"Akh ...!"
Satu tamparan melayang di pipi Camila dengan kuat. Darah mengalir dari sudut bibir Camila yang meringis kesakitan, tapi tidak begitu dengan pelaku. Pria itu malah tersenyum senang melihat Camila kesakitan. Victor Aryasena menjambak rambut Camila dan membuat wanita itu terus mengerang kesakitan, memperhatikan luka merah yang dia lukis di wajah Camila, seketika Victor langsung merasa kelegaan yang teramat setelah menyakiti calon mempelainya. "Astaga, maafkan aku. Harusnya aku tidak melukai wajahmu karena besok hari pernikahan kita," ledeknya. "Tuan, aku mohon jangan lakukan ini. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang apa yang Anda bicarakan itu ...," ringis Camila memegangi tangan Victor yang menjambak rambutnya di belakang. Bukannya iba, Victor malah terkekeh melihat pembelaan dari Camila yang dia yakini hanya sebuah alasan kosong. Bagi Victor, Camila terlihat seperti gadis yang sedang berpura-pura lugu. "Bahkan mereka membiarkan aku menyicipimu sebelum pernikahan denganku." Victor mendongak ke atas, menatap langit-langit kamar dan tangannya masih setia menggenggam kuat rambut Camila. "Bagaimana? Bukankah kita bisa memulai ini, Camila? Tanggalkan seluruh pakaianmu, agar aku bisa melihat apakah kau cocok untuk bersanding denganku!" pinta Victor yang terdengar seperti perintah paksaan tanpa penolakan. Camila gemetar memegangi gaun bagian dadanya. Takut jika tiba-tiba Victor membuka pakaiannya dengan paksa dengan tangan satunya memegangi tangan Victor yang menjambak rambutnya. "Tuan ... aku mohon jangan lakukan ini. Jika hanya karena itu, aku bisa menjadi istri yang baik untuk Anda, tapi tidak sekarang dan lagi, aku tidak pernah tahu soal Selena, akh ...!" Victor menguatkan juga menarik rambut Camila semakin ke belakang membuatnya berkali-kali meringis kesakitan. Camila tidak kuat lagi, pertahannya pecah dengan air mata yang mulai mengalir. Berharap semua cepat berlalu dan dia tidak menerima rasa sakit lebih dari yang dia rasakan sekarang. "Jangan berani-beraninya kau menyebut nama Selena dengan mulut kotormu itu, aku akan membuatmu menyesal jika melakukannya lagi." Victor menatap tajam Camila membuat nyali wanita itu semakin menciut. Camila menundukkan kepalanya, dia berharap bisa pingsan saat itu juga. Namun sayangnya adrenalin terus memacu jantungnya untuk berdetak dikelilingi rasa takut yang membuatnya selalu merasa orang yang disalahkan. "Aku bilang tanggalkan pakaianmu!" teriak Victor menggelegar. Camila bergetar, takut, juga cemas hingga membuatnya membeku tanpa bisa mencerna dengan baik perintah dari Victor. Melihat Camila yang tidak kunjung melakukan perintahnya, dengan inisiatif, Victor menarik pakaian Camila hingga tubuh ringkih di hadapannya ikut tersungkur ke arah tarikan. Camila jatuh di ranjang dengan gaun yang sudah terobek setengah, barulah Camila sadar dan berusaha untuk mencegah Victor menelanjanginya lebih. Tangan Camila meraih tangan Victor yang bergerak lancar merusak semua penghalang. "Aku mohon hentikan, aku bersalah! Maafkan aku, maafkan keluargaku. Maafkan semua yang terjadi jika menyakitimu!" Akhirnya kata itu muncul sebagai bentuk perlindungan diri Camila. Victor terkekeh meledek. "Kau bilang tidak tahu, tapi sekarang kau meminta maaf seakan sudah tahu apa yang telah keluargamu lakukan pada calon pengantinku sebelumnya," katanya sambil menyeringai. Sungguh bukan itu maksud Camila. Dia hanya tidak memiliki jalan lain selain meminta maaf dan menerima semua yang Victor tuduhkan padanya, walau dia tidak tahu apa-apa, sekarang perkataan itu justru memakan dirinya. "Bu-bukan begitu. Aku hanya mencoba untuk membuatmu tidak marah karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi," kilah Camila. Victor menggeleng disertai senyuman meledek. "Tidak, Camila. Kau, keluargamu, semua orang yang ada di dekatmu, aku sama sekali tidak mempercayai kalian. Kau hanya beralasan saat aku bertanya dan kau akhirnya memberikan pengakuan saat aku menyakitimu," ucap Victor penuh penekanan. Sekarang Camila benar-benar tanpa sehelai benangpun membuat Victor bisa melihat semuanya dengan jelas. Tubuhnya, luka di sudut bibirnya dan air mata yang membasahi pipi, serta ketakutan yang terlancar jelas di mata Camila, membuat Victor ... bergairah. "Layani aku, puaskan aku. Aku akan memberi keluargamu bonus jika kau berhasil melakukan itu." Victor menatap kedua bola mata yang sendu juga bergetar. "Tuan ... kita belum menikah, jadi aku mohon—" "Simpan semua alasan untuk penolakanmu itu, Camila! Bukankah aku pantas mendapatnya setelah semua yang terjadi?! Aku pantas sedangkan setelah kalian melakukan hal itu padaku! Bahkan keluargamu sendiri yang menyajikanmu padaku, jadi kenapa aku tidak boleh memakan hidangan milikku?!" Setiap kata dari Victor membuat Camila tidak hanya takut, tapi juga sakit hati. Camila tidak merasa diperlakukan seperti manusia yang seharusnya dan Camila juga membenci keluarganya yang telah mendorongnya melakukan pernikahan dengan Victor. Camila bukanlah seorang manusia di mata Victor, apalagi seorang istri. Camila hanya alat untuk memuaskan dendamnya karena kehilangan kekasihnya, sebagai alat penebus dendam Victor terhadap keluarga Wibisana. Perlahan pertahanan Camila melemah karena setiap kata manipulatif dari Victor mampu menanamkan trauma, juga memanipulasi otak Camila kalau dia adalah seorang yang harus tunduk terhadap kekuasaan yang sedang Camila hadapi. Victor juga tanpa seperti Camila yang tidak mengenakan apa-apa. "Tapi, bisakah aku diperlakukan dengan lebih baik ...?" lirih Camila dengan sedih. Melihat penderitaan yang Camila alami membuat Victor merasa lega setiap kali air mata Camila tumpah. Victor merasa kalau dendamnya sedikit demi sedikit terbalaskan. "Bisa, setelah ini aku akan memperlakukanmu dengan baik, tapi di dalam mimpimu." Camila memejamkan matanya, tidak ingin melihat dirinya sendiri yang menyedihkan disentuh oleh Victor. Setiap sentuhan Victor melewati sekujur tubuhnya membuat Camila berharap ingin mati saja saat itu jika tidak bisa melarikan diri. Sudah terenggut ciuman manis dari bibir ranum Camila, sudah terenggut. Dan Victor tidak membiarkan sekecil apa pun wilayah tubuh Camila belum dia jajah, dia memastikan semuanya sudah terjamak dan puncaknya adalah merobek selaput dara. Camila terkejut, refleks membuka mata dan berteriak. Tapi justru siksaan itu membuat Victor tertawa. "Ini tidak seberapa, Camila. Tidak seberapa dengan apa yang keluargamu lakukan pada Selena. Kalian membunuhnya hanya karena ingin menjadi bagian dari Aryasena, dengan licik kalian tidak meninggalkan jejak sedikitpun dan itu tidak bisa membuatku menjatuhkan kalian. Tapi aku berbaik hati pada kalian dengan menikahimu, mewujudkan impian keluargamu yang ingin kau jadi istriku, Camila. Betapa baiknya aku membalas air tuba kalian dengan air susu. Sayangnya, dengan cepat air susu itu akan menjadi darah." Napas Camila tercekat. Dia sama sekali tidak diberitahu kalau keluarga membunuh kekasih Victor. Camila hanya diberitahu dia harus menikah dan menjadi bagian dari Aryasena. Victor merasakan sensasi aneh dan melihat ke bawah, dia melihat noda kemerahan di area miliknya. Suatu hal yang tidak pernah dia sangka sebelumnya karena Camila masih seorang perawan. "Kau masih perawan rupanya? Setidaknya ini harga yang sepadan untukku. Aku jadi mempunyai alasan untuk tetap menikahimu dengan alibi bertanggung jawab karena merengut mahkotamu," bisik Victor membuat Camila merinding. Sekali lagi Victor mencium Camila, merasa sebuah ciuman itu bukanlah cinta melainkan penghinaan terhadapnya dengan dalih akan menikah dan bertanggung jawab. Camila membuang tatapannya ke arah lain karena tidak sanggung beradu pandang dengan Victor, apalagi melihat pria itu menyentuhnya. "Sakit ...," rintih Camila. "Wajar saja, kau terasa sangat sempit." Victor memainkan temponya. Bukan kenikmatan yang Camila rasakan, melainkan sebuah siksaan menyakitkan yang dilakukan calon suaminya sendiri. Tanpa ampun, tanpa belas kasih. "Tuan, aku mohon berhenti! Ini sakit ... lepaskan aku. Tolong!" jerit Camila meronta-ronta. "Tidak. Jikapun kau bersujud setelah ini, atau mati. Aku tidak akan berhenti hanya karena kau memintanya. Aku akan berhenti sesuai kemauanku dan itu tidak berdasar atas keinginanmu. Ingat, Camila. Kau hanya alat agar aku bisa menyiksamu, aku harus membalas apa yang dirasakan Selena dan Selena akan tenang setelah aku puas membalas dendam." Camila sudah tidak bisa merasa apa-apa selain rasa sakit juga panas. Suara penyatuan antara mereka terdengar hingga memenuhi ruangan. Camila bisa mendengar Victor sesekali menggeram dan mendesah, tapi juga sesekali mengejeknya dengan seringai licik. "Berhenti ... akan aku lakukan apa pun agar aku bisa diperlakukan dengan baik. Anda salah paham, Tuan Victor. Semua tidak seperti yang Anda kira. Beri waktu aku menjelaskan semuanya." Napas Camila sudah terengah, tapi dia berusaha mengatakannya. "Tuan ...," lirih Camila lagi. "Jangan mengaturku, Camila! Kau tidak punya hak apa pun untuk meminta waktuku agar mendengarkanmu! Tidak ada hak dan tak ada kapasitasmu memintaku untuk menuruti kemauanmu, jadi terima saja takdirmu. Tidak, bukan takdir, tapi permintaan keluargamu yang sukarela menyerahkanmu padaku dan aku hanya memungutmu!" ucap Victor dengan nada tegas dan tatapan tajam. "Tuan, aku mohon. Sakit ...." Air mata sudah menderai, bahkan rasa sakit, perih, bercampur malu sudah menjadi satu. Victor mencium kembali, mencoba memberikan tanda kepemilikan dengan brutal di leher Camila. Victor menatap reaksi Camila setelah memberi tanda, ekspresi terluka Camila membuat Victor menjadi lega. "Beritahu perias pengantin nanti untuk menutupi bekas tamparan itu dan jangan perlihatkan wajah buruk seperti itu dihari pernikahan kita," kata Victor sambil menyambar pakaiannya di bawah dan memakai di depan Camila. Camila masih diam membeku seakan masih tidak bisa menerima apa yang terjadi barusan. Victor beringsut untuk mendekat ke Camila lagi, masih tidak ada reaksi dari Camila yang tatapannya kosong. Victor menangkup kasar wajah Camila dengan satu tangannya dan membisikan sesuatu. "Besok harusnya pernikahanku dengan Selena, tapi dengan lancang keluargamu mengusahakan pernikahan denganmu, jadi jangan bersikap selayaknya korban, Camila." Victor menghempas wajah Camila, kemudian. Beranjak dari ranjang dan melangkahkan kakinya menuju ke arah luar kamar. Victor membuka pintu perlahan, kemudian berbalik lagi menatap Camila. "Jaga tubuhmu baik-baik sampai besok, sebelum aku menyakitinya lagi.""Bangunlah, sudah hari pernikahanmu, Camila."Suara dingin Damien Wibisana memecah keheningan kamar yang suram. Camila membuka matanya yang sembab dan melihat sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tanpa ekspresi, seperti patung marmer yang tak bernyawa.Tubuh Camila terasa berat, seolah setiap helai kain yang menutupi dirinya berubah menjadi rantai yang mengikatnya di tempat tidur. Luka-luka yang tersembunyi di balik selimut birunya masih terasa perih, bekas dari malam yang tidak ingin diingatnya.“Ayah ….” Suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Namun, Damien tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar atau peduli. Pria itu hanya melipat tangannya di dada, tatapannya tajam seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.“Jangan buat ini lebih sulit, Camila. Bangun sekarang,” ulangnya.Camila duduk perlahan, kepalanya menunduk. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia tidak ingin menangis di depan Damien. Tidak lagi.“Tadi malam … Victor masuk ke kamarku,” suaranya bergeta
Bunyi roda koper yang menyeret lantai marmer memenuhi ruang tamu megah itu, menggema di antara dinding-dinding besar yang dipenuhi lukisan keluarga. Camila menggenggam erat pegangan koper hitamnya, wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan ribuan perasaan yang sulit dijelaskan. Langkahnya mantap menuju pintu, namun suara berat yang sudah ia kenal sepanjang hidupnya menghentikan gerakannya."Camila!" Damien memanggil dengan nada keras, penuh wibawa, seperti seorang raja yang tak bisa dibantah. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau harus pergi malam ini? Bukankah ini malam pertama pernikahanmu dengan Victor?"Camila berhenti, namun tidak menoleh. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi suaranya keluar dengan nada datar yang menantang. "Malam pertama itu sudah tidak ada artinya lagi, Ayah."Kening Damien berkerut dalam. Ia berjalan mendekat, suaranya melemah namun penuh ketegasan. "Apa maksudmu? Kamar pengantin sudah dihias sedemikian rupa. Semuanya sempurna. Ini adalah awal b
Cahaya matahari menembus celah gorden yang berwarna krem keemasan, menyentuh wajah Camila yang terbaring di atas ranjang besar berlapis satin putih. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya kabur, lalu mengerjap-ngerjap, mencoba memahami di mana ia berada. Semua terasa asing. Dinding-dinding tinggi berlapis wallpaper elegan, lampu gantung kristal yang menggantung megah, dan aroma mawar yang samar menguar dari sudut ruangan. Tidak, ini bukan rumahnya.Camila segera bangkit, tubuhnya kaku dan lelah. Pikirannya penuh tanda tanya. Tapi setelahnya dia baru ingat kalau dia sudah menikah dengan Victor yang terasa seperti mimpi buruk dan dia berada di kediaman Aryasena.Suara langkah pelan namun berat terdengar mendekat. Ketika ia menoleh, seorang wanita tua berdiri di ambang pintu. Rambutnya kusut, berantakan seperti tidak pernah disisir, dan pakaiannya lusuh, seolah tidak cocok dengan keindahan ruangan ini. Matanya yang cekung menatap Camila tajam, dan senyum aneh menghiasi wajahnya
Ruangan itu sunyi ketika Julian menatap putranya dengan tatapan tajam. Duduk di kursi besar di ruang keluarga, Julian memutar cangkir tehnya dengan tenang, tetapi pikirannya jauh dari kata damai. Di hadapannya berdiri Victor, putra sulungnya, dengan ekspresi keras kepala.“Victor.” Julian memulai, suaranya dalam dan tenang. “Aku tidak bisa mengabaikan hal ini. Jangan bawa Camila ke perkumpulan itu.”Victor mendengus sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Ayah, aku tahu apa yang kulakukan. Aku sudah dewasa, aku bisa mengatur hidupku sendiri. Camila adalah istriku, dan aku tahu apa yang aku lakukan untuknya.”Julian menghela napas panjang. Ia sudah menduga jawaban seperti ini, tapi hatinya tetap berat mendengarnya. “Victor,” katanya dengan suara yang lebih tegas. “Ibumu menyukai Camila. Dia mempercayakan gadis itu padamu, dan aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Jangan ulangi apa yang terjadi sebelumnya.”Victor terdiam sejenak, tetapi Julian bisa melihat rahangnya mengeras.
Victor melangkah ke ruangan pribadi yang tenang dan jauh dari keramaian. Di dalam, Raphael sudah menunggunya dengan setumpuk dokumen dan tablet di atas meja. Raphael adalah orang kepercayaannya, seseorang yang tahu semua sisi gelap dari kekuasaan bisnis Victor.Victor langsung duduk tanpa basa-basi. “Bagaimana perkembangan bisnis senjata di pasar gelap? Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” tanyanya, suaranya tegas dan tanpa emosi.Raphael mengangguk pelan. “Permintaan terus meningkat, terutama dari wilayah timur. Namun, sekutu kita meminta akses lebih besar untuk memperluas koneksi mereka. Mereka juga ingin kita mempercepat pengiriman.”Victor mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpikir sejenak. “Itu bukan masalah besar. Tapi kita membutuhkan modal tambahan. Keluarga Wibisana sudah menunjukkan minat. Pastikan mereka mengeluarkan dana yang cukup besar. Tawarkan mereka kesepakatan yang menjanjikan, meski sebenarnya tidak ada keuntungan nyata untuk mere
Victor melangkah masuk ke dalam mobil dengan langkah tegas. Wajahnya yang selalu tampak dingin dan tanpa emosi memperlihatkan sekilas ekspresi tidak sabar. Ia duduk di kursi belakang, menyandarkan tubuh dengan elegan sambil melonggarkan dasi hitamnya. Tanpa menoleh, ia memberi perintah singkat kepada Raphael yang duduk di kursi pengemudi."Antar kami pulang. Sekarang," katanya datar namun penuh tekanan.Raphael, yang sudah terbiasa dengan perintah tanpa kompromi dari Victor, hanya mengangguk patuh. Mesin mobil menyala, dan kendaraan meluncur keluar dari parkiran dengan halus.Di sebelah Victor, Camila duduk dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya memancarkan keteguhan kini menyiratkan kelelahan dan luka yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Jejak memar samar di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari apa yang baru saja terjadi.Victor menoleh ke arahnya, pandangannya tajam seperti bilah pisau. Ia memperhatikan luka di wajah Cam
Dari jendela lantai dua, Julian memperhatikan pekarangan rumah yang mulai gelap, diterangi lampu jalan yang temaram. Sorot matanya tajam, seperti seseorang yang selalu waspada terhadap setiap detail kecil di sekitarnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu mobil terbuka, dan putranya, Victor, melangkah keluar, diikuti oleh Camila.Mata Julian segera tertuju pada Camila. Meskipun jaraknya cukup jauh, ia dapat melihat sesuatu yang mengganggu. Ada luka di sudut bibir Camila, dan tampaknya luka itu kembali basah, seperti baru saja berdarah lagi. Hatinya mencelos. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi tanpa perlu mendengar cerita langsung.Julian menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada Camila yang berjalan lebih cepat meninggalkan Victor dan langsung masuk ke dalam rumah. Langkah Camila terburu-buru, seperti ingin menghindari sesuatu. Sementara itu, Victor tetap berada di ruang tengah, melepas dasi dengan santa
Camila membuka matanya perlahan. Cahaya mentari yang menembus tirai tipis kamar membelai wajahnya dengan lembut, namun kehangatan itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Ia melirik ke sisi tempat tidur, menemukan tempat itu kosong dan rapi. Victor tidak tidur di situ semalam.Ada rasa lega sekaligus getir yang bercampur menjadi satu. Pernikahan mereka, sebuah ikatan yang dibentuk bukan karena cinta, melainkan kewajiban keluarga, terasa lebih seperti penjara daripada rumah. Mereka tidak pernah saling menginginkan, dan ketidakhadiran Victor di sisi tempat tidur adalah semacam pelarian kecil yang Camila syukuri.Ketika ia tengah melamun, suara pintu kamar yang berderit perlahan membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan sosok Sophia, ibu mertuanya, muncul di ambang pintu. Wajah wanita itu, seperti biasa, dihiasi senyum ceria namun penuh ketegasan."Duduklah di depan kursi rias," kata Sophia tanpa banyak basa-basi.Camil
Langit tampak kelam meski matahari sudah mulai meninggi. Awan menggantung pekat di atas markas besar yang kini dipenuhi oleh ratusan pasukan dari berbagai wilayah kekuasaan. Di tengah lapangan yang luas dan terbuka, barisan para prajurit berdiri tegap dalam formasi. Mereka berasal dari kelompok-kelompok berbeda, namun pagi ini mereka disatukan oleh satu komando.Nathan Ardhana berdiri di atas podium kayu sederhana, mengenakan seragam tempur berwarna hitam dan mantel panjang yang berkibar tertiup angin. Tatapan matanya tajam menyapu wajah-wajah di hadapannya. Suaranya menggema ketika ia mulai berbicara, menggetarkan dada setiap orang yang mendengarnya."Saudara-saudaraku," ucap Nathan lantang. "Hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini kita dipanggil oleh keadaan, oleh kenyataan bahwa salah satu dari kita telah dihancurkan secara kejam."Beberapa pasukan tampak mulai saling berbisik, menyadari ke mana arah pembicaraan Nathan akan mengarah."Victor Aryasena," lanjut Nathan, suaranya mening
Malam telah larut, dan langit di luar jendela vila tampak gulita tanpa seberkas cahaya. Namun, ketenangan malam tidak mampu menenangkan hati Camila. Ia masih terjaga, berbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelimuti tubuhnya, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Ia memejamkan mata, mencoba tertidur. Namun, yang hadir hanya bayangan wajah Victor—senyum hangatnya, suara lembutnya, dan tatapan penuh keyakinan yang dulu selalu mampu membuatnya merasa aman. Camila membuka matanya kembali, menatap langit-langit dengan kosong. Ia menghela napas pelan, lalu menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Kakinya melangkah menuju meja kecil di sisi kamar, tempat sebuah ponsel tergeletak diam—ponsel pemberian Victor yang belum pernah ia gunakan untuk menghubunginya lebih dulu. Tangannya sempat ragu saat menyentuh ponsel itu. Ia tahu Victor tengah sibuk, berada di tengah peperangan dan berbagai ancaman. Namun, kerinduan telah menumpuk terlalu
Langkah kaki Dominic bergema keras di sepanjang lorong menuju ruang kerja Nathan. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras menahan amarah yang nyaris meledak. Saat pintu besar dari kayu jati itu terbuka, Nathan menoleh santai dari kursi kerjanya, seakan tidak ada yang serius sedang terjadi. “Mansion-ku,” desis Dominic begitu masuk. “Hancur. Rata dengan tanah. Kau tahu siapa pelakunya, bukan? Victor.” Nathan menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Aku sudah mendengarnya,” ujarnya datar. Dominic melangkah maju, matanya menyala. “Apa itu saja tanggapanmu? Kau bilang kita akan menyerang lebih dulu. Kau bilang Victor belum siap. Tapi nyatanya, dia lebih dulu menghantamku bahkan sebelum kita mulai bergerak!” Nathan menghela napas, mencoba tetap tenang. “Dengar, Dominic. Sekarang bukan waktunya menyalahkan satu sama lain. Pulanglah dulu, istirahat. Aku akan pikirkan rencana selanjutnya.” “Pulan
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah k
Victor berdiri membatu di anak tangga terakhir, matanya tidak bisa lepas dari sosok Selena yang berdiri di hadapannya. Namun bukan hanya Selena yang menarik perhatiannya, melainkan sosok pria muda yang berdiri satu langkah di belakang wanita itu. Tubuhnya tegap, posturnya waspada namun sopan, seolah sudah terbiasa menjaga seseorang yang penting. Wajahnya sekilas tidak asing bagi Victor—ada sesuatu yang samar, mungkin pernah ia temui dalam pertemuan-pertemuan rahasia atau arsip musuh. "Siapa dia?" tanya Victor tanpa basa-basi, pandangannya tetap terarah pada pria di samping Selena. Selena menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Oh, dia? Seseorang yang membantuku bertahan hidup selama ini.” Jawabannya terdengar ringan, tapi jelas tidak menjelaskan apa pun. “Kau mungkin pernah melihatnya sekali atau dua kali. Dunia kita tidak pernah benar-benar besar, bukan?” Victor tidak menanggapi, hanya menatap lekat. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih j
Langit pagi kota itu masih diselimuti kabut tipis ketika Sebastian menatap wanita di sampingnya. Stasiun mulai ramai, suara roda koper bersahutan dengan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara. Tapi di tengah keramaian itu, ada ketegangan yang menggantung di antara dua orang yang berdiri diam di depan pintu masuk peron. "Selena, kau yakin benar ingin melakukan ini?" tanya Sebastian pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara-suara di sekeliling mereka. Matanya mencari jawaban di wajah Selena yang sedikit pucat. Selena tidak langsung menjawab. Tangannya mencengkeram gagang koper, seolah pegangan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak. Kemudian, dia mengangguk pelan, tapi pasti. "Aku ingin pergi dari kota ini, Bas," ucapnya akhirnya. "Aku ingin menghilang dari semua yang pernah menyakitiku. Dari keluarga yang hanya tahu menyuruh, dari orang-orang yang hanya tahu menuntut. Aku ... aku tidak bisa terus hidup dalam bayang
Dominic, Alexander, dan Nathan duduk di ruangan pribadi di salah satu bar eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Suasana di antara mereka begitu santai, seolah kemenangan sudah ada di genggaman. Alexander menyandarkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi puas. “Aku tidak menyangka Victor akan semudah ini dijatuhkan,” katanya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Nathan tertawa kecil, menggoyangkan gelasnya sehingga cairan di dalamnya berputar perlahan. “Dia terlalu sibuk menjaga istrinya. Itu kelemahannya. Lihat saja, dia bahkan mengirim Camila pergi seolah-olah itu bisa menyelamatkannya. Padahal, dia sendiri yang akan jatuh ke dalam kehancuran.” Dominic tersenyum miring, ikut meneguk minumannya. “Victor selalu merasa dia lebih pintar dari kita, tapi pada akhirnya, dia hanya pria bodoh yang membiarkan emosinya mengendalikan segalanya.” Mereka bertiga tertawa, menikmati perasaan puas yang mengalir
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Sebastian tersenyum dengan mata yang berbinar. "Apa kau pikir aku bisa bohong dengan kabar seperti ini? Aku hamil sungguhan dan kita akan menjadi orang tua, oleh sebab itulah aku tidak boleh stres dan aku juga tidak ingin bertemu keluargaku yang akan memicu konflik," jelas Selena. Sebastian bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja dan langsung memeluk Selena, memberikannya banyak kecupan singkat di wajah Selena. "Aku sangat bersyukur mendapat kabar seperti ini, aku harap kita bisa menjadi orang tua yang baik. Aku akan menuruti semua permintaanmu tanpa bertanya lagi. Kita akan pergi jauh setelah ini dan memulai hidup dengan baik," ujar Sebastian. Selena tersenyum, pada akhirnya suaminya bisa mengerti keputusannya tanpa harus bertanya apa pun lagi. Itulah yang dia harapkan, pergi dari keramaian ataupun keluarganya, karena kenangan dulu sangat membuatnya sakit hati. "Baguslah kalau begitu, aku ingin semuanya jadi lebih tenang. Bisakah kita pergi bes
Nathan yang berdiri di hadapan mereka semua pembenci Victor. Melihat orang-orang yang berkumpul di pihaknya seakan tercium wangi darah yang sangat dia sukai. Bagaimana Victor akan bertekuk lutut di hadapannya dan dia memenggal kepala Victor sambil tersenyum. "Sekarang Victor tengah dalam masa lengahnya, dia pikir dia akan bisa mengatasi kita, dia tidak mungkin bisa menahan balai serangan yang datang beruntun. Dia terlalu sibuk mengurus koneksinya dan melebarkan kekuasaan sampai lupa harus bersiap sekarang." Perkataan dari Nathan membangkitkan mereka seakan sudah tidak sabar untuk segera menghancurkan nama Aryasena dari peradaban. "Sepertinya begitu, aku sama sekali tidak melihat pergerakan Victor selain dia sibuk untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pihak," timpal Alexander. Mereka tertawa puas melihat Victor yang terlihat kecolongan tanpa mereka menyelidiki lebih lanjut. "Itulah sebabnya Aryasena harus