Fairy Wings: Blood Moon

Fairy Wings: Blood Moon

last updateTerakhir Diperbarui : 2021-10-27
Oleh:  Alka Awal  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 Peringkat. 4 Ulasan-ulasan
16Bab
1.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Warning! Jangan paksakan otak anda untuk membaca novel ini! Shin merupakan ilmuwan dari ras manusia. Dirinya seringkali mengalami kegagalan dalam eksperimen pembuatan sayap. Shin tak pernah menyerah. Di tengah pencarian sumber inspirasi. Tak sengaja Shin malah bertemu dengan seorang gadis yang bernama Trivia. Lambat laun, Shin mengatahui identitas Trivia yang sebenarnya. Ternyata Trivia adalah peri dari hutan Kaliandra. Perbedaan ras tersebut, bukanlah alasan yang menghalangi mereka berdua untuk menjalin cinta. Namun, di balik kisah indah pasti ada nasib tragis di dalamnya. Ketika cinta kedua makhluk yang berbeda dimensi tersebut, menjadi awal mula pemicu perang besar antara ras manusia dan ras peri. Ras manusia menginginkan sayap peri sabagai bahan eksperimen untuk pembuatan sayap. Sedang ras peri menginginkan otak manusia yang sangat jenius dalam hal menciptakan teknologi. "Shin! Kita berdua tak perlu ikut berperang. Aku takut hanya karena keinginan kedua ras, kita akan saling membunuh." lirih Trivia menangis. "Jadi kau ingin aku diam saja! Berlari dan bersembunyi seperti seorang pengecut, menunggu sampai para peri datang membunuhku? Maaf aku tidak mau Trivia!" resah Shin menjawab. Akankah cinta kedua makhluk tersebut berakhir dengan bahagia? Siapakah yang akan memenangkan perang tersebut? Alat teknologi ras manusia? Ataukah Sihir dari ras peri?

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Pratinjau Gratis

Prolog

Eksoplanet, 1923. "Ar-Arcana. Anakku, maafkan ibu yang tak bisa melindungimu. Ibumu ini terlalu lemah. Padahal aku juga ingin menjadi orang tua yang dapat menimang dan membesarkanmu. Seperti yang di lakukan seorang ibu dari ras manusia. Tapi sayang ibumu ini bukan manusia. Maafkan ibu Arcana, Aku bukan ibu yang baik untuk mu. Aku telah mengambil keputusan yang salah, tapi kau tahu ibu sangat menyayangimu...." Desis seorang ibu dengan suara yang terdengar lemah dan terbata-bata. Meskipun darah terus mengalir keluar dari mulutnya, ia masih berusaha mengucapkan sepatah kata,"Se-pertinya ibu terlalu banyak meminta maaf, mungkin karena ajaran si manusia bodoh itu. Hehehe ... Dia ayahmu, laki-laki bodoh yang sangat mirip denganmu, Arcana. Rambut putih mu itu membuatku sangat merindukan ayahmu. Ibu ingin hidup bersama kalian berdua, tapi ...." Tangisan sesegukan terdengar menyayat di antara senyuman dan kasedihan dari seorang ibu. Penyesalan dan kerinduan memberontak,

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Alka Awal
Lanjut ngk ya? Bingung soalnya udah lama ngk nulis.
2022-02-01 11:37:18
1
user avatar
Arasu Yuu
Uwooo... Menarik, baru baca chapter 1 sih... ntar kalau udah next kukasih pendapat (kalau ada) ...
2021-12-08 16:09:15
0
user avatar
Alpysicho
Wow. fantasinya keren
2021-09-12 07:17:14
0
user avatar
Alka Awal
Jangan lupa vote, comen setelah di baca
2021-09-10 22:21:15
0
16 Bab

Prolog

Eksoplanet, 1923. "Ar-Arcana. Anakku, maafkan ibu yang tak bisa melindungimu. Ibumu ini terlalu lemah. Padahal aku juga ingin menjadi orang tua yang dapat menimang dan membesarkanmu. Seperti yang di lakukan seorang ibu dari ras manusia. Tapi sayang ibumu ini bukan manusia. Maafkan ibu Arcana, Aku bukan ibu yang baik untuk mu. Aku telah mengambil keputusan yang salah, tapi kau tahu ibu sangat menyayangimu...." Desis seorang ibu dengan suara yang terdengar lemah dan terbata-bata. Meskipun darah terus mengalir keluar dari mulutnya, ia masih berusaha mengucapkan sepatah kata,"Se-pertinya ibu terlalu banyak meminta maaf, mungkin karena ajaran si manusia bodoh itu. Hehehe ... Dia ayahmu, laki-laki bodoh yang sangat mirip denganmu, Arcana. Rambut putih mu itu membuatku sangat merindukan ayahmu. Ibu ingin hidup bersama kalian berdua, tapi ...."  Tangisan sesegukan terdengar menyayat di antara senyuman dan kasedihan dari seorang ibu. Penyesalan dan kerinduan memberontak,
Baca selengkapnya

Manusia di Eksoplanet

Eksoplanet, 1943. 20 tahun kemudian .... Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat. Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia. Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat tekno
Baca selengkapnya

Teknologi

"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi.  "Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka. "Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus. Kemudian tabung  yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak.  Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan, "Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan,"  T
Baca selengkapnya

Kondisi Langit

 "Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak  sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s
Baca selengkapnya

Awan comulonimbus

Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika  ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang  ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Baca selengkapnya

Makhluk Mitologi

Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin  mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin
Baca selengkapnya

Trilachonaya

  "Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus
Baca selengkapnya

Hacker

  Di puncak sebuah gedung tinggi.  Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana.  "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik.  "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah.  "Posisi mereka t
Baca selengkapnya

Kenangan 13 tahun lalu

"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri,"  Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya.  "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara.  Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang.    Mendadak .... Shin  berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
Baca selengkapnya

Keingian Ayah

""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang.   "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut.   "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi.  Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang.    "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas  dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas."   Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin,"   Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar.    "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status