Minggu ini menjadi minggu yang melelahkan serta menyenangkan. Melelahkan karena begitu banyak pekerjaan yang Cia lakukan serta menyenangkan karena meskipun lelah, dia bisa melihat wajah kekasihnya setiap saat. Ah, kasmaran memang menggelikan. Kekasih. Cia tidak menyangka jika menyebut Agam sebagai kekasihnya. Dia tidak akan menolak atau berusaha menyangkal perasaannya lagi. Begitu Agam menawarkan sebuah hubungan yang ia impikan, niat Cia untuk melupakan pria itu langsung goyah. Yang ada di kepalanya justru ia harus menerima Agam dengan tangan terbuka. Tidak peduli jika Agam benar mencintainya atau tidak. Cia benar-benar sudah buta. Namun jika dilihat dari bagaimana Agam bersikap, pria itu sedikit berbeda saat status baru mulai mereka patenkan. Agam memang cuek, tak acuh, dan selalu tak peduli pada semua hal yang tak berhubungan dengannya. Namun saat mereka menjalin hubungan, Cia bisa melihat Agam sedikit melawan sifat buruknya itu. Meskipun kadang masih membuat Cia kesal karen
Cahaya matahari yang menyilaukan mata mulai membangunkan Cia. Dia mengerang sambil merenggangkan tubuhnya. Perlahan, matanya terbuka dan pemandangan gedung-gedung tinggi langsung tersaji di hadapannya. Dinding kaca yang ternyata tidak tertutup tirai dari semalam memperlihatkan embun pagi yang segar. Perlahan senyum tipis mulai muncul di wajah Cia. Dia menunduk untuk melihat sesuatu. Seketika senyumnya semakin merekah saat melihat lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Dengan hati-hati, Cia mengangkat lengan itu dan berbalik. Pemandangan yang jauh lebih indah langsung bisa ia lihat. Bagi Cia, tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat wajah kekasihnya. Tangan Cia terulur untuk menyentuh hidung Agam. Hidung mancung dengan tulang yang tinggi itu terlihat sangat sempurna. Tangannya bergerak untuk menyentuh mata Agam, menikmati halus bulu mata lentik di tangannya. Setelah itu tangan Cia mulai turun ke bibir Agam. Bibir penuh berwarna merah itu terlihat sangat sehat. Pria
Rintik hujan yang mulai membasahi bumi tidak membuat seorang gadis berseragam SMA itu masuk ke dalam rumah. Dia masih betah berdiri di balkon kamar sambil menikmati pemandangan sejuk di hadapannya. Matanya terpejam dan mulai menarik napas dalam. Setelahnya, gadis itu tersenyum karena mencium aroma khas hujan yang menenangkan. "Lo nggak dingin?" tanya Febi ikut keluar dari kamar. Cia membuka matanya dan menggeleng. "Lagi nikmatin hujan." "Dih, galau lo?" Cia terkekeh dan menggeleng. Bagaimana dia bisa sedih jika apa yang ada di depannya saat ini sangatlah indah? Hujan? Itu hanya pelengkap. Pemandangan indah yang Cia maksud sedari tadi adalah Agam Mahawira. Dari balkon kamar Febi, Cia bisa melihat Agam yang duduk santai di gazebo taman belakang sambil membaca buku. Terlihat sangat tenang, tetapi mampu membuat jantung Cia berdebar tidak karuan. "Lo aneh, kayak kakak gue," gumam Febi. "Kak Agam?" Febi mengangguk dan ikut bersandar pada pagar. "Liat, dia suka banget liat
Makan siang kali ini, Cia terbebas dari pekerjaan. Agam memilih makan bersama Dika untuk menemui teman semasa kuliah mereka. Cia yang tahu jika itu bukan tentang pekerjaan akhirnya memilih untuk bersama Febi. Sudah cukup lama mereka tidak makan siang bersama. Bukan hanya Febi, tapi ada Ridho. Sepertinya pria berkaca-mata itu memang tidak memiliki teman selain Febi. Atau memang hanya Febi yang bisa menerima keanehan Ridho? "Makanan datang!" Ridho berlari kecil sambil membawa dua kantong makanan di tangannya. Kali ini mereka memilih untuk makan di kantor karena cuaca yang begitu panas. Meja Cia menjadi pilihan karena tidak ada banyak ornag di lantai ini. Setidaknya mereka bisa bebas berhaha-hihi ria. "Ini bukannya makanan dari restoran mahal itu?" tanya Cia membaca tulisan di kotak makanan mereka. "Iya, nggak usah khawatir. Gue yang traktir," ucap Ridho. "Serius?" Mata Cia mulai berbinar. "Halah, sok banget bilang traktir. Yang kirim nyokap lo, kan?" cibir Febi. Ridho te
Suasana pantry saat ini benar-benar canggung. Cia menggigit bibirnya resah sambil menatap punggung Ridho. Pria itu tengah mengaduk kopinya dengan gerakan yang benar-benar pelan, membuat Cia gemas dibuatnya. Di dalam otaknya saat ini banyak berlarian pikiran buruk. Bagaimana bisa dia teledor dan tertangkap basah oleh Ridho? Cia melirik Agam yang tengah duduk dengan tenang. Dia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan saat ini, yang pasti jika dilihat dari luar sepertinya hanya dirinya sendiri yang panik. Bahkan Agam seperti tidak berniat membantah isi pikiran Ridho. "Saya permisi." Ridho menunduk sebentar pada Agam sebelum beranjak keluar pantry. Sebelum benar-benar pergi, dengan cepat Cia mencegahnya. Gadis itu berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangannya lebar. Dia menatap Ridho dengan tatapan memohonnya. "Duduk dulu." Ridho ingin menolak, tetapi saat melihat Agam yang juga menatapnya membuat nyali Ridho menciut. Dia meletakkan kopinya di meja dan ikut menarik
Cia menghela napas lega ketika selesai membersihkan rumahnya. Dia melihat keadaan kamarnya dengan senyum merekah. Benar-benar bersih dan rapi. Kesibukannya dalam bekerja sering kali membuatnya mengabaikan kerapian. Namun di hari minggu ini ia beruntung karena Agam tidak mengganggunya. Namun jika pria itu mengganggunya maka Cia juga akan dengan senang hati menerimanya. Ah, cinta memang bisa merubah segalanya. Tubuh yang sudah lengket tidak membuat Cia bergegas membersihkan diri. Dia kembali ke dapur dan melihat satu kantong plastik berisi jahe. Seperti sudah menjadi kegiatan rutin, akhir-akhir ini Cia selalu membuat teh jahe. Untuk siapa lagi jika bukan Ridho. Anak berbakti itu benar-benar memikirkan kesehatan ibunya. Selagi mengeringkan tubuhnya, Cia memilih untuk mengupas jahe-jahe itu. Saat melihat jahe, entah kenapa Cia langsung teringat dengan ibunya. Bagaimana kabar wanita itu di desa? Apa ia hidup sehat bersama neneknya? Ingatkan Cia untuk menghubungi ibunya nanti saat p
Patah hati memang hal yang menyebalkan. Patah hati bisa menimbulkan efek yang tidak mengenakan untuk setiap orang. Seperti yang Cia rasakan saat ini. Dia pikir hari Senin akan menjadi hari yang menyenangkan karena bisa kembali bertemu dengan kekasihnya. Namun sayangnya karena ia melihat kejadian kemarin sore, membuat rasa semangat Cia menguap. Bak seperti orang sakit, dia tidak memiliki gairah dalam menjalani harinya. Dia kembali menjadi Cia yang dulu berhati keras. Bahkan jika bisa, dia ingin mengasingkan diri dan tak melihat Agam untuk hari ini. Sayangnya sebagai seorang karyawan yang memiliki tanggung jawab, Cia tidak bisa melakukannya. Bisa saja Cia langsung meminta kejelasan mengenai apa yang ia lihat kemarin pada Agam. Sayangnya dia tidak melakukannya. Lebih tepatnya tidak mau. Cia hanya takut mendapat jawaban yang akan semakin melukai hatinya. Sebisa mungkin dia meyakinkan diri untuk lebih sadar diri saat ini. Dering telepon kantor berbunyi. Dengan cepat Cia mengangkatn
Saat ini, punggung Cia terasa sangat panas. Seperti ada laser yang bergerak cepat menembusnya. Dia berbalik dan langsung menahan napas. Pantas saja dia merasa tidak enak sedari tadi. Ternyata Agam berdiri tepat di belakangnya, bersandar pada meja dapur tanpa suara. Menatapnya lekat tanpa melakukan apapun. Bahkan sinar laser sepertinya akan kalah dengan tatapan tajam pria itu. Cia mendekat dan meletakkan kopi instan buatannya di samping Agam. "Jadi, saya harus cari restoran baru atau gimana, Pak?" tanya Cia mencoba untuk profesional. Bukankah memang ini tujuan Agam menemuinya? "Nggak perlu." "Terus?" Cia menggaruk pelipisnya bingung. Mulai merasa tidak nyaman. "Ada yang lebih penting dari itu." Agam mulai mendekat. Dengan cepat Cia mengalihkan pandangannya dan berbalu menuju sofa ruang tengah. Dia memilih untuk duduk di sana tanpa menatap Agam. Dia tidak boleh luluh kali ini. Cia memang keras kepala. Jika tidak keras kepala tidak mungkin dia masih mencintai Agam sampai