadi, sebaiknya kau belajar untuk bertahan.” Nathan mengerask
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu
Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k
Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j
Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang
Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes
Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus