Home / Fantasi / Fairy Wings: Blood Moon / Awan comulonimbus

Share

Awan comulonimbus

Author: Alka Awal
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar.

"Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu.

Tidak mungkin!

"Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika  ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal.

Di sisi lain Jansen melayang  ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin.

"Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki sampai ke batang leher. Hingga yang terlihat hanya kulit wajah yang berwarna sawo matang, dan rambut gimbal di ikat.

"Kenapa kau tak pernah mendengarkan ku? Seharusnya, kau tak terbang lebih jauh. Bagaimana jika terjadi sesuatu?" gerutu Jansen menyayangkan sifat gegabah Shin.

Sudah beberapa menit berlalu. Keadaan dan keberadaan Shin belum jelas. 

Lalu Jansen kembali terbang. Menuju ke belahan gunung yang lain. Saat jansen mendarat. Matanya memicing ke langit yang mendung. Rasa cemas seketika memenuhi rongga dada. Bagitu juga dengan Helen yang mendongak ke hamparan awan gelap gulita. Segera Helen menyimpulkan akan turun hujan.

Sementara di dalam kepulan awan tebal. Sinar matahari tak mampu menembus masuk. 

Di mana Shin?

Tak ada jejak tubuh atau pun sayapnya.

Apakah Shin telah hangus terbakar dan menjadi debu?

Lantaran di dalam awan bercode Cb, hanya terlihat badai hujan yang terionisasi pada awan saling bergesekan. Akibatnya di jantung awan comulus muncul kilatan-kilatan. Menyambar tanpa henti di tempat Shin terakhir kali terlihat.

Mendadak ....

"Hahaha." Terdengar suara tawa menggelegar. Di dalam muatan statis berbentuk petir yang berkumpul pada satu titik.

Siapa?

Shin? 

Bagaimana bisa dia masih hidup di tengah setruman listrik bertegangan tinggi?

"Aaaa ...." Teriak Shin membentangkan sayap. Bersamaan dengan kedua tangan yang merentang. Kibasan sayap itu menangkis serangan halilintar. Membuat arus listrik terputus dari tubuhnya. 

"Seandainya sayap ini tidak melilit tubuhku. Mungkin aku sudah menjadi manusia gosong." papar Shin. Membayangkan sayap yang menghalau, lalu membungkus seluruh tubuhnya. Sehingga sedikitpun kulitnya tak tersengat. Pasalnya, titanium adalah material penangkal petir.

Fonomena alam yang sangat mencekam.

Kalau saja manusia pada umumnya, mengalami tragedi mengerikan seperti itu. Mungkin sudah pasti akan merasa frustasi serta memilih bunuh diri. Sebab tak ada cara meloloskan diri. Bukan hanya itu keberadaan awan comulonimbus  dapat menimbulkan kondisi berbahaya pada rute suatu penerbangan. Jangankan mendekat, pesawat lebih memilih menghindar. Tetapi jika terlanjur terperangkap, dipastikan tidak akan bisa selamat. Shin menyadari akan hal itu. Kendati demikian alih-alih berfikir untuk kembali ke puncak Gunung Rahtawu. Shin malah terdiam sejenak. Mendongakan kepala ke atas seraya berfikir keras. Ekspresi wajahnya tampak serius. Serta lebih waspada kepada sambaran cahaya plasma bergelombang kejut yang tak bisa di prediksi arah datangnya. 

Bagaimana cara keluar dari tempat ini? Ke atas atau ke samping? 

Selang beberapa menit, Shin memutuskan untuk menuju puncak. Dirinya kembali bermanuver. Perlahan tubuhnya terangkat seiring dengan kecepatan turbo jet yang bertambah. 

Suasana bergejolak menjadi tegang.

Sambaran petir berkecepatan 298.000 km/jam. Bermuatan 300 kilovolt.  Semakin mengganas bahkan lebih brutal. Dengan badai hujan es yang menyertainya, kini kian dahsyat. Menindas secara parah. Menerjang dan menghantam menuju titik penghancuran. Sekali salah menghindar maka akan lenyap selamanya. Namun, bukan namanya Shin jika tak berani menantang maut. Dirinya sudah siap mengambil resiko.

Ilmuwan itu tak mau kalah hebat. Shin begitu antusias. Kedua sayapnya juga kokoh dalam bertahan dan menangkis.

Nyaris saja.

Beruntung temperatur udara dingin dapat di manfaatkan oleh mesin turbo jet untuk bergerak  dengan kecepatan Hyper sonic. Tentu peluncuran yang melebihi kecepatan suara itu sangat merugikan Shin. Pasalnya terjadi pergesekan antara kulit dan partikel kimia yang mengambang di udara. Gesekan tersebut menghasilkan panas yang membakar.  Alhasil, kulit Shin terasa terkoyak  dan tulangnya  terasa akan patah.  Shin tersenyum getir, lalu berteriak. Hasratnya terlanjur memanas bagaikan bara api. Membuat Shin begitu gigih dalam menahan rasa sakit. Walau ranselnya juga ikut terguncang. Sebab daya tahan tubuh tak mampu menyesuaikan kekuatan otot dengan laju kibasan kedua sayap yang terbuat dari titanium tersebut. Akibatnya, Shin merasa kewalahan sampai tubuhnya sempoyongan. 

Dengan bermodalkan arogansi yang mengukir aksi menjadi ambisi. Pada akhirnya, Shin mampu menembus lapisan tebal gelap menyeramkan. Dirinya berhasil keluar dengan kondisi selamat.

Sejenak Shin istrahat. Nafasnya terengah-engah. Selanjutnya tersenyum menyeringai. Lalu berteriak sekeras-kerasnya karena saking senangnya. Kenikmatan sensasi ekstrim yang spektakuler membuatnya merasa puas.  

Kemudian Shin mengedarkan pandangannya kesegala penjuru. 

Tiba-tiba ...

Dirinya terperangah kagum penuh haru. Sedikitpun matanya tak berkedip. Memandang momen langka yang terpaut 100 meter. Di mana di sebelah barat terdapat bayangan dirinya, bak malaikat hitam bersayap. Di kelilingi pelangi yang berbentuk lingkaran cincin. Sungguh pemandangan indah dan menawan. Apalagi di tambah dengan pesona awan yang menyerupai jamur raksasa di tengah lembaran putih. Semilir angin berembus, menyibak tubuh Shin yang basah kuyup. Meskipun demikian Shin tak menggigil. Dirinya terpaku menikmati kondisi langit. Sangat tenang, sepi dan juga cerah penuh kedamain seperti dunia yang di inginkannya. Benar-benar berbeda dengan situasi di dalam awan comulonimbus. Seolah mirip dengan kekacauan di Eksoplanet.

"Wow bayangan aureol! Indahnyaa ...."  puji Shin dengan tatapan sayu. Selanjutnya ia berkata, dengan suara gemetar, "Dunia terlalu kejam dan menyimpang. Aku ingin tinggal di tempat ini."

Di sisi lain. Helen sedang menatap jauh kedepan.  Kornea matanya memancarkan sinar kebiruan. Suatu hal yang tak biasa.  Ketika mata itu menyala, Helen dapat menangkap obyek beribu mil jauhnya.  

Wah, indra penglihatan yang lebih khas di banding manusia di planet bumi.

Kok bisa? Teknologi apa lagi yang di gunakan oleh mata tersebut ?

Netra biru terang eloknya merebak. Menatap menembus gedung pencakar langit. Mengarah ke jalan umum Highway yang bertingkat. Melewati alun-alun kota Zealandia. Tampak empat pilar yang  berdiri kokoh, dengan bola kuning yang menyerupai planet saturnus. Berputar-putar di puncaknya.

Lebih jauh lagi, merambah ke Toll Road yang menghubungkan benua Zealandia dan benua Laurasia. Perkiraan jarak sekitar tiga juta killo meter. Tetap saja Helen tak menemukan keberadaan Shin. Kemudian gadis itu melayangkan mata ke langit. Menelusuri  bongkahan awan gelap.

Tiba-tiba ....

Ekspresi Helen berubah seketika. Kelopak matanya membelalak. Helen merasa ngeri. Spontan Helen langsung berteriak histeris.

"S-Shhiinn!"

Alangkah terkejutnya Helen. Menyaksikan raut wajah Shin yang menjadi pucat pasi. Keringat dingin membasahi pipinya. Serta jantung yang meronta-ronta, seakan ingin keluar dari dadanya. 

Sebenarnya apa yang terjadi? 

Bukankah sebelumnya, Shin melayang dengan perasaan yang sangat bahagia?

"Kenapa sabuk ini rusak di waktu yang tidak tepat! Padahal aku ingin memastikan wanita itu peri atau manusia?" teriak Shin. Dirinya sedang menekan-nekan tombol kuning. Apa daya tombol navigasi tersebut seketika tak berfungsi. Shin belum menyerah. Kedua telapak tangannya berkuat. Kedua kakinya berayun-ayun. Menendang angin. Berusaha keras menarik paksa sabuk yang terkunci. Percuma. Tetap tidak bisa terbuka.

Oh tidak! 

Akibatnya, Sayap itu tak bisa di kendalikan dan terus mengepak menuju keluar angkasa. Kepanikan menyelubungi. Selanjutnya Shin berseru dengan nada tergagap,

"A-aku tidak ingin mati di tempat ini ...."

Bersambung.

Related chapters

  • Fairy Wings: Blood Moon   Makhluk Mitologi

    Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin

  • Fairy Wings: Blood Moon   Trilachonaya

    "Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus

  • Fairy Wings: Blood Moon   Hacker

    Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kenangan 13 tahun lalu

    "Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu

  • Fairy Wings: Blood Moon   Keingian Ayah

    ""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kapinis 1

    Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be

  • Fairy Wings: Blood Moon   Wujud Trilachonaya

    Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kemarahan Helen

    Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter

Latest chapter

  • Fairy Wings: Blood Moon   Ada apa dengan Gery?

    Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na

  • Fairy Wings: Blood Moon   Ozon.

    Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan

  • Fairy Wings: Blood Moon   Perasaan

    Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kemarahan Helen

    Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter

  • Fairy Wings: Blood Moon   Wujud Trilachonaya

    Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kapinis 1

    Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be

  • Fairy Wings: Blood Moon   Keingian Ayah

    ""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kenangan 13 tahun lalu

    "Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu

  • Fairy Wings: Blood Moon   Hacker

    Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t

DMCA.com Protection Status